Keputusan saya tidak diterima di Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur PMDK bagaikan palu vonis “bersalah” dari seorang hakim. Ada tetangga yang usul agar saya “naik banding”, kalau perlu “kasasi” sekalian. Mereka juga guru, namun di SMA lain, dan tahu, bahwa PMDK dibuat dengan penelusuran prestasi kelas 1 dan 2 SMA. And I was not so worst. Kelas 1-2 saya selalu masuk 5 besar di kelas. Nilai baru “ancur-ancuran” di semester 5 (kelas 3) setelah saya keseringan meninggalkan sekolah untuk ikut final lomba karya tulis di berbagai tempat. Jurusan yang saya pilih di PMDK memang jurusan favorit saya – fisika FMIPA – namun bukan favorit bagi banyak orang, dan alokasinya saat itu jauh lebih besar dari jurusan-jurusan seperti teknik elektro atau teknik sipil. Anehnya ada siswa yang prestasi kelas 1-2 “hampir tidak kedengaran”, justru masuk ke jurusan-jurusan favorit tadi. Jadi masuk akal kalau pak tetangga yang guru tadi menduga, jangan-jangan ada konspirasi untuk menghancurkan saya, jangan-jangan form PMDK saya memang sengaja dihilangkan atau tidak diproses semestinya. Siapa mereka? Jangan naif, di dunia itu orang yang berprestasi selalu hidup dua kali lebih berat: pertama mempertahankan prestasinya, kedua menghadapi orang-orang yang dengki!
Ah pikir saya tidak ada gunanya melanjutkan investigasi seperti itu. Hanya pengadilan yang bisa dibanding atau dikasasi. Namun keputusan seleksi murid atau mahasiswa selalu bersifat final, seperti keputusan juri lomba karya tulis yang sering saya ikuti, betapapun anehnya keputusan itu.
Namun sebelas tahun kemudian saya justru mensyukuri kejadian itu.
Karena tidak lolos PMDK, saya harus mempersiapkan diri ikut test Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) Perguruan Tinggi Negeri. Sementara 50 lebih “elit alumni” SMA saya dapat bersenang-senang berliburan, saya harus ikut prihatin bersama ribuan lulusan lain, antri formulir di UGM dari Shubuh. Saya heran kenapa untuk ambil formulir saja harus dibuat begitu rumit. Nanti pas menyerahkan kembali formulir yang telah diisi, antri lagi berjam-jam.
Karena tidak punya uang untuk ikut bimbingan test, saya meminjam buku-buku kumpulan soal dari kakak kelas, dan hampir seribu soal di situ saya kerjakan semua. Kalau dengan kuncinya masih beda, ya telusuri lagi teorinya, sampai ketemu bagaimana mendapatkan jawaban yang benar. Rasanya baru kali itu belajar agak beneran … he he …
Apa “Plan-B” kalau Sipenmaru gagal? Betapapun hebatnya potensi kita dan betapapun sungguh-sungguhnya persiapan kita, akhirnya Tuhan juga yang akan menentukan. Bisa saja, tiba-tiba di hari-H kita jatuh sakit, atau ketabrak becak lalu masuk rumah sakit he he … Apa ya “Plan-B”-nya?
Saya tidak bermimpi sekolah di swasta. Tidak terbayang. Kalau di PTN, tabungan saya mudah-mudahan mencukupi untuk bayar uang kuliah dan hidup satu semester. Setelah itu saya harus survive dengan kuliah sambil menjadi penulis atau tukang ketik atau mengajar di suatu bimbingan belajar. Akhirnya untuk “Plan-B” saya mendaftar di Politeknik (D3). Pas mendaftar, panitianya heran ketika melihat copy Nilai Ebtanas Murni (NEM) saya. NEM rata-rata 8 lebih koq mendaftar di Politeknik ….
Tiba-tiba saya berjumpa dengan teman SMA yang membawa koran tentang iklan beasiswa dari program Overseas Fellowship Program (OFP) – Ristek untuk mengirim lulusan SMA belajar ke Luar Negeri dengan status ikatan dinas (karyasiswa) untuk lembaga-lembaga riset, yaitu BPPT, LIPI, LAPAN, BATAN dan BAKOSURTANAL. Adapun negara yang menjadi tujuan saat itu tertulis Jerman, Belanda, Perancis, Inggris dan Jepang. Ya, tanpa pikir panjang, saya ikutan saja. Dan karena saya senang fisika – dan sangat terobsesi jadi fisikawan nuklir, saya melamar untuk menjadi karyasiswa Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), dan negara yang saya pilih adalah Jerman.
Seleksi OFP ini berlangsung beberapa tahap. Tahap pertama adalah seleksi administrasi. Yang boleh melamar harus memiliki nilai Fisika-Kimia dan Matematika minimal 7 di STTB. Waktu itu nilai NEM tidak ditanyakan. Saya beruntung nilai STTB masih “selamat”, meski ada guru pelajaran tersebut yang ditengarai ikut “berjasa” membuat saya tidak lolos PMDK. Mungkin bingung juga karena NEM saya “ketinggian” kalau nilai STTB saya lebih rendah dari 7. Waktu itu ada perintah agar nilai STTB, dibuat dengan rumus (p+q+nr)/(2+n). p & q adalah rata-rata nilai ulangan harian semester 5 dan 6, r adalah NEM, sedang n adalah koefisien pembobot NEM yang ditetapkan berkisar dari angka 1 sampai 3. Tetapi sepertinya, khusus untuk saya, koefisien n ini dibuat kurang dari 1. Wallahu a’lam.
Tahap kedua adalah seleksi akademis. Selama dua hari sekitar 6000 peserta ditest di Gelora Senayan untuk mengerjakan soal-soal Fisika, Kimia, Matematika dan Aptitude, yang semuanya essay. Untungnya saya masih hangat dari Sipenmaru. Tetapi sebagian kompetitor saya ternyata sudah setahun jadi mahasiswa di ITB, UI atau beberapa perguruan tinggi ternama lainnya. Beberapa teman SMA saya yang PMDK juga ikutan. Ya Allah, kalau Engkau menganggap aku akan menjadi dekat padamu dengan lulus test ini, jadikan aku lulus ya Allah; namun kalau tidak, lebih baik Engkau tutup pintunya dari awal …
Beberapa minggu kemudian saya dipanggil untuk psikotest tertulis. Berarti test akademis sudah lolos. Ada 900 orang yang dipanggil untuk psikotest. Dari 900 ini nanti akan dipilih sekitar 250 orang yang akan diberi beasiswa OFP. Hari psikotest tertulis bertepatan dengan hari pengumuman Sipenmaru. Pagi itu saya membeli koran. Demikian juga beberapa peserta lain. Kami mencari nama kami di sela-sela mengerjakan psikotest. Alhamdulillah saya diterima di Fisika ITB.
Tapi lalu ada masalah. Psikotest wawancara ternyata bertepatan harinya dengan daftar ulang untuk Fisika di ITB. Aduh bagaimana ini? Saat itu setidaknya perlu 4 jam untuk naik bus dari Jakarta ke Bandung. Bagaimana kalau telat? Akhirnya, saya pikir lebih baik saya ambil yang sudah pasti saja. Psikotest ini masih belum tentu lulus. Kenyataannya memang ada teman saya yang terlalu berharap pada beasiswa OFP, kemudian melepas kursinya di salah satu PTN dengan tidak daftar ulang, dan ternyata psikotest OFP gagal. Akhirnya dia nganggur setahun.
Keputusan saya tidak meneruskan test OFP agak mengecewakan ibu saya. Mungkin bagi beliau terbayang kesulitan yang bakal saya hadapi untuk menempuh studi di Bandung, terutama dari sisi finansial. Tapi bismillah, saya meyakinkan diri, bahwa bersama kesulitan pasti ada jalan keluar.
Demikianlah saya memulai hidup di Bandung. Saya bersekolah pada bidang minat saya: fisika. Saya sudah bertekad akan mencetak prestasi sebaik-baiknya, agar dapat beasiswa dari ITB, walaupun belakangan ternyata saya telat memasukkan aplikasi. Yach berarti harus nunggu setahun lagi. Jadi harus mulai menulis lagi ini, agar dapat honor, agar bisa membiayai kuliah.
Tiba-tiba, dua bulan kemudian, ada panggilan lagi dari Sekretariat OFP-Ristek untuk test susulan. Panggilan itu ditujukan ke rumah ibu di Magelang, sehingga ibu saya sangat menganjurkan agar saya ikut test lagi.
Saya sendiri menanggapinya datar-datar saja? Sekarang bukan soal dapat sekolah. Saya sudah dapat kursi di ITB, dan saya enjoy. Sedang lulus test OFP ini baru sebuah awal. Mereka yang lulus kemudian akan menghadapi kursus bahasa dan IPA yang intensif. Kalau gagal, ya tidak jadi berangkat ke Luar Negeri. Lalu mereka yang berangkat, nanti harus ikut test masuk di Universitas yang akan mereka tuju. Kalau gagal gimana? Pulang? Atau masuk Universitas lain yang lebih jelek? Taruhlah berhasil, maka lalu harus sekolah di sana, dengan beban yang tentu lebih berat. Beban bahasa, beban budaya, beban materi kuliah yang tentu tidak seringan di Indonesia, di ITB sekalipun.
Saya mendapat surat dari teman yang sudah lolos test sebelumnya dan sempat ikut kursus bahasa Jepang karena mau dikirim ke Jepang. Baru dua minggu, teman saya ini mengundurkan diri. Tidak tahan belajar bahasa Jepang. Untunglah, dia masih sempat menyusul kuliahnya di UGM. Saya bagaimana ya? Apalagi di ITB kalau meninggalkan kuliah seperti itu harus cuti, dan ini tidak menambah lama studi maksimum.
Selain itu, ternyata instansi yang dapat saya pilih juga sudah berubah. Tinggal BAKOSURTANAL. Apa pula ini? Baru dengar. Kalau BPPT, BATAN, LIPI, semua anak sekolah insya Allah tahu. Tetapi Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional? Lagi pula bidang studinya cuma ada geodesi atau geografi. Saya suka fisika. Bagaimana ini?
Akhirnya, saya pasrah. Saya akan memenuhi anjuran ibu, walaupun akan ikut test tersebut tanpa beban. Nothing to lose.