Dr. Fahmi Amhar
Anda di rumah memiliki globe (bola dunia)? Untuk apa? Saat ini banyak pengasong menjual globe murah buatan Cina di beberapa perempatan Jakarta. Sebagian memang didesain untuk dapat dipajang di meja kelas. Sebagian lain untuk dipakai main lempar bola di kolam renang.
Tahukah anda bahwa sekitar 1000 tahun yang lalu, globe adalah sebuah masterpiece. Hingga saat itu belum semua ilmuwan sepakat bahwa bumi itu bulat. Tetapi Abu Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Idris asy Syarif atau dikenal sebagai Al-Idrisi (1100 M – 1165 M) percaya, dan dialah pencipta pertama peta dunia dalam bentuk globe seperti yang kita kenal sekarang!
Sebenarnyalah, al-Idrisi mampu melakukan itu karena sejumlah politisi dan ilmuwan telah membukakan jalan. Berabad sebelumnya, Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Al-Ma’mun mendorong para ilmuwan Muslim untuk menerjemahkan buku-buku ilmiah kuno dari Yunani ke dalam bahasa Arab. Beberapa naskah penting Yunani yang diterjemahkan adalah: Almagest dan Geographia.
Khalifah Al- Ma’mun (813 M – 833 M) memerintahkan para geografer Muslim untuk mengembangkan geodesi, yaitu teknik mengukur jarak di atas bumi. Umat Islam pun akhirnya bahkan mampu menghitung volume dan keliling bumi. Lalu Al-Ma’mun memerintahkan untuk menciptakan peta bumi yang besar. Adalah Musa Al-Khawarizmi bersama 70 geografer lainnya akhirnya mampu menyelesaikan tugas ini pada tahun 830 M. Kemudian Khawarizmi juga menulis kitab geografi yang berjudul “Surah Al-Ard” (tentang geomorfologi), sebuah koreksi terhadap karya Ptolemaeus. Kitab itu menjadi landasan ilmiah bagi geografer Muslim klasik. Pada abad yang sama, Al-Kindi juga menulis sebuah kitab berjudul “Keterangan tentang Bumi yang Berpenghuni”.
Ilmu geografi pun makin berkembang. Di awal abad-10 M, Abu Zayd Al-Balkhi mendirikan akademi survei dan pemetaan di Baghdad. Di abad-11 M, Abu Ubaid Al-Bakri menulis kitab “Mu’jam Al-Ista’jam” (Eksiklopedi Geografi) dan “Al-Masalik wa Al-Mamalik” (Jalan dan Kerajaan).
Al-Idrisi lahir pada tahun 1100 di Ceuta Spanyol. Pada usia muda dia sudah gemar bepergian ke tempat-tempat yang jauh, ke Eropa, Asia dan Afrika, untuk mengumpulkan sendiri data dan fakta geografi. Walhasil, pada usia di bawah 30 tahun, dia sudah menulis kitab geografi berjudul “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” (Tempat Orang yang Rindu Menembus Cakrawala). Kitab ini begitu berpengaruh di Barat sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, “Geographia Nubiensis”.
Kemasyhuran dan kompetensi al-Idrisi didengar oleh Raja Roger II dari Sicilia (1129 M – 1140 M). Ia mengundang dan memfasilitasi al-Idrisi untuk membuat peta dunia paling baru saat itu. Al-Idrisi menyanggupi namun mengajukan syarat bahwa dalam peta itu ia ingin memasukkan data wilayah Sicilia yang pernah 200 tahun berada di bawah kekuasaan kaum muslim sebelum Raja Roger berkuasa. Raja Roger setuju.
Peta pesanan Raja itupun diwujudkan oleh al-Idrisi dalam bentuk globe dari perak seberat 40 kg yang secara cermat memuat pegunungan, sungai-sungai, kota-kota besar, dataran subur dan dataran gersang, lengkap dengan informasi tinggi di beberapa titik. Karya ini dilengkapi sebuah buku berjudul “Kitab Al-Rujari” (Roger’s Book) sebagai bentuk penghormatan ke Raja Roger.
Kitab ini diakui dunia sebagai bentuk deskripsi paling teliti dan cerrmat tentang peta dunia pada abad pertengahan. Bahkan buku tersebut menjelaskan keberadaan sebuah pulau yang terletak sangat jauh dan terpencil, seperti sebuah pulau es (mungkin Islandia), di mana perjalanan mencapai pulau itu sangat sulit karena dipenuhi kabut dan lautan yang sering dilewati bongkahan-bongkahan es berbahaya yang hanyut.
Ia juga menggambarkan tentang “Laut Gelap” yang kemudian dinamai Atlantik. Al-Idrisi menyebut penduduk asli yang mendiami pulau di laut tersebut sebagai penduduk Inggris.
Peta dan globe buatan al-Idrisi, sekalipun di beberapa area masih kosong (karena saat itu belum ada informasi tentang keberadaan benua Amerika atau Australia), namun secara umum sudah memberikan gambaran yang akurat kepada masyarakat, terutama bangsa Eropa. Mereka menggunakan peta itu untuk melakukan penjelajahan dunia – bahkan berakhir dengan penjajahan!
Selain membuat peta dunia dan globe, al-Idrisi juga menciptakan beberapa metode baru untuk mengukur garis lintang dan bujur, menulis kitab “Nuzhat al Mushtaq fi Ikhtiraq al-Afat” yang berguna untuk orang-orang yang ingin mengadakan perjalanan menembus berbagai iklim. Ini adalah sebuah ensiklopedia yang berisi peta yang digambar rinci dan informasi lengkap dari negara-negara yang pernah dikunjunginya. Buku ini diterjemahkan dan diedarkan oleh orang Barat dalam bahasa Latin berkali-kali, dan pada tahun 1619 (hampir 4 abad kemudian!), diterbitkan di Roma dengan judul “Geographia Nubiensis” dalam versi cetak, karena saat itu mesin cetak sudah ditemukan.
Namun al-Idrisi masih menulis beberapa buku lagi. Pertama sebuah ensiklopedia yang lebih komprehensif “Rawd-un-Naas wa-Nuzhat al-Nafs” (Kenikmatan Manusia dan kesenangan Jiwa), “Shifatul Arab” (Karakter bangsa Arab), dan “Kharithanul ‘Alamil ma’mur minal Ardh” (Sumber daya alam dunia). Karya-karya ini juga diterjemahkan ke berbagai bahasa, antara lain Spanyol (1793), Jerman (1828), Perancis (1840) dan Italia (1885).
Dr. Fahmi Amhar
Hizbut Tahrir (“Partai Pembebasan”) adalah sebuah fenomena politik Indonesia
yang unik. Dari seratus lebih parpol yang mewarnai pentas nasional sejak reformasi 1998, HT
adalah “partai” yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari
awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah.
Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana.
Di Indonesia HT eksis dengan legalitas sebagai organisasi massa dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas “yang unik” dari HT.
1. Da’wah Group – but also Political Party
HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS
3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang
mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini
bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.
2. Politics – but smart & make the people smart
Namun aktivitas politik HT adalah “high-politics” atau “smart and smarting
politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya,
sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan
Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan
islami, tanpa harus berkuasa sendiri.
3. Political party – but extra parlementary
Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen.
Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki
massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi
tidak sepenuhnya kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi
tegaknya Islam di manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan
bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu
melalui jalan parlemen. Meski demikian HT membolehkan seorang muslim yang memperjuangkan Islam via parlemen untuk muhasabatul hukkam (menasehati penguasa) atau untuk menguak hukum-hukum atau perilaku penguasa yang bertentangan dengan Islam.
4. Revolutionary – but start in the mind
Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala)
sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran.
Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya
sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus
digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan
mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang
tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan – bahkan
revolusi – di segala bidang (QS 13:11).
5. Social Change – but not forget Individu
Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari
atas, ataupun didongkrak dari bawah (individu-individu). Masyarakat tidak
sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan
diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik
secara individual para kadernya, seraya bersama-sama melakukan interaksi ke
masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan
memiliki power, sementara opini umum juga sudah kondusif untuk Islam, maka
perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami
ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi
kader.
6. Fundamental – but not dogmatic
Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini
satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang
ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan
gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan:
mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata.
Karena itu oleh sebagian gerakan lain -juga di kubu fundamentalis – HT
pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri
dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab
tertentu.
7. Syariat Islam – but not just “Jakarta Charter”
Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT
tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD
45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan
konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang
piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu
sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral
(politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar
hukum (=sanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam
bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi
anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori
kepemilikan, teori harga, peran negara dsb.
8. Islamic State – but not theocracy
HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya
dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah
theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara
Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat,
muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada pada syara’,
namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh
alam.
9. Unity of Umma – but not unity of party
Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan
ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu
sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka.
Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan
dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun
ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun
boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun
khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja.
10. Khilafah – but not just group leader
Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin
jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun
khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan
yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi
di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil
hukum yang mengikat.
11. Orthodox – but with ijtihad
HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli
pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah
konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu
tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang
membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa
runtuh.
12. Syura’ – but not democracy
HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi
tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang
terkuat argumentasinya – bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah
teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang
diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah,
misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama
memenuhi syarat.
13. Radical – but not exclusive
Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat
disebut gerakan radikal (radix = akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan
eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk
perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari
pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab,
itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak
punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering
dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim!
14. Substantive – but take also the symbols
HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi
substansi – simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan
lainnya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan
menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di
tingkat individu dan – bila perlu – di tingkat negara.
15. Jihad – but peaceful
HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”.
Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap
usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik.
Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa
nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri
Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar – dan ini
tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa daulah Islam mengkhianati baiat
rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan
daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun
saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa.
Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui
dialog, diskusi publik, media massa dsb.
16. Uncompromising – but no violence
Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’,
sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti
kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat
penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini
karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi
orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara.
Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya
mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.
17. Liberating – but not liberal
Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut
Tahrir” (Partai Pembebasan) – tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun
pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang
bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama
manusia menjadi pada Allah saja.
18. Tolerance – but not pluralism
Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda,
HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang
masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat
bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT.
Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan
di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam
masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.
Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat
tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk
memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung
pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi.
19. International – but work local
Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena
itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh
dunia, juga di negara-negara Barat.
Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu
prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah
komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka
dakwah lebih intensif
20. Local – but not nationalism
Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan
nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila
negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena
merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena
HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah
kewajiban syara’.
HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara
tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu
saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal
bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu
saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di
sanalah cita-cita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh
ummat yang telah berubah cara berpikirnya.
Referensi:
Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum
Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir
Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir
Dr. Fahmi Amhar
Masa keemasan peradaban Islam sering diindikasikan dengan berbagai kemajuan pada bidang ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf) dan ilmu-ilmu alam atau sains (astronomi, matematika, fisika, kimia, kedokteran dan sebagainya). Pertanyaan yang kemudian muncul, di mana posisi ilmu-ilmu sosial?
Ilmu-ilmu sosial memang berbeda dengan sains maupun ilmu-ilmu agama. Sementara sains relatif netral dan ilmu-ilmu agama jelas bersumber dari Islam, maka ilmu-ilmu sosial sering tercampur aduk, antara kajian ilmiah dengan pandangan hidup. Ilmu sejarah atau sosiologi misalnya, sering hanya ditinjau dari sudut pemenang peradaban. Dalam dunia saat ini yang didominasi Barat, ilmu ini praktis memandang segala hal dari standar liberalisme. Demikian juga ilmu ekonomi. Berbagai cara pandang kapitalisme terhadap masyarakat, kemakmuran ataupun kebahagiaan dianggap dalil yang tidak dapat ditolak lagi.
Karena itu lebih tepat bila umat muslim mengembangkan sendiri ilmu-ilmu sosial ini agar tidak menjadi “anak tiri”, baik dari sisi ilmu sosialnya maupun dari kemuslimannya. Dan mereka memiliki sejumlah besar teladan di masa keemasan peradaban Islam.
Ilmu Sejarah termasuk yang paling awal dipelajari oleh para sarjana muslim. Abu Muhammad Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 834 M) sudah menulis “Sirah Nabawiyah” (sejarah Rasulullah) sekaligus memulai suatu tradisi ilmu sejarah yang tidak sekedar menceritakan suatu peristiwa dari sudut pandangnya, tetapi juga melengkapinya dengan metode periwayatan, suatu hal yang diadopsinya dari ilmu hadits. Terobosan Ibnu Hisyam kemudian dilanjutkan sejarahwan muslim yang lain seperti Abul Hasan Ali ibn al-Husayn ibn Ali Al-Mas’udi (wafat 956 M) yang menulis karya agung “Muruj al-Zabab wa Muadin al-Jawhar” (Lahan Emas dan Tambang Mutiara) tentang kajian geografi sosial (termasuk sejarah, sosiologi dan ekonomi) bangsa-bangsa di dunia (dari Mesir, Romawi, Perancis, Persia, hingga India) yang pernah dikunjunginya.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 903 H / 1498 M) menulis “Tarikhul Khulafa” (sejarah para khalifah hingga masanya). Dalam kitabnya itu dia menulis bahwa rujukannya adalah “Tarikh” karya Adz-Dzahabi yang berakhir pada 700 H, lalu “Tarikh” karya Ibnu Katsir yang berakhir pada 738 H, kemudian “Kitab Anbaa’ Al Ghumr” karya Ibnu Hajar al Asqalani yang berakhir tahun 850 H sedang dari masanya dia merujuk “Tarikh Baghdad” karya Khatib Al-Baghdadi sebanyak 10 jilid dan “Tarikh Dimasyq” karya Ibnu Asakir sebanyak 57 jilid.
Ilmu ekonomi, yang membahas berbagai hal teknis dalam urusan pertanahan, administrasi dan keuangan, sudah dimulai oleh Abu Hanifa an-Nu‘man (699-767 M), Abu Yusuf (731-798 M), Ishaq bin Ali al-Rahwi (854–931 M), al-Farabi (873–950 M), Qabus (wafat 1012 M), Ibn Sina (980–1037 M), Ibn Miskawayh (lahir 1030 M), al-Ghazali (1058–1111 M), al-Mawardi (1075–1158 M), Nasīr al-Dīn al-Tūsī (1201-1274 M), Ibn Taymiyyah (1263–1328 M) dan al-Maqrizi (1364-1442 M).
Abū al-Rayhān al-Bīrūnī (973-1048 M) sering disebut sebagai “antropolog pertama”. Dia menulis detail studi komparasi antropologi dari bangsa-bangsa, agama dan budaya di Timur Tengah, Mediteran dan Asia Selatan. Al-Biruni juga bapak dari Indologi – ilmu tentang India.
Dari semua ilmuwan sosial muslim, tidak diragukan bahwa yang terbesar adalah Ibnu Khaldun. Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz, fuqoha, astronom, geografer, matematikawan, sejarawan, sosiolog, ekonom dan negarawan. Bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (di Barat dijuduli “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarawan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan sejarawan Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang keilmuan setaraf Ibnu Khaldun.
Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“ adalah teori terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi).
Menurut Ibnu Khaldun, ada semacam siklus perubahan sosial yang pada momentum tertentu dapat berubah secara tajam. Idenya didasarkan pada tesis manfaat dari spesialisasi pekerjaan: semakin besar kohesi sosial, semakin berhasil pembagian kerja yang kompleks, maka ekonomi akan tumbuh semakin besar. Dia juga mencatat bahwa pembangunan memberikan stimulasi positif baik untuk supply dan demand dan ini adalah penentu dari harga barang dan jasa. Ibnu Khaldun juga mencatat kekuatan makro-ekonomi dari pertumbuhan populasi, pengembangan SDM dan perkembangan teknologi. Ibnu Khaldun berpikir bahwa pertumbuhan populasi adalah fungsi dari kemakmuran.
Dari hasil penelitiannya atas sejarah bangsa-bangsa terdahulu, Ibnu Khaldun menyimpulkan ada lima fase peradaban yang dialami oleh hampir setiap bangsa. Era pertama adalah era perintis, saat bangsa tersebut masih memiliki visi serta rela berjuang dan berkorban demi masa depan anak cucunya. “Investasi” di era perintis ini adalah yang terbesar. Era kedua adalah era pembangun, saat kesolidan bangsa tersebut telah menjadi modal untuk mengembangkan “asset”, baik dari segi cakupan pengaruh (wilayah, penduduk) maupun ekonominya. Era ketiga adalah era konservasi, saat mereka menjaga apa yang telah diraih, namun “investasi” yang dilakukan hanya sekedar untuk menggantikan yang hilang. Era keempat adalah era penikmat, saat “total asset” bangsa mulai berkurang dan “total investasi” negatif. Dan era kelima adalah era penghancur, saat bangsa itu praktis kembali mundur dan tak diperhitungkan lagi.
Era Rasulullah dan para shahabat dapat dianggap era perintis. Era khilafah hingga awal dinasti Abbassiyah adalah contoh era pembangun, dengan ditandai berbagai capaian-capaian besar dalam politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Masa yang panjang setelah itu adalah era taqlid. Tak banyak lagi futuhat maupun prestasi ilmu yang dapat dilihat. Abad terakhir Abassiyah adalah era penikmat, yang diikuti era kehancuran oleh datangnya pasukan Tartar ke Baghdad. Setelah itu kepemimpinan dunia berpindah ke bangsa Turki (Utsmaniyah). Mereka juga mengalami fase-fase yang sama. Dan apa yang diramalkan oleh Ibnu Khaldun yang hidup di awal dinasti Utsmaniyah ini, kemudian benar-benar terjadi.