Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu asumsi-asumsi yang selama ini digunakannya.
Dunia ini penuh dengan asumsi (anggapan yang dianggap benar). Tidak hanya untuk negara setiap membuat RAPBN yang dimulai dengan beberapa asumsi (misal nilai tukar Dollar, lifting minyak, dsb), setiap hari orang beraktivitas pun dengan menyimpan asumsi di dalamnya. Contoh dari asumsi itu: dia berangkat ke tempat kerja karena berasumsi di sana ada sesuatu yang dapat dikerjakannya, atau kalau dia tidak berangkat, dia akan mendapatkan sanksi, setidaknya sanksi sosial (malu), karena orang-orang lain juga berangkat, dan mereka sama-sama dibayar untuk itu. Tentunya akan sangat berbeda, kalau dari awal dia punya asumsi bahwa di kantor tidak ada yang dapat dikerjakannya, atau di sana dia akan mendapatkan suasana yang tidak enak, yang membuatnya makin lama merasa justru makin membusuk.
Orang mencari sebuah tempat juga menyimpan asumsi. Minimal, dia berasumsi bahwa alamat yang dituju itu memang ada, bukan fiktif, bukan pula palsu. Karena itu, di kehidupan nyata, tidak ada orang yang pergi mencari Negeri Dongeng, karena negeri itu memang hanya ada di dalam dongeng di majalah anak-anak. Demikian pula, se real apapun film Harry Potter, tidak ada orang yang serius mencari sekolah bernama Sekolah Sihir Hogwarts, karena semua berasumsi bahwa itu hanya khayalan.
Setelah berasumsi bahwa tempat yang dituju ada, maka dalam perjalanan ke sana orang juga berasumsi bahwa di jalan raya secara umum orang lain akan mematuhi aturan lalu lintas. Tanpa asumsi ini, kita akan sangat sulit berperilaku di jalan, misalnya di sisi kiri atau kanan kendaraan kita berjalan, atau kalau lampu lalu lintas berwarna hijau kita sebaiknya jalan terus atau berhenti. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu frekuensi dirinya.
Di dunia ini bersliweran jutaan gelombang radio. Gelombang radio itulah yang ditumpangi siaran radio, televisi maupun sinyal ponsel kita. Tetapi kita hanya bisa menikmati salah satu saja, yakni bila frekuensi dari alat penerima kita sudah kita samakan dengan frekuensi pemancar.
Ternyata seperti itu pula hubungan komunikasi di dalam diri manusia, antara manusia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan Sang Pencipta.
Ada manusia yang tidak mampu mendengar suara hati nuraninya. Akal dan perasaannya ada pada frekuensi yang berbeda, sehingga perasaannya tidak mengikuti apa yang dibenarkan oleh akalnya. Ada dokter yang tahu bahwa merokok itu merusak kesehatan, tetapi keinginannya untuk merokok tidak dapat dihindarinya. Ada juga ustadz yang tahu bahwa riba itu haram, tetapi keinginannya untuk memiliki barang mewah sekalipun dengan kredit ribawi tidak dapat dicegah. Demikian juga ada ustadzah yang kenal hukum wajibnya menutup aurot dengan jilbab (gamis) dan khimar (kerudung), kalau mengisi pengajian juga berbusana lengkap, tetapi ternyata kalau menemui tetangga di halaman rumah kerudungnya sering dilupakan. Lebih ironis lagi, ada seorang pejabat publik, tokoh suatu gerakan Islam, Doktor lulusan Timur Tengah, tetapi terbukti di pengadilan telah melakukan tindak pidana korupsi. Yang dikorupsi juga dana yang secara spesifik merupakan titipan umat Islam. Ternyata frekuensi akal dan perasaan mereka belum sama. Kepribadian mereka masih terbelah. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu seperti apa referensinya.
Ada objek yang sama, dilihat oleh pancaindera yang sama, bahkan oleh orang yang sama – di waktu yang berbeda. Tetapi kesimpulan yang dihasilkannya bisa sangat berbeda. Kenapa? Karena begitu informasi itu sampai ke otaknya, informasi itu akan dinilai oleh suatu referensi. Maka begitu referensi itu sudah berbeda, sikap terhadap informasi itu menjadi sangat berbeda.
Di dunia bisnis ada acuan standar kesehatan bank, misalnya angka-angka CAR (Capital Asset Ratio) atau LDR (Loan Deposit Ratio). Ini adalah referensi. Kalau CAR dan LDR meleset dari batas toleransi, maka Bank itu dapat dipastikan tidak sehat, atau bahkan perlu masuk “ICU”. Yang repot adalah kalau referensi itu diubah untuk kepentingan tertentu. Jadilah kasus seperti Bank Century.
Dalam dunia teknik juga ada banyak standar. Misalnya standar kualitas udara, standar keamanan pesawat, dsb. Semuanya membutuhkan sebuah referensi. Kalau ingin kualitas udara lebih baik, atau dunia penerbangan lebih aman, tak jarang dunia melakukan konferensi untuk mengubah standar tersebut. Dan sejak itu, konsensus dari konferensi itu dijadikan referensi baru. Mengubah referensi berarti mengubah keadaan.
Itu terjadi dahulu maupun sekarang. Setelah masuk Islam, Umar bin Khattab yang tadinya seorang yang bengis dan ingin membunuh Nabi, tiba-tiba menjadi orang yang mudah meneteskan air mata dan siap mati membela Nabi. Sekarang ini, ada bintang rock yang semula begitu bangga dikagumi di arena konser, tiba-tiba menolak untuk menyanyi lagi di konser yang sama, dengan bayaran berapapun. Ini karena mereka telah menilai hidupnya dengan referensi yang berbeda. Kita berbicara tentang sosok seperti Cat Steven (Yusuf Islam) dan Harry Moekti.
Tanpa sebuah referensi, orang selalu akan diombang-ambingkan pendapat orang. (more…)