Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama, Bakosurtanal.
Berniat menyusul “sukses” konferensi PBB tentang perubahan iklim (UNCCC) di Bali akhir 2007 lalu, Indonesia kembali menjadi tuan rumah konferensi serupa, yaitu konferensi PBB tentang anti korupsi ke-2 atau Conference of States Parties to the United Nations Convention Against Corruption 2 (COSP-2 UNCAC), yang juga akan diselenggarakan di Bali pada 28 Januari hingga 1 Februari 2008.
Kalau pada UNCCC salah satu yang mengemuka adalah tuntutan negara-negara berkembang untuk mendapatkan transfer teknologi ramah lingkungan untuk mencegah atau mengurangi gas rumah kaca, maka pada UNCAC ini yang mengemuka adalah teknologi untuk mencegah dan mengurangi korupsi.
Apakah ada teknologi anti korupsi seperti ini? Korupsi adalah suatu bentuk kejahatan luar biasa, yang terkait dengan masalah ahlaq? Mungkinkah ada teknologi yang dapat menggiring agar ahlaq seseorang lebih lurus? Pertanyaan ini memang sangat filosofis, dan perlu dijawab sebelum kita memutuskan apakah teknologi dapat efektif untuk memerangi korupsi atau tidak?
Dari pengamatan kita dapat melihat bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh banyak faktor: motivasi pribadi, kultur/kesempatan yang diberikan lingkungan, dan paksaan sistem. Paksaan sistem dapat berupa peraturan dan dapat pula berupa teknologi.
Contoh: Untuk untuk mencegah agar jalan tidak macet oleh para penyeberang sembarangan, kita bangun jembatan penyeberangan. Untuk menggiring orang agar menyeberang pada jembatan penyeberangan itu, kita dapat kembalikan pada kesadaran individu yang dicoba dibentuk dengan edukasi. Namun realita menunjukkan, kesadaran ini hanya akan muncul pada sedikit orang. Sebagian orang malas untuk naik turun jembatan penyeberangan. Lalu ada pengaruh kultur. Kalau orang kita ada di Luar Negeri yang kultur kepatuhan lalu lintasnya tinggi, mereka juga malu untuk menyeberang jalan bukan di tempatnya. Sebaliknya, orang asing dari negara maju jika datang ke negeri kita, juga lalu tidak malu ikutan melanggar, karena kultur kepatuhan kita rendah. Untuk itu diperlukan pemaksaan oleh sistem. Pada situasi tertentu, sistem ini cukup berupa aturan. Misalnya, mereka yang menyeberang tidak di jembatan akan didenda Rp. 1 juta. Namun efektifkah aturan ini? Yang akan terjadi, kalau ada petugas yang menangkap basah pelanggar, lebih cenderung akan ada cincai. Lebih ringan membayar Rp. 50.000 saja ke petugas, tanpa kwitansi, dan uang masuk kocek pribadi petugas, yang gajinya toh juga kecil. Pemaksaan ini lebih efektif dengan memasang pagar tinggi di tepi atau median jalan, sehingga orang mau tak mau harus lewat jembatan. Pagar tinggi inilah teknologi pemaksa perilaku. Dan inilah yang kita cari untuk mencegah dan mengurangi korupsi.
Transparansi
Adalah fitrah manusia untuk tidak ingin diketahui umum jika perbuatannya dirasa melanggar hukum atau norma/etika/kepatutan yang berlaku. Karena itu wajar jika alat utama pencegah korupsi adalah keterbukaan atau transparansi. Karena itu, teknologi utama pencegah korupsi ada pada teknologi yang mendukung transparansi.
Transparansi ini mulai dari perencanaan, penganggaran, rekrutmen personel, pengadaan barang dan jasa, pelaksanaan pekerjaan, perjalanan, pengawasan hingga penggunaan hasil pekerjaan. Karena tujuannya adalah transparansi, yaitu keterbukaan informasi, maka teknologi informasi dengan beberapa pengembangannya akan sangat menonjol di sini. Berikut ini adalah beberapa contoh inovasi yang sedang dikembangkan:
Cooperative-planning. Ini adalah suatu teknologi, di mana masyarakat via internet dapat memonitor perencanaan tata ruang pemerintah daerahnya sejak awal. Masyarakat jadi tahu di mana saja yang akan dikembangkan, apa dampaknya bagi lingkungan & sosial-ekonomi sekitarnya, termasuk juga perkembangan harga tanah di daerah itu. Gerak mafia tanah dan oknum pemda pembisiknya akan terbatasi. Masyarakat juga dapat memberikan masukan secara langsung atas perencanaan yang sedang dibuat.
Cooperative-Budgetting. Ini teknologi penganggaran rinci dari dengan pelibatan masyarakat bisnis dan calon pengguna secara langsung, sehingga menghindari duplikasi, mark-up maupun penganggaran untuk kegiatan siluman atau kegiatan yang tak ada penggunanya.
e-Recruitment. Ini adalah teknologi untuk merekrut calon personel, di mana para calon cukup mengisi CV melalui website, dan sekaligus mengerjakan suatu test on-line yang akan menentukan apakah yang bersangkutan pantas dipanggil wawancara atau tidak. Pada saat tatap muka, para calon harus dapat membuktikan bahwa semua data dan dokumen yang mereka tulis dalam CV adalah sahih. Teknik ini selain mengurangi KKN dalam rekrutmen juga efisien bagi lembaga untuk mendapatkan orang yang tepat dan bagi sang calon untuk mendapatkan tempat kerja yang tepat. Contoh yang sudah berjalan adalah pada jobs.com.
e-Procurement. Ini adalah teknologi untuk melakukan tender barang dan jasa secara on-line. Syarat dan ketentuan tender dapat dilihat siapapun. Beberapa kriteria kunci (seperti spesifikasi, delivery time, harga, dsb) sudah disiapkan form-nya secara on-line, dan sistem dapat dengan otomatis membatasi calon yang dipanggil tatap muka untuk dilihat otentitas segala dokumen yang dimilikinya atau untuk wawancara. Selain transparan, cara ini juga sangat hemat waktu dan kertas. Saat ini, tender konvensional sangat boros kertas, karena setiap proposal akan dilampiri berton-ton dokumen perusahaan, yang umumnya juga tidak dibaca oleh panitia tender.
Dalam pelaksanaan pekerjaan, sistem akuntansi yang terkoneksi dengan sistem penjadwalan pekerjaan, dapat sangat efektif digunakan untuk pengawasan. Setiap milestone harus dilampiri foto dari objek yang telah selesai. Auditor dan masyarakat dapat memeriksa apakah objek tadi secara real ada di alam nyata?
Untuk perjalanan, seseorang dapat dilengkapi dengan “gelang-GPS”, yang akan merekam koordinat dari rute perjalanannya, atau merekam tempat tujuannya setiba di sana. Sekarang sudah ada gelang GPS yang merekam koordinat ini setiap 10 menit sekali, sehingga baterei tahan berhari-hari. Gelang-GPS ini dapat diatur agar hanya dapat dimatikan dengan sidik jari dari pemberi tugas. Pada level yang lebih sederhana, saat ini ada beberapa taksi yang dilengkapi GPS, sehingga sopir tak bisa seenaknya, sebab posisinya selalu dapat diketahui sentral taksi (call-center). Namun di saat yang sama sopir juga diuntungkan karena dengan sistem itu order langsung diberikan ke taksi terdekat yang kosong.
Pengawasan
Pada umumnya, pengawasan dilakukan dengan melihat neraca obyek yang diawasi. Neraca ini dapat dikembangkan agar tak cuma bersifat tabular, tetapi juga bersifat spasial (keruangan).
Seandainya ada aturan bahwa dalam tiap LPJ kepala daerah atau bahkan presiden wajib dilampiri peta / citra satelit yang menunjukkan kondisi lingkungan sebelum dan sesudah masa jabatan, tentu juga para kepala daerah tidak bisa seenaknya menguras kekayaan daerahnya. Rakyat yang cerdas spasial juga terbantu dalam ikut mengontrol jalannya pemerintahan.
Setiap pemegang Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI) diwajibkan menyetor foto / citra Landsat setiap tahun. Pemerintah ingin menilai berapa besar hutan yang benar-benar ditebang dan sejauh mana penanaman kembali. Praktek yang terjadi saat ini, foto atau citra itu sering dimanipulasi. Sepintas memang tampak mudah mengambil suatu bagian citra atas lahan yang masih berpohon untuk dicopy di bagian lain yang sudah gundul. Penebangan berlebih jadi tersembunyi. Hanya saja, teknik ini mustahil dilakukan sempurna untuk semua kanal Landsat yang ada 7. Dengan analisis spektrum di semua kanal akan ditemukan discontinuity. Gambar akan tampak aneh di kanal lain. Hanya gambar asli yang tidak menunjukkan efek itu. Korupsi pajak HPH dan pelanggaran konsesi yang amat membahayakan lingkungan dapat terdeteksi.
Sistem perpajakan di Indonesia menganut asas self-assesment. Sayangnya, banyak hal membuat tingkat kejujuran wajib pajak masih rendah, termasuk para pejabat! Bahkan jumlah orang kaya yang punya NPWP masih di bawah 20%. Namun dengan citra resolusi tinggi (misal Quickbird) dapat diidentifikasi dengan cepat asset-asset yang ada di suatu tempat (rumah, kolam renang, lapangan golf) untuk diuji silang dengan status kepemilikan dan perpajakannya. Tentunya akan janggal bila pemilik rumah mewah belum punya NPWP. Janggal pula bila sebuah pabrik besar (tampak di citra), ternyata melaporkan jumlah produksi yang amat kecil – dan tentunya PPN atau PPh yang kecil. Dengan ini, upaya main mata pemeriksa dengan wajib pajak (ini korupsi “sektor hulu” terbesar) dapat lebih awal dicegah!
Investigasi
Bagian terakhir dari teknologi anti korupsi adalah teknik investigasi. Biasanya ini dimulai dari analisis laporan transaksi keuangan, baik yang ada di bank maupun hasil audit akuntansi dan juga audit atas alat komunikasi atau komputer yang sering dipakai (ini disebut ICT-forensic). Korupsi jarang bisa dilakukan sendirian dan sulit tidak meninggalkan bekas, walaupun itu hanya sms. Meski kadang dibuat rekening atas nama orang lain (misalnya pembantu, sopir atau anak asuh), tetapi jika orang-orang ini, yang kesehariannya amat sederhana, tiba-tiba menerima transfer uang yang sangat besar, tentu tampak kejanggalannya. Jika tidak ingin terdeteksi lewat ICT-forensic, maka dia akan minta serah terima uang dilakukan langsung, dan tentu saja tanpa tanda terima. Untuk yang seperti ini perlu dilakukan skenario agar tertangkap basah.
Maka jika indikasinya cukup kuat, dilakukan aksi mata-mata (surveillance), seperti menaruh kamera tersembunyi untuk menangkap basah sang pelaku pada saat melakukan transaksi fisik.
Namun seluruh teknologi ini hanya bisa diterapkan bila perangkat hukumnya mendukung. Beberapa UU hingga Kepres tentang penerimaan CPNS atau pengadaan tentu wajib diubah agar lebih transparan dan dapat mengadopsi teknologi anti korupsi. Saat ini masih banyak aturan yang justru menyuburkan korupsi. Misal aturan bahwa untuk pengadaan harus ada perusahaan penjual di Indonesia. Akibatnya ketika membeli buku atau software dari Luar Negeri, kita tidak bisa membeli via amazon.com dengan cukup menggunakan kartu kredit, tetapi harus melalui proses penawaran yang ribet, dan ujung-ujungnya jauh lebih mahal.
Jadi implementasi seluruh teknologi ini tentu memerlukan keputusan yang berani dari pemimpin masyarakat, termasuk keberanian untuk memperbaiki aturan main. Memang benar, seorang pemimpin harus seseorang yang shaleh, jujur, cerdas dan diterima masyarakat. Tetapi lebih dari itu ia juga harus orang yang berani berhadapan dengan semua tradisi dan hukum yang anti syariat, termasuk terhadap para pelanggar hukum terutama dari kalangan orang-orang kuat. Untuk itu, dia harus takut hanya kepada Allah saja.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Bang Fauzi Bowo (Foke) dan Priyanto telah terpilih dan dilantik sebagai gubernur & wakil gubernur DKI Jakarta yang baru. Namun terlalu pagi untuk pesta syukuran. Karena siapapun yang terpilih sebagai gubernur DKI, pasti akan segera pusing dihadapkan pada beberapa masalah serius ibu kota, yaitu: (1) kemacetan, (2) sampah, (3) banjir, (4) layanan umum dan (5) kemiskinan. Masalah kemiskinan sangat terkait erat dengan keamanan.
Persoalan transportasi begitu mengemuka karena lebih dari dua juta orang setiap hari masuk Jakarta, dan mereka menghabiskan 4-5 jam setiap hari di jalan raya. Energi yang terbuang percuma di jalanan karena kemacetan ditaksir mencapai 30% konsumsi energi ibu kota. Demikian juga pengeluaran warga kelas bawah di Jakarta hampir 30% ada di sektor transportasi. Seorang buruh dengan penghasilan UMR di bawah Rp. 1 juta, akan mengeluarkan ongkos untuk dirinya sendiri ke tempat kerja minimal Rp. 4000 / hari atau lebih dari Rp 100.000/bulan.
Kemacetan adalah problema transportasi. Tata ruang yang buruk menyebabkan warga yang bekerja di dalam kota harus tinggal di permukiman kumuh yang tak layak atau jauh di pinggiran, menyebabkan kebutuhan transportasi yang tinggi, yang saat ini tidak terlayani dengan angkutan umum massal yang memadai. Kuncinya sebenarnya pada penyediaan sebanyak mungkin permukiman susun di tengah kota yang dekat dengan tempat kerja. Agar permukiman susun ini tidak salah sasaran, Jakarta perlu secepatnya menerapkan Single Identity Number (SIN) untuk tiap penduduknya. SIN bersama sistem informasi penduduk yang handal, dapat mendeteksi dengan cepat warga yang memang belum memiliki tempat tinggal, atau tempat tinggalnya terlalu jauh dari lokasi kerjanya.
Dengan demikian, strategi pertama adalah ”reduce”, atau mengurangi kebutuhan transportasi melalui pola tata ruang yang optimal. Strategi kedua adalah ”(sha)re-use”, atau penggunaan bersama/berulang – artinya mendorong transportasi umum massal yang optimal. Untuk Jakarta seharusnya yang ideal adalah monorel. Namun entah kenapa, teknologi yang ditawarkan selalu terlalu mahal, sehingga tidak ada investor – termasuk BUMN atau BUMD pemda DKI sendiri – yang berani maju. Yang sudah operasional baru busway, yang sebenarnya tidak benar-benar signifikan dalam memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke angkutan umum massal. Sebagian besar pengguna busway sekarang sebenarnya sudah pengguna angkutan umum juga, hanya karena kebetulan tujuannya terlayani jalur busway sehingga merasa lebih untung naik busway yang lebih cepat (karena melalui jalur khusus) dan murah (karena satu tarif ke manapun). Namun beberapa koridor busway justru menimbulkan masalah baru, misalnya ketika busway itu bersilangan dengan jalur kendaraan yang akan masuk/keluar tol. Strategi ketiga adalah ”re-cycle” – artinya penggunaan cycle atau sepeda. Jakarta adalah kota yang datar, yang sangat mungkin orang menggunakan sepeda. Namun saat ini sangat sulit menemukan sepeda melewati jalan-jalan protokol. Jakarta adalah kota yang sangat tidak ramah pada pengguna sepeda. Tidak ada jalur khusus sepeda seperti di kota-kota besar Eropa. Padahal bersepeda sangat sehat, hemat dan tidak menimbulkan polusi. Kalaupun merasa jarak tempuh cukup jauh, sekarang sudah banyak sepeda listrik yang dapat memiliki jarak tempuh 40 km. Malam hari baterei sepeda itu dapat diisi ulang di rumah. Sayang teknologi yang antara lain dikembangkan oleh LIPI ini tidak banyak dilirik.
Strategi reduce, re-use dan re-cycle juga ditemukan untuk mengatasi sampah. Bertahun-tahun DKI harus ”berantem” dengan masyarakat sekitar Tempat Pembuangan Akhir di Bantargebang Bekasi atau Bojong Bogor. Sampah apapun harus dikurangi. Dengan pemisahan sampah yang benar (logam – gelas – plastik – kertas – bio – khusus), sampah-sampah tertentu dapat digunakan kembali (reuse) atau didaur ulang (recycle). Jadi teknologi mengatasi sampah tidak sebatas landfill atau inscenerator. Teknologi reuse & recycle akan membuka lapangan kerja yang luas. Di lapangan sudah banyak orang yang mengais rizki sebagai pemulung. Tinggal diciptakan pola kerja yang lebih manusiawi dan sehat untuk mereka saja.
Kalau tata ruang dapat dibenahi dan sampah teratasi, banjir juga lebih mudah teratasi. Memang banjir tidak hanya persoalan tata ruang dan sampah. Namun tata ruang yang salah adalah penyebab rusaknya daerah resapan air. Dan sampah adalah penyebab utama pendangkalan saluran, macetnya pompa dan tidak optimalnya pintu air. Barangkali jika Banjir Kanal Timur sudah adapun, dia tak akan banyak berfungsi lantaran penuh dengan sampah. Makanya rencana pemda DKI membangun terowongan dalam serba guna atau Multi Purpose Deep Tunnel (MPDT) yang di musim kering jadi terowongan tol, dan di musim banjir jadi pembuang air harus dikritisi. Dengan volume sampah seperti sekarang, bisa saja terowongan itu hanya sekali pakai – setelah itu tidak dapat dipakai lagi karena sampahnya nyaris mustahil dibersihkan lagi.
DKI yang dihuni hampir 10 juta jiwa memang sudah saatnya memerlukan sistem layanan umum yang canggih. Namun sekarang, jangankan untuk mendapatkan layanan mudah dan murah untuk KTP, akte kelahiran atau pemakaman, untuk mendapat informasi tentang bagaimana cara mendapatkan pelayanan saja di DKI susah. Datang ke dinas-dinas, kita sering dihadang oleh jam kerja yang tidak jelas dan SDM yang kurang kompeten. Sedang teknologi internet yang sebenarnya dapat digunakan untuk layanan 24 jam malah kurang dimanfaatkan. Masak DKI yang punya APBD terbesar dan dekat dengan para pakar harus kalah dengan misalnya Kabupaten Takalar yang justru sudah menerapkan e-government dengan berhasil?
Kalau masalah transportasi, sampah, banjir dan layanan umum teratasi, mengatasi kemiskinan juga akan terasa jauh lebih mudah. Kemiskinan di DKI terasa di depan pelupuk mata. Di mana-mana ada pengemis. Namun kita justru diancam denda bila bersedekah pada pengemis, sementara pemerintah juga praktis tidak berbuat banyak. Malah bikin peraturan yang mengancam denda Rp 50 juta bagi pengemis atau pengamen. Tetapi ini hanya aturan konyol yang tidak akan operasional. Kalau punya 50 juta ngapain ngemis atau ngamen? Atau kita sudah terlalu stress dengan kemacetan sehingga tak sempat lagi berfikir jernih bagaimana mengatasi kemiskinan?
Memang tidak ada teknologi untuk mengatasi kemiskinan. Namun banyak hal yang bisa digerakkan untuk mengatasi masalah di DKI (kemacetan, sampah, banjir, layanan), yang semestinya mampu membuka banyak lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan. Lagi-lagi diperlukan sistem informasi penduduk yang handal. Kemiskinan bukan sekedar angka-angka statistik atas penghasilan perkapita, tetapi realita bagi seorang bocah harus terdampar di jalanan, seorang janda menjadi pelacur untuk membelikan susu bayinya, dan seorang ayah kebingungan membawa jasad anaknya yang sakit dan kemudian mati di atas gerobak sampahnya.
DKI harus lebih manusiawi, dengan teknologi yang tepat, di atas landasan yang berkah, yaitu syariah!
(dimuat di Suara Islam no. 31 minggu I-II November 2007)