dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 21 Juni 2006.
oleh Dr Ing Fahmi Amhar
PEKAN pertama gempa di Yogyakarta tempo hari, banyak korban mengeluhkan bahwa “pemerintah adanya seperti tidak ada”. Meski bantuan masyarakat cepat mengalir dari segala penjuru tanah air, namun bantuan itu seakan tertumpuk di beberapa instansi, sementara korban yang datang minta bantuan dihadapkan pada birokrasi yang berbelit. Agak aneh juga, sepertinya aparat tidak tahu bahwa di banyak tempat, seluruh rumah rata dengan tanah, termasuk rumah Pak RT, Pak RW atau Pak Kades sendiri.
Di Porong Sidoarjo, kejadian seperti ini terulang. Meski lumpur panas yang bercampur gas racun asam sulfida (H2S) dan mengandung phenol sudah keluar sejak beberapa minggu yang lalu, perhatian elite negeri ini justru ke soal ormas-ormas Islam radikal yang konon suka anarkhis, termasuk ‘anarkhis pemikiran’, sehingga membahayakan Pancasila dan NKRI. Padahal sejak Soeharto lengser delapan tahun lalu, sepertinya rakyat sudah kurang tertarik lagi pada tema ‘awang-awang’ yang jarang ada contoh dan kenyataannya seperti itu. Bagi mereka, solusi riil masalah sehari-hari jauh lebih mendesak. Termasuk pertolongan untuk ribuan orang di Sidoarjo yang sawah atau pabriknya terendam lumpur sehingga masa depan mereka tidak menentu.
Rupanya di kalangan birokrasi, kebiasaan proaktif ini masih langka. Padahal menurut Stephen Covey dalam buku yang bestseller dunia, ‘The Seven Habits of Highly Efective People’, proaktif adalah kebiasaan pertama yang harus dibangun sebelum kebiasaan-kebiasaan yang lain. Proaktif adalah pilihan seseorang, apakah dia akan menyerah pada kondisi eksternal yang tidak dia kuasai (takdir), atau dia berbuat maksimal dalam peluang-peluang yang masih tersisa baginya.
Andaikata pemerintah kita proaktif, begitu gempa besar terjadi, akan segera dia kerahkan TNI untuk membantu mengatasi keadaan. Lupakan sementara soal dwifungsi TNI. Bagaimanapun juga, di negeri ini TNI adalah organisasi yang paling rapi, berfasilitas terlengkap serta amat terlatih menghadapi situasi darurat seperti perang, dan ini bisa dimanfaatkan untuk mengatasi bencana.
Andai pemerintah kita proaktif, begitu Pemkab Sidoarjo tidak sanggup mengatasi lumpur panas dalam 3×24 jam, semestinya tanggungjawab itu langsung diambil alih pemprop dan begitu pemprop juga tidak bisa mengatasi dalam 3×24 jam, pemerintah pusat segera ambil alih. Mereka tidak perlu menunggu laporan berulang di media massa – yang itupun kadang masih dikilah, “Belum dapat laporan resmi”. Mereka juga tidak perlu menunggu ada konflik horizontal antar-warga yang saling berebut tanggul. Kalau mereka dalam 3×24 jam juga tak sanggup mengatasi keadaan, mereka wajib segera memanggil ahli-ahli perminyakan dunia yang biasa mengatasi semburan liar. Semburan liar, apakah itu minyak mentah atau gas, bukanlah barang baru di dunia perminyakan. Retakan bumi bisa saja membuat suatu pengeboran berantakan. Tentu saja PT Lapindo Brantas tidak sengaja membuat keonaran ini. Dia hanya berada di tempat yang salah pada saat yang salah dan bereaksi salah. Mestinya, setiap perusahaan yang diberi izin eksploitasi migas, memang sudah teruji memiliki pengetahuan dan fasilitas untuk menghadapi kondisi terburuk, termasuk semburan liar. Ini yang harus diteliti oleh BP Migas, KLH beserta kepolisian. Jadi jangan cuma mau enaknya saja dikasih ‘sumur emas hitam’.
Andaikata pemerintah kita proaktif, isu-isu semacam ini tidak perlu baru dibahas setelah bencana di pelupuk mata. Dia harus diantisipasi jauh-jauh hari. Itu saat ketika para peneliti berseminar ilmiah. Itu juga saatnya mereka sharing data, tanpa menunggu diminta. Apalagi bila itu data milik publik, yang pengadaannya dibiayai pajak. Data BMG, BPS, Bakosurtanal, LAPAN, LIPI, Geologi, dan sebagainya, itu sebaiknya tidak dianggap Rahasia Negara atau Rahasia Instansi. Itu data milik publik. Dengan teknologi internet sekarang ini, menyajikan data itu kepada publik sebenarnya sangat sederhana, bahkan kalau — maaf — belum dianggarkan sewa host sendiri, bisa nebeng pada situs-situs blog gratis yang daya tampungnya Giga Bytes, jadi tidak perlu biaya tinggi. Asal ada niat. Asal proaktif.
Dan andaikata kita semua – rakyat ini – proaktif, kita tentu tidak cuma bisa berdiam diri sambil mengumpat pemerintah. Kita bisa terlibat dalam aksi-aksi sosial – yang karena keterbatasan kita tentunya hanya sementara – dan kita juga bisa ‘ngithik-ithiki’ agar para pejabat pemerintah ikut proaktif. Kalau mereka tidak berani karena katanya “itu wewenang pejabat di atasnya”, kita bisa cross-check apa betul tafsiran mereka itu. Jangan-jangan hanya karena mereka malas, emoh proaktif. Kalau memang ada aturan yang keliru, ini bisa kita gugat, kita bikin clash action, kita bawa ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi, dan kita libatkan media. Di era reformasi ini sudah banyak yang seperti ini yang berhasil.
Proaktif adalah kebiasaan dalam diri kita. Tepatlah, kalau Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Qs 13 – Ar Ra’ad:11).