Dr. Fahmi Amhar
Indonesia konon adalah negara yang “bukan-bukan”. Negara ini bukan negara sekuler, bukan pula negara Islam. Jadi bukan-bukan. Jaman Orde Baru dulu negara kita bukan demokrasi liberal, bukan pula diktator. Jadi bukan-bukan. Sistem republik kita juga bukan presidensil murni, bukan pula parlementer. Jadi bukan-bukan.
Kebingungan ini barangkali berhubungan dengan pola pendidikan tentang ketatanegaraan yang membosankan. Pada masa Orde Baru, ihwal tata negara dimasukkan dalam pelajaran Pendidikan Moral Pancasila atau Penataran P4. Kesan yang muncul: siapapun yang masih kurang sreg dengan sistem ketatanegaraan yang berlaku akan di-stigma “tidak bermoral Pancasila”. Padahal siapakah moralis Pancasila sejati? Pada akhirnya sejarah melihat, Soeharto Sang Penggagas P4 tumbang setelah KKN-nya makin memuakkan rakyat.
Reformasi kemudian mengaduk-aduk tata negara. UUD 45 yang semula dianggap “suci” diamandemen beberapa kali. Hak-hak asasi manusia dipertegas. Otonomi daerah diperluas. Presiden dan Kepala Daerah dipilih langsung. Masa jabatan presiden dibatasi dua kali. DPR diperkuat. Komisi-komisi dibentuk. Dan Mahkamah Konstitusi dijadikan pemutus perbedaan tafsir konstitusional.
Meski demikian, proses ini sepertinya masih lama belum akan berakhir. Hak-hak asasi manusia membuat arus liberalisme menjadi-jadi. Hanya sedikit daerah yang terbukti sanggup memanfaatkan otonomi untuk menaikkan taraf hidup rakyatnya. Pemilu yang terlalu sering juga malah membuat rakyat jenuh, sehingga angka golput meningkat. DPR yang kuat justru membuat pemerintah gerah, karena tanpa dukungan DPR (misalnya dalam hal anggaran), agenda pemerintah akan macet. Dan Mahkamah Konstitusi dianggap tirani baru, karena 5 dari 9 hakim MK sudah cukup untuk membatalkan suatu Undang-undang yang disepakati 550 anggota DPR.
Jadi, dalam dua puluh tahun terakhir ini kita menyaksikan tata negara yang “membosankan” ala Orde Baru dan lalu “membingungkan” ala Reformasi. Mungkin persoalannya akan berbeda kalau kita gali ilmu ini seperti nenek moyang kaum muslimin melakukannya.
Tata negara sebagai amalan praktis – tak sekedar sebagai teori filsafat – sudah dipraktekkan sejak zaman sahabat. Mereka ditugaskan dalam berbagai pos, seperti sebagai gubernur, panglima, qadhi, bendahara baitul maal, penarik zakat, dan sebagainya. Para imam mujtahid juga pasti memasukkan bab siyasah dalam kitab-kitab fiqihnya.
Namun tata negara sebagai sebuah ilmu yang utuh dan sistematik adalah hasil tangan dingin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Habib al-Mawardi (972-1058 M). Beliau dikenal sebagai ahli tafsir dan fiqh madzhab Syafi’i; serta mendalami sastra, naskah kuno dan etika. Dia pernah bekerja sebagai qadhi di berbagai daerah di Iraq, juga sebagai utusan Khalifah ke berbagai penjuru negeri Islam.
Karya al-Mawardi yang paling monumental dan sudah menjadi klasik adalah kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyya w’al-Wilayat al-Diniyya (Kitab tentang sistem pemerintahan, wilayah dan agama). Selain itu ada juga menulis Qanun al-Wazarah (Hukum tentang para Menteri), Kitab Nasihat al-Mulk (Buku tentang Nasehat untuk Para Penguasa), dan Kitab Aadab al-Dunya w’al-Din (Buku tentang Etika Dunia dan Agama).
Al-Mawardi menulis bukunya berdasarkan realitas empiris pengalaman praktik pemerintahan yang beliau hadapi sebagai qadhi dan utusan khalifah, yang lalu dianalisis dan dikaitkannya sesuai persepsinya sebagai ahli fiqh. Dia termotivasi untuk menulis buku-bukunya itu agar para penguasa muslim di wilayah yang semakin luas itu, juga generasi sesudahnya, dapat semakin efektif menjalankan roda pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dalam banyak aspek al-Mawardi melakukan ijtihad sendiri atas persoalan yang memang di masa Nabi atau generasi sahabat belum ditemui, dan di sisi lain, dia juga melakukan adopsi atas hal-hal yang sifatnya teknis administratif pemerintahan – yang sejak masa Khalifah Umar bin Khattab – banyak ditiru dari Persia atau Romawi.
Dibandingkan misalnya pendapat Plato (360 SM) tentang “Republik” dalam bukunya Πολιτεία (Politea), pendapat-pendapat al-Mawardi terasa sangat revolusioner.
Al-Mawardi membahas rinci tata cara pengangkatan para pejabat dari khalifah hingga panglima, hakim dan petugas zakat; juga tentang jihad, pembagian harta negara (termasuk ghanimah dan fai); tentang status daerah, pertanahan, dokumen, pidana hingga hisbah. Banyak sekali apa yang ditulis al-Mawardi tetap dijadikan prinsip umum administrasi negara hingga zaman modern.
Sezaman dengan al-Mawardi adalah Abu Ya’la Muhammad bin al-Hasan bin Muhammad bin Khalaf bin al-Farra’ yang menariknya juga menulis buku dengan judul yang sama. Hanya saja, al-Mawardi ternyata lebih tua dari Abu Ya’la, dan bukunya terbit lebih dulu. Selain itu buku al-Mawardi juga menggunakan metode muqaranah (komparatif) antar pendapat fiqh berbagai mazhab yang dikenalnya, dan tidak hanya mengacu kepada satu mazhab tertentu, sementara Abu Ya’la hanya mengacu ke mazhab Hanbali.
Setelah al-Mawardi, ilmuwan besar yang menekuni tata negara adalah Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ahmad ibn Abu Bakr al-Ansari al-Qurtubi (1214 – 1273 M), seorang imam mazhab Maliki dengan karyanya yang terkenal Tafsir al-Qurtubi Al-Jami’ li Ahkam il-Qur’an, sebuah tafsir 10 jilid tebal dengan fokus tentang masalah hukum, termasuk hukum-hukum tata negara.
Kemudian kajian tata negara ini diteruskan Taqī ad-Dīn Abu ‘l Abbās Ahmad ibn ‘Abd al-Halīm ibn ‘Abd as-Salām Ibn Taymiyah al-Harrānī (1263 – 1328 M), yang antara lain menulis kitab al-Siyasa al-shar’iyya.
Seabad kemudian Jalaluddin as-Suyuti (1445-1505 M) menulis hampir 500 kitab, dan yang paling terkenal adalah Tarikh al-Khulafa yang mempelajari tata negara secara historis serta Al-Khulafah Ar-Rashidun tentang praktek kenegaraan ala empat khalifah pertama.
Selama mengacu kepada Islam, tata negara berdasarkan syara’, tidak akan membosankan. Negara khilafah baru redup ketika fiqh tata negara makin jarang dibicarakan, dan rakyat awam yang tahu makin sedikit. Ini berdampak makin memburuknya penerapan sejumlah hukum Islam. Zakat, kharaj atau jizyah memang terus dipungut, tetapi negara tidak lagi serius mendistribusikan pungutan itu kepada mereka yang berhak. Negara makin mengabaikan tanggung jawabnya terhadap rakyat. Akibatnya rakyat yang terdhalimi jadi mudah terprovokasi untuk disintegrasi. Mereka akhirnya jatuh ke pelukan penjajah.
Sekarang ketika khilafah sudah tiada, saatnyalah fiqh tata negara digali lagi dan diaktualisasi, untuk modal kebangkitan hakiki, agar kita tidak jalan di tempat, bingung menjadi bangsa dengan negara bukan-bukan.