Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Pemetaan Daerah Rawan

Tuesday, August 1st, 2006

Tulisan ini dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat, 2 Agtustus 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal

Di Yogya erupsi Merapi disusul gempa. Setelah gempa terus tsunami. Di Kalimantan ada banjir, tetapi di Sumatra ada kekeringan dan kebakaran hutan. Di Sidoarjo lumpur panas belum selesai, disusul gas liar di Bojonegoro.

Ini yang besar-besar. Yang kecil-kecil tidak kurang. Ada longsoran gunung sampah di Cimahi, ada pohon-pohon raksasa yang patah terkena hujan angin di Bogor, ada perkampungan yang tiba-tiba miskin setelah pusat mata pencahariannya digusur. Di Jakarta yang konon uang lebih mudah didapat, kasus kejahatan juga lebih besar.

Lama-lama orang suka berpikir, “Adakah tempat yang benar-benar adem ayem kerta raharja, gemah ripah loh jinawi?”. Kalau di Indonesia tidak ada, adakah di luar negeri? Kalau begitu apa tidak salah bila kita pindah saja ke sana …

Jawabannya ternyata membikin ngilu: tidak ada! Tidak ada tempat di dunia ini yang benar-benar tanpa masalah. Jepang, negara paling makmur di dunia, itu juga berhadapan dengan gempa, tsunami dan taifun. Canada, negara sangat luas dengan penduduk sedikit itu sering terancam oleh badai salju dengan suhu minus 40 derajat. New Zealand negara yang jumlah dombanya sepuluh kali lipat manusianya, terancam oleh lubang Ozon yang semakin besar dan berakibat meningkatnya penderita kanker. Di Swiss, negeri Alpen yang amat terkenal produk susunya, dan sudah ratusan tahun tidak terlibat perang, berhadapan dengan masalah ledakan penduduk lanjut usia.

Benar kata Qur’an: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh; Dan jika mendapat kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa bencana mereka mengatakan: “Ini gara-gara kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. (Qs. 4-an-Nisa:78)

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (Qs. 67-al-Mulk:1-2)

Jadi yang perlu dicemaskan bukan potensi bencana itu sendiri, tetapi apa yang kita perbuat atasnya.

Kalau dulu guru dan orang tua kita mendoktrin anak-anak bahwa “kita harus banyak bersyukur kepada Tuhan, karena tanah air kita adalah negeri yang kaya sumberdaya alam”, maka mestinya sekarang dibalik, “Nak, Tuhanmu akan selalu menguji kita siapa yang terbaik amalnya. Negerimu ini amat banyak masalahnya, banyak daerah rawan bencana, banyak kemiskinan dan kejahatan, maka kamu harus rajin beribadah, banyak belajar dan bekerja keras ya nak!”.

Itu tugas setiap insan negeri ini secara individual. Kalau tugas pemerintah tentu tidak cuma itu. Mereka punya kekuasaan lebih. Mereka juga digaji besar – bahkan suka”tanduk” sendiri – jadi ya tentunya kontribusinya harus lebih.

Salah satu yang dapat dikerjakan pemerintah di semua level adalah melakukan pemetaan daerah rawan, agar masyarakat lebih “aware”. Dulu, sebelum banyak tsunami, yang sering dibuat adalah peta rawan longsor. Mungkin karena paling mudah, cukup melakukan analisis tumpang susun atas data lereng, tanah, vegetasi dan curah hujan.

Peta rawan tsunami pernah juga dibuat. Bahkan suatu proyek di BPPT pernah sampai menghitung, kalau tsunami menghantam suatu kota, berapa kerugian materiilnya. Sayang belum disimulasikan ke seluruh kota sepanjang patahan lempeng.

Peta semacam ini jelas perlu data topografi yang rinci. Ini tidak selalu tersedia. Peta dari UNOSAT (lembaga PBB untuk pemanfaatan citra satelit bagi kemanusiaan) tentang daerah rawan erupsi Merapi menggambarkan bahwa lahar akan mencapai kota Yogya dan Solo. Mungkin mereka tidak sengaja ngawur, hanya data yang dimiliki terlalu kasar.

Beberapa tahun lalu, kantor Seswapres pernah membuat Peta Kemiskinan. Saya usul agar peta itu ditingkatkan menjadi Peta Rawan Kemiskinan. Artinya, ada daerah-daerah yang sekarang ini tidak miskin. Namun cadangan kapital di sana begitu minim, sehingga begitu ada bencana, atau ada kebijakan publik yang tidak populer (kenaikan BBM, impor beras), maka tiba-tiba penduduk di daerah itu jatuh miskin.

Di sepanjang jalan utama kota-kota kita juga bisa rawan. Kalau rawan kecelakaan lalu lintas atau rawan kecopetan, ini perlu analisis dari data sosial. Namun ada juga yang lebih sederhana: rawan kejatuhan pohon yang patah! Banyak jalur utama yang ditanami pepohonan yang gampang tumbuh, daunnya rimbun dan tidak berbuah (supaya tidak dipanjat orang). Namun pohon semacam ini setelah sekian tahun mulai getas, kena hujan angin bisa patah. Kalau patah dan menimpa orang, ya bisa saja orangnya mati. Di Kebun Raya Bogor hal ini pernah terjadi. Karena itu, mestinya di level pemerintah daerah juga ada pemetaan pohon-pohon rawan patah …

Kalau yang kecil-kecil seperti ini sudah dikerjakan, maka untuk yang besar-besar tentunya akan lebih mudah, karena sudah belajar. Tetapi nanti yang besar-besar harus diprioritaskan. Kata Qur’an:

Jika kamu menjauhi kesalahan-kesalahan besar di antara yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecilmu dan Kamu masukkan kamu ke tempat yang mulia. (Qs. 4-an-Nisa’:31)

Tidak ada yang lebih kecil dan tidak yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Qs. 10-Yunus:61)

Hikmah di balik Gempa

Sunday, May 28th, 2006

Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Selasa 30 Mei 2006.

Gempa tektonik berkekuatan sekitar 6 dalam skala Richter telah menggoncang Yogyakarta dan sekitarnya pada Sabtu 27/5/2006 lalu. Sampai hari ini korban tewas yang ditemukan telah mendekati angka 5000 orang. Kabupaten Bantul termasuk yang terkena dampak paling parah. Puluhan ribu rumah hancur. Jalanan retak-retak. Jaringan listrik banyak yang putus. Puluhan menara BTS telekomunikasi seluler tidak berfungsi. Bahkan peristirahatan terakhir raja-raja Mataram di Imogiri pun tidak luput dari goyangan.

Memang, sejak zaman Ki Ageng Pemanahan, belum pernah ada gempa sebesar ini di Yogya. Orang Yogya pada umumnya lebih khawatir pada letusan gunung Merapi atau amukan gelombang Laut Selatan. Dua tempat ini selalu dinilai memiliki kekuatan magis – kekuatan yang disimbolkan dengan “Ki Dandang Wesi” dan “Nyi Loro Kidul”, seperti dalam epos Api Di Bukit Menoreh karya almarhum S.H. Mintardja. Para raja Mataram juga selalu melakukan ritual untuk antisipasi dua jenis bencana itu. Namun ternyata?

Gempa bumi memang merupakan bencana yang paling misterius, dan paling sulit diprediksi. Meski begitu, para ahli geodinamika sebenarnya sudah mencoba mengukur secara presisi dan memetakan tempat-tempat di mana di bawahnya lempeng bumi bergeser semili-demi semili. Pola pergerakan benua ini dapat dipakai untuk mendeteksi kawasan rawan gempa. Masalahnya, kapan gempa itu sendiri terjadi, tidak ada yang tahu. Para ahli geodinamika dan juga ahli gempa sampai sering harus frustrasi, ketika kajian-kajian mereka selama ini seakan-akan hanya menjadi onggokan kertas bekas belaka. Sementara itu, tata ruang kota-kota kita, kualitas konstruksi bangunan kita, dan akhirnya sistem informasi kita, tidak disiapkan untuk antisipasi bencana. Meski kita hidup di suatu zona yang paling rawan bencana di dunia, kita ternyata adalah bangsa yang sama sekali tidak terlatih ketika bencana tiba. Kita menjadi bangsa yang mudah panik, misalnya begitu ada isu tsunami yang menyusul gempa. Orang awam tidak tahu, betapa jauh Yogya dari garis pantai, dan betapa besar perbedaan tingginya dari permukaan laut. Tsunami sebesar di Acehpun, yang kekuatan gempanya 1000 kali Yogya, tidak akan mencapai kota Yoyga. Wallahu a’lam.

Kondisi Yogyakarta – dan juga banyak kota-kota lain di Indonesia – yang berabad-abad ayem tentrem ini rupanya telah melenakan. Jangankan siap terhadap bencana, bersyukur kepada Sang Pencipta atas nikmat ini semua saja jarang dilakukan. Mereka bahkan mencari sandaran-sandaran lain, jimat-jimat untuk semakin membuat percaya diri, asuransi-asuransi yang bisa membuat orang tidur nyenyak, dan juga teknologi-teknologi yang dengan itu mereka merasa tidak perlu lagi pasrah kepada Tuhan.

Jepang, suatu negeri yang sangat sering dilanda gempa, telah memberi pelajaran pada kita. Mereka membangun kota-kota dan gedung-gedung tinggi hampir semua dengan konstruksi tahan gempa. Mereka juga secara teratur melatih masyarakat untuk menghadapi situasi darurat. Sistem informasi mereka dirancang untuk segera bisa memberikan bantuan yang cukup jika musibah betul-betul tiba. Bahkan mereka membangun superkomputer yang tercanggih di dunia untuk memprediksi efek berantai suatu becana seperti gempa, tsunami, taifun atau bahkan ledakan nuklir.

Tapi begitu bencana seperti ini melanda, mereka mendapatkan bahwa sandaran-sandaran tadi ternyata serapuh sarang laba-laba. Di manakah itu jimat yang katanya membuat mereka beruntung? Di manakah itu polis asuransi? Mungkin bahkan perusahaan asuransinya ikut gulung tikar karena kantornya roboh dan petugas-petugasnya tewas. Di manakah itu teknologi? Ternyata teknologi tidak selalu sehebat yang mereka kira. Ternyata teknologi juga tidak banyak menolong ketika manusia yang menggunakannya tidak terlatih, panik dan putus asa.

Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata. (Qs. 31-Luqman:10-11)

Kejadian ini seharusnya membuat kita semakin mawas diri. Bagi yang terkena musibah, barangkali ini adalah pintu hidayah, juga pintu pengampunan. Sedang bagi yang tidak terkena, ini adalah pintu amal, juga tanda cinta Allah, bahwa kita masih diberi peran yang lain di dunia ini. Semua yang ada di dunia ini bisa lenyap seketika, dan yang tersisa hanyalah amal. Kita semua sedang diuji, siapa yang lebih baik amalnya.

Tentu saja, kerja keras untuk mengantisipasi bencana tetap harus dilakukan. Demikian juga dengan penggunaan teknologi, sistem informasi serta manajemen antisipasi bencana yang harus makin cerdas. Namun di atas itu semua kita perlu keikhlasan, bahwa di atas kita, ada Kekuatan Maha Perkasa yang menahan lempeng-lempeng benua ini. Kalau Dia menghendaki, dijadikannya material lempeng itu kuat menahan energi geodinamik yang sangat dahsyat. Namun kalau Dia menghendaki, dibiarkannya material itu hancur, sehingga bumi ini bergoyang.

Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: “Ya Rabb-ku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami. Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya. (Qs. 7-al-A’raf:155)