Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda mendengar kisah tentang jama’ah haji Indonesia yang tersesat di Makkah, lalu bertanya kepada orang Arab di pinggir jalan. Sambil menunjukkan kartu identitas dengan alamat pondokannya, dia mengucapkan satu ayat al-Fatihah “Ihdinas shiraathal mustaqim” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus / benar). Semula orang Arabnya tertegun, tetapi lalu tersenyum setelah menangkap apa yang dimaksud, dan lalu mengantar si orang tadi ke pondokannya yang ternyata tidak jauh.
Istilah “jalan yang benar” memang bisa memiliki makna mendalam seperti jalan hidup, tetapi dapat juga makna langsung seperti mengetahui arah. Dan bicara tentang arah, kita sekarang mengandalkan kompas.
Di Barat, yang dianggap penemu kompas adalah Flavio Gioja dari Amalfi, Italia. Namun sejarahwan Sigrid Hunke menyebut bahwa Flavio mengenal kompas dari orang Arab, bahkan dia bukan orang Barat pertama yang belajar kompas!
Bahwa jarum magnetik menunjuk ke utara, sudah diketahui orang Cina berabad sebelum Rasulullah. Anehnya, orang Cina justru baru mengamati penggunaan kompas dalam perjalanan di lautan pada orang asing di abad-11 M. Dan siapa lagi orang-orang asing pada saat itu, yang berdagang dengan kapal-kapalnya di samudra Hindia hingga ke Cina, kalau bukan orang Arab!
Sementara itu sumber-sumber Arab pada kurun waktu yang sama memang menyebutkan penggunaan kompas.
Orang Barat pertama yang mengenal kompas adalah Petrus dari Maricourt, Perancis, yang sepulang dari perang Salib menjadi guru Roger Bacon. Roger Bacon adalah tokoh filosof pra zaman Rennaisance. Petrus mengajar tentang magnetisme dan kompas dan pada tahun 1269 menulis makalah “Epistola de magnete”. Baru 33 tahun setelah itu, Flavio Gioja dari Amalfi sibuk dengan kompas.
Amalfi adalah tempat yang terletak di dekat Venezia, sebuah kota pelabuhan, di mana banyak perwakilan dagang Arab di sana. Maka sangat masuk akal kalau kemudian Flavio mendapatkan pengetahuan kompas ini dan meneruskannya di Barat.
Keberadaan kompas untuk mengetahui arah adalah kemajuan yang signifikan dalam navigasi. Semula, arah diketahui dengan melihat matahari atau konstelasi bintang. Namun metode ini selain membutuhkan waktu yang lama juga tak dapat dilakukan saat langit berawan.
Meski demikian, dalam bernavigasi di lautan, keberadaan kompas tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikombinasi dengan keberadaan jam dan peta yang baik. Dengan mengetahui lama perjalanan, kecepatan rata-rata, dan arah, maka navigator kapal dapat memperkirakan lokasi kapal yang aktual di atas peta. Tentu saja akurasi metode ini sangat tergantung pada asumsi kecepatan kapal, yang boleh jadi tergantung arus laut dan angin. Biasanya mereka tetap mengkalibrasi lokasinya dengan astronomi (mengukur sudut posisi matahari atau bintang) pada saat langit cerah. Dengan metode semacam itu kaum muslimin pada masa itu menjadi pelaut yang paling handal di samudra, yang berani berlayar sampai ke Cina, dan di laut Tengah hampir tidak lagi memiliki lawan.
Tidak banyak catatan yang menceritakan, siapa ilmuwan muslim yang berada di balik pengembangan kompas. Namun dengan melihat prestasi beberapa ilmuwan besar, kita dapat menduga bahwa ketiga anak Musa bin Syakir yang hidup di zaman khalifah al-Ma’mun sudah berkutat dengan benda ini, mengingat banyaknya penemuan yang mereka lakukan terkait dengan mekanika dan astronomi. Muhammad bin Musa – si anak tertua – bahkan pernah membuatkan jam untuk Kaisar Karl der Grosse dari Aachen Jerman.
Pada abad-21 ini, peran kompas untuk navigasi masih besar, walaupun pelan-pelan digeser oleh keberadaan piranti GPS, yang sekarang sudah banyak menjadi bonus pada peralatan komunikasi. Namun demikian, diyakini bahwa kompas masih akan bertahan berabad-abad lagi, mengingat dia tidak tergantung pada sistem satelit GPS yang dikuasai negara-negara adidaya. Apalagi sistem satelit ini ternyata juga rentan pada gangguan angin partikel dari matahari, yang konon bakal meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Dan tahukah anda, bahwa ada seorang anak kecil di akhir abad-19 yang semula malas belajar, lalu tiba-tiba dia terpesona oleh hadiah dari ayahnya. Anak kecil itu kemudian berkembang menjadi fisikawan besar. Dialah Albert Einstein. Dan hadiah dari sang ayah itu adalah: sebuah kompas !
Dr. Fahmi Amhar
Hari-hari ini tahun ajaran baru di sekolah-sekolah dimulai. Anak-anak kecil yang baru masuk sekolah masih antusias dengan lingkungan dan teman-teman baru. Anak-anak yang lebih besar tampak kurang bersemangat. Liburan yang menyenangkan telah lewat. Kini rutinitas yang menjemukan telah dimulai lagi.
Menjemukan? Ya, di negeri ada ribuan sekolah dan jutaan siswa. Mereka menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Mereka melakukan banyak hal, kecuali belajar. Mereka mendapatkan banyak hal, kecuali ilmu!
Ironis. Tapi itulah kenyataannya. Salah satu penyebab murid tak bersemangat adalah guru yang tak termotivasi. Dan salah satu penyebab guru tak termotivasi adalah pemerintah yang tidak memiliki visi. Bagi pemerintah, pendidikan adalah urusan kesejahteraan rakyat yang menghabiskan uang, bukan urusan perekonomian yang mendatangkan uang. Pendidikan tidak pernah dipandang sebagai suatu investasi. Kalaupun ada pendidikan yang dianggap investasi, itu hanyalah program studi tertentu saja yang nanti alumninya akan menjadi profesional yang dapat menangguk penghasilan tinggi. Jadi kalau swasta dilibatkan, mereka hanya tertarik membuka sekolah yang prospektif secara bisnis. Maka sekolah swasta juga hanya tertarik menjaring siswa yang kaya atau yang cerdas. Mereka yang kaya meski kurang cerdas, atau miskin namun cerdas, akan mendapatkan solusi pendidikannya. Yang kaya bisa membayar. Yang miskin namun cerdas bisa mendapatkan beasiswa atau pinjaman. Pemberi beasiswa atau pinjaman yakin itu investasi.
Namun siapa yang akan memikirkan mereka yang kurang cerdas dan juga miskin? Karena miskin mereka kurang gizi, akibatnya kurang tenaga untuk belajar, jadinya kurang cerdas, sehingga tidak punya banyak pilihan dalam mencari nafkah, sehingga penghasilannya rendah, miskin. Harus ada yang memutus lingkaran setan ini!
Negaralah yang harus memutusnya. Negara dengan pemimpin pemerintahan yang memiliki visi. Inilah yang terjadi dengan Daulah Islam sejak berdirinya.
“Setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, hukumnya fardhu mencari ilmu” kata Rasulullah. Mencari ilmu dimasukkan dalam ibadah. “Kejarlah ilmu sampai ke liang lahat” – jadi mencari ilmu tidak berakhir dengan tercapainya gelar S3. Rasulullah juga menekankan, “Barang siapa mencari ilmu, dia sedang mencari Tuhan”, “Mempelajari ilmu bernilai seperti puasa, mengajarkan ilmu bernilai seperti shalat, barangsiapa mati dalam perjalanan mencari ilmu, dia seperti mati syahid dalam jihad fi sabilillah”. Pencarian ilmu akan memperdalam pengenalan seorang muslim pada Rabbnya. Semua ilmu berasal dari Allah dan ditujukan kepada Allah. “Kejarlah ilmu, dari sumber manapun!”, “Terimalah ilmu, sekalipun dari lisan seorang musyrik”.
Motivasi inilah yang menyebabkan bangsa Arab tiba-tiba menjadi “ilmu-mania” nomor satu di dunia.
Ketika Barat terjebak dalam kurungan kegelapan, dan menganggap kebenaran hanya ada di kitab suci, sedang pendapat para ilmuwan yang ada saat itu sebagai sumber kesesatan, kaum muslimin justru melihat bahwa Al-Quran adalah pedoman hidup, sedang ilmu-ilmu kehidupan seperti sains dan teknologi, adalah sesuatu yang wajib dipelajari dari mana saja, sekalipun sampai ke Cina.
Maka, tak sampai seabad setelah Islam memulai futuhat dan Quran selesai diwahyukan, ilmu pengetahuan mekar seperti lautan bunga musim semi setelah musim dingin.
Dan apa yang terjadi saat suatu futuhat (penaklukan) suatu negeri terjadi? Bukan penyerahan senjata, kunci pertambangan penting atau harta benda berharga yang menjadi syarat perjanjian perdamaian, namun seperti Khalifah Harun ar-Rasyid ketika menaklukkan Amuria dan Ankara: penyerahan buku-buku manuskrip Yunani kuno! Buku-buku yang sebenarnya telah ratusan tahun terabaikan dan dilupakan oleh dunia Kristen.
Buku-buku itu tidak kemudian dikonservasi dan disimpan di museum, namun dihidupkan kembali untuk dibawa ke era modern. Caranya? Diterjemahkan!
Buku-buku itu tidak diterjemahkan ke bahasa yang hanya dikuasai segelintir kaum elit, seperti halnya bahasa Latin di Eropa; namun diterjemahkan ke bahasa yang pasti akan hidup hingga akhir zaman, yaitu bahasa Qur’an: bahasa Arab! Setiap muslim wajib mempelajari Qur’an, jadi setiap muslim wajib dapat membaca dan mengerti tulisan Arab. Maka dengan menerjemahkan semua buku-buku ilmu ke dalam bahasa Arab, itu berarti membuka akses ilmu bagi semua orang.
Kesuksesan pekerjaan penerjemahan tidak sedikitpun di bawah kesuksesan pekerjaan pengumpulan buku. Harun ar-Rasyid memerintahkan untuk mendatangkan para pakar segala bahasa ke istananya. Mereka bekerja di bawah koordinasi Yahya bin Masawih menerjemahkan segala buku ilmiah yang bisa diperoleh dari manapun hingga saat itu. Untuk memperbanyak tim penerjemahan, Khalifah al-Makmun mendirikan Akademi Penerjemahan.
Begitulah, para ulama Islam dengan penerjemahannya telah menjaga karya-karya ilmiah antik dari kehilangan total. Tanpa pekerjaan mereka, dunia kita sekarang tidak akan mengenal buku anatomi dari Galens; buku mekanika dan matematika dari Heron, Philo dan Menelaos; buku astronomi dari Ptolomeus; buku geometri dari Euklides; buku tentang irisan kerucut dari Appolonius; buku tentang kesetimbangan di air dari Archimedes dan sebagainya.
Buku-buku itu kemudian disalin ribuan kali oleh para waraqin (yang berfungsi seperti mesin foto copy), kemudian dikirim ke perpustakaan-perpustakaan. Setiap masjid punya perpustakaan. Setiap rumah sakit memiliki ruang tunggu yang lengkap dengan perpustakaan. Dan semua orang dapat membaca atau meminjamnya. Sebuah kota kecil seperti Najaf di Iraq saja abad 10 M memiliki perpustakaan dengan koleksi 40.000 buku! Perpustakaan itu menjadi bursa ilmu pengetahuan yang paling mudah, tempat orang dapat bertemu dengan para pakar untuk bertransaksi ilmu. Dan ilmu – seperti kata Imam Ali – adalah sesuatu yang ketika diberikan tidak berkurang, namun justru bertambah!
Belajar menjadi murah, ketika akses ilmu pengetahuan dibuat mudah oleh negara. Negara memiliki visi yang dibuktikan dengan tindakan. Negara mempromosikan ilmu sehingga rakyat cinta ilmu, sehingga orang-orang kaya berlomba wakaf fasilitas pembelajaran, sehingga para cerdik pandai mencari ilmu dan mengajarkannya dengan semangat mencari Tuhan.
Maka spiral kegelapan pada mereka yang kurang cerdas dan miskin pun terputus. Tidak ada orang miskin yang terhalang belajar oleh kemiskinannya. Dan tidak ada orang yang dianggap kurang cerdas dalam mencari Tuhannya.
Soekarno lahir 1901, jadi presiden tahun 1945, usia 44.
Soeharto lahir 1921, jadi presiden tahun 1966, usia 45.
Mungkin ini yang menyebabkan mereka sangat gesit pada awalnya.
Visioner, cekatan, berani …
Presiden setelah itu baru naik setelah mendekati/melampaui “usia pensiun”.
Habibie lahir tahun 1936, jadi saat 1998 jadi presiden, usianya telah 62 tahun.
Gus Dur lahir tahun 1940, jadi saat 1999 menggantikan Habibie, usianya telah 59 tahun.
Megawati lahir tahun 1947, jadi saat 2001 mengantikan Gus Dur, usianya telah 54 tahun.
SBY lahir tahun 1949, jadi saat 2004 menggantikan Megawati, usianya telah 55 tahun.
Tetapi stamina Presiden muda ini ternyata jarang lebih dari 15 tahun.
Di tahun 1960 Soekarno sudah bermetamorfosis menjadi diktator. Atau dia mulai lebih banyak menghabiskan waktu bersama istri-istrinya yang banyak dan muda, daripada bersama rakyat.
Demikian juga, kalau 1983 Soeharto mundur, mungkin dia akan dicatat sebagai presiden yang nyaris tanpa cela (kecuali oleh keluarga ex PKI, korban Malari atau keluarga Petisi 50). Tahun 1983 in anak pak Harto yang tertua yaitu mbak Tutut (lahir 1949) baru berusia 34 tahun), dan adiknya yang paling ngetop yaitu Tommy (lahir 1962) baru berusia 21 tahun. Jadi mungkin belum terlalu neko-neko lah …
Tapi ya itulah, “suratan takdir” bangsa ini.
Terus apa pelajaran yang bisa kita tarik dari sini:
Berusahalah meraih ambisi sebelum usia 45 ?
Segera berhenti ketika masih di puncak prestasi ?
Apa pelajaran bagi anda?