Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal
Tsunami terjadi lagi. Senin sore 17 Juli 2006 gempa tektonik berkekuatan di atas 6 Skala Richter di lepas pantai Ciamis mengakibatkan tsunami melanda pantai Pangandaran dan sekitarnya. Sementara gempa ini tidak begitu dirasakan di daerah lainnya (yang barangkali di atas sub-lempeng yang berbeda), tsunami telah menghancurkan daerah wisata itu. Puluhan jiwa dipastikan tewas dan lainnya dinyatakan hilang. Orang masih bisa mengatakan, “Untung tsunami tidak terjadi saat puncak liburan sekolah kemarin”. Perisitiwa ini mengingatkan kita pada tsunami di Maumere beberapa tahun yang silam. Artinya, penyebab utama kehancurannya adalah tsunami, bukan gempanya itu sendiri.
Antara tsunami dan gempa hanya tersisa waktu beberapa menit. Setelah gempa di dasar laut, pergerakan vertikal lempeng akan memicu gelombang air sangat pesat, yang dapat mencapai pantai dengan kecepatan ratusan kilometer per jam sesuai dengan topografi dasar laut.
Sayang proyek Tsunami Early Warning System (TEWS) yang didanai Jerman dan dikerjakan bersama oleh BPPT, BMG, Bakosurtanal dan lain-lain baru saja mulai. Namun tsunami sudah datang lebih awal, tanpa menunggu sistem ini terbangun. Walhasil, harap maklum bila masyarakat panik.
Sebenarnyalah, hampir seluruh pantai Samudra Hindia dari Aceh hingga NTT rawan tsunami. Pantai itu persis di front terdepan perbatasan lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Maka sudah seharusnya bila di sepanjang garis rawan ini dipasangi jaring sistem peringatan dini tsunami, selain terus melatih penduduk secara teratur sampai tercipta suatu kebiasaan, suatu local wisdom terhadap tsunami, sebagaimana sudah terbentuk di kepulauan Simeulue.
Secara sederhana, TEWS itu akan bekerja seperti ini: sejumlah sensor akan bekerja sekaligus untuk memantau (1) pusat gempa (seismograf dipasang pada stasiun geofisika); (2) muka laut (dipasang pada stasiun pasang surut); dan (3) tekanan air di dasar laut (dipasang di dasar laut lepas pantai dan terhubung dengan buoy di permukaan laut). Seluruh sensor akan memasok data ke suatu superkomputer melalui telekomunikasi satelit.
Ketika gempa terjadi, pertama-tama minimal tiga seismograf akan mengukur pusat gempa. Dalam hitungan detik, bila akan terjadi tsunami, secara mendadak sensor muka laut akan mencatat perubahan tinggi muka laut, dan sensor dasar laut akan merasakan perubahan tekanan air. Seluruh data ini akan diolah di superkomputer, dan dalam beberapa menit saja sudah akan disimpulkan apakah gempa itu akan menimbulkan tsunami. Kalau ya, sampai batas mana tsunami itu akan menimbulkan kerusakan.
Keputusan itu dalam beberapa detik saja akan mengaktifkan sirene di daerah pantai yang terancam tsunami serta mengirim pesan pendek (sms) ke seluruh telepon seluler, terutama yang sedang berada di kawasan rawan.
TEWS tidak akan mencegah tsunami. Namun TEWS akan memberi waktu sekitar 15 hingga 30 menit kepada penduduk di daerah bahaya untuk segera menyelamatkan diri. Bila tata ruang di kawasan itu sudah diantisipasi sedemikian rupa, maka orang cukup mengungsi ke escapes area, yang dapat berupa perbukitan terdekat atau bangunan kokoh yang tingginya signifikan di atas tinggi gelombang tsunami. Jadi peringatan dini ini tidak dalam hitungan hari atau minggu, tetapi menit! Artinya tanpa adanya escapes area dan latihan sebelumnya, orang tidak akan siap untuk mengevakuasi diri secara cepat, dan TEWS yang berharga ratusan milyar itu tidak akan efektif.
Adanya potensi tsunami di daerah pantai selatan pasti telah membuat penghuninya kurang tenang. Isu tsunami yang bakal melanda kota Padang telah memicu sejumlah penghuni pantai untuk menjual murah rumah dan tanahnya. Sebenarnya, jauh sebelum kejadian tsunami di Aceh, banyak pakar telah memperkirakan suatu “efek domino” bila terjadi gempa di batas dua lempeng raksasa ini. Tentu saja prediksi semacam ini sering dianggap paranoia ilmuwan. Konsekuensinya memang luas. Memang tidak mudah menata ulang kota-kota yang menghadap pantai selatan, dari Padang hingga Denpasar. Namun apa mesti menunggu tsunami menghantam habis mereka?
Energi yang tersimpan dalam gerakan lempeng benua ini masih sangat banyak, masih cukup untuk membuat ribuan gempa dan ribuan tsunami. Kita tidak akan mampu memaksa alam mengikuti keinginan kita. Kitalah yang harus menyesuaikan diri hidup bersama mereka. Mereka tidak pernah menunggu kesiapan kita. Kitalah yang harus selalu menyiapkan diri, agar ketika mereka datang, bencana ini tidak menghabiskan modal kita.
Sebenarnya (bencana) itu akan datang kepada mereka dengan sekonyong-konyong lalu membuat mereka menjadi panik, maka mereka tidak sanggup menolaknya dan tidak (pula) mereka diberi tangguh. (Qs. 21-al-Anbiya’:40)
Bagi orang yang beriman, kepastian akan adanya maut yang tiba-tiba itu akan memotivasi mereka untuk selalu memaksimalkan amal sholehnya di dunia. Ketika modal sirna, amal sholehlah yang tersisa. Maka mereka tak menunggu modal hidup mereka hilang sia-sia tersapu bencana. Mereka selalu menyiapkan diri, dengan memaksimalkan amal, agar ketika Yang Maha Kuasa menarik “pinjaman-Nya”, mereka dalam keadaan prima.
Dan jika (amalan itu) hanya seberat debupun pasti kami mendatangkan balasannya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan. (Qs. 21:47)