Definisi Kebangkitan
Kalau kita bicara tentang kebangkitan sebuah bangsa, maka kita harus menetapkan dulu apa definisi kebangkitan itu dan apa indikator sebuah bangsa dikatakan telah bangkit, maju, kuat dan mandiri, juga sebaliknya kapan bangsa itu itu disebut bangsa yang gagal, terbelakang, lemah dan pengekor.
Pertama-tama kita bisa menggunakan definisi yang relatif berlaku umum.
Bangkit berarti bangun dari suatu kondisi yang dianggap memiliki kemampuan lebih rendah, misalnya dari posisi berbaring ke duduk, dari duduk menjadi berdiri, dan dari berdiri menjadi berjalan atau berlari. Dalam konteks sosial-politik, bangkit adalah berubah dari posisi “mati” (statis) menjadi “hidup” (dinamis) secara sosial politik.
Dari sisi kualitas, bangkit menuju hidup ini ada tiga tingkatan (level), yaitu:
level-1: bergerak ke arah yang positif (self-build), tidak merusak diri sendiri (self-destroy);
level-2: melakukan sesuatu yang ada hasilnya (produktif) yang tidak habis sekali pakai;
level-3: memberikan sesuatu yang kontributif ke orang banyak atau di masa sesudahnya.
Untuk ukuran sebuah bangsa, bangsa yang statis adalah bangsa yang sepenuhnya tergantung kepada bangsa lain, baik dalam perkara mempertahankan hidupnya, menjaga martabatnya, maupun mewujudkan cita-citanya. Kehidupan maupun keamanannya ada di tangan bangsa lain. Mungkin bahkan untuk pangan, air dan energi harus disupply atau disubsidi bangsa lain. Hukum yang berlaku dan siapa penguasa yang menjalankan hukum itu sepenuhnya juga ditentukan bangsa lain. Dan tentu saja, apa saja yang dianggap baik yang perlu diperjuangkan sebagai cita-citanya juga diberikan oleh bangsa lain yang menguasainya tersebut. Bangsa tersebut menjadi “bangsa robot”, meski mungkin memiliki kemajuan material yang tinggi seperti adanya konstruksi pencakar langit, pabrik-pabrik, perkebunan, pertambangan besar, atau penggunaan teknologi transportasi atau informasi yang canggih. Tetapi semua kemajuan material ini dirancang asing, dioperasikan di bawah supervisi asing dan keuntungannya juga paling banyak dinikmati oleh asing.
Sebuah bangsa dikatakan keluar dari kondisi statisnya ketika dia mulai merintis memiliki kemauan dan kemampuan sendiri untuk mempertahankan kehidupannya, menjaga martabatnya dan mewujudkan cita-citanya. Proses inilah yang sering disebut perjuangan kemerdekaan. Persoalannya, sejauh mana kualitas “merdeka” setelah bangkit tersebut?
Sebuah bangsa dapat dikatakan telah bangkit level-1 ketika setelah merdeka dia benar-benar bergerak positif, kondisinya tidak sama atau makin buruk dengan sebelumnya. Tetapi kalau setelah “merdeka” kemudian terjadi perang saudara, ekonomi memburuk, pendidikan tidak lagi berjalan, dan di jalanan berlaku hukum rimba, maka level-1 inipun tidak tercapai. Baru setelah level-1 tercapai, bangsa itu dapat meraih level-2 atau -3.
Level-2 adalah ketika kebangkitannya itu memberinya kemampuan untuk produktif, menghasilkan sendiri SDM cerdas berkualitas, membuat sendiri fasilitas produksi yang mampu membuatnya mandiri, sekalipun belum lebih maju dari capaian material yang dimiliki negara lain. Intinya bukan kualitas capaian materialnya, tetapi bahwa itu dirancang sendiri, dioperasikan sendiri dan keuntungannya lebih untuk mereka sendiri.
Pada level-3, mereka benar-benar dapat memberikan kontribusi ke luar, bahkan ke masa sesudahnya. Kontribusi ini tergantung visi yang diembannya, bisa positif bisa negatif. Mereka bisa membebaskan atau memajukan bangsa lain, bisa pula menjajah bangsa lain.
Peta Kebangkitan Dunia
Kalau kita proyeksikan ke dunia saat ini, ada bangsa-bangsa yang statis misalnya sejumlah negeri jajahan Inggris, Perancis, Rusia atau Amerika. Irlandia Utara adalah jajahan Inggris dan Puerto Rico adalah negeri di Caribia jajahan Amerika Serikat. Sekalipun di sana ada kemajuan material, tetapi faktanya bangsa itu adalah bangsa “robot”. Mereka tergantung total oleh politik negara penjajahnya.
Sebagian negara jajahan pernah bergolak menuju kemerdekaan, misalnya Chechnya di Rusia, atau Irlandia Utara di Inggris. Meski negeri tersebut sudah dimasukkan sebagai provinsi penuh dari negara penjajahnya, dan rakyatnya dianggap memiliki hak yang sama dengan rakyat di provinsi lain, tetapi mereka tetap merasa tidak puas karena merasa memiliki martabat dan cita-cita yang berbeda. Hal yang mirip pernah terjadi di Nusantara saat menjadi sebuah koloni Negeri Belanda, dengan adanya seorang gubernur jenderal yang memerintah Hindia-Belanda.
Lalu ada bangsa-bangsa merdeka level-1 yang sudah berangsur-angsur bergerak ke arah positif, seperti Vietnam atau Malaysia. Walau mungkin belum semaju Malaysia, Indonesia dapat dikatakan juga sedang menuju level-1, dengan indikator bahwa sejak merdeka secara umum hampir tak ada lagi perang saudara yang berkepanjangan, walaupun masih ada bentrokan kecil-kecilan atau separatis di daerah rawan konflik seperti di Papua. Ekonomi Indonesia juga secara umum tidak lagi memburuk dengan cepat, pangan atau energi masih relatif mudah diperoleh, walaupun cenderung makin mahal, dan utang negara semakin besar. Pendidikan bisa berjalan walaupun masih ada jutaan rakyat yang kesulitan mengaksesnya. Dan di jalanan juga hukum sedikit banyak bisa berjalan, walaupun ada mafia peradilan.
Tetapi kebangkitan di Indonesia dapat dikatakan gagal mencapai level-2. Level-2 dapat dikatakan telah diraih oleh negara-negara maju seperti Skandinavia, Switzerland atau juga negara berkembang seperti China atau India, bahkan oleh negara yang lebih kecil seperti Iran atau Venezuela. China dan India dalam tiga dekade terakhir dapat dikatakan berhasil mentransformasi masyarakatnya menjadi cerdas dan mandiri. Mereka berhasil merancang sendiri banyak hal terkait teknologi dan industri, mengoperasikannya sendiri, dan mereguk keuntungannya sendiri. Meski produk mereka belum sekaliber negara-negara adidaya, tetapi mereka sudah tidak akan melemah oleh suatu embargo, bahkan mereka mulai disegani di kancah global.
Karena Indonesia gagal meraih kebangkitan level-2, maka tentu saja gagal meraih level-3. Level-3 saat ini dimiliki oleh negara-negara adidaya atau mantan adidaya seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, mungkin ditambah Jepang atau Jerman. Umat Islam hanya memiliki negara level-3 di masa lalu, yakni Daulah Khilafah.
Pada masa Orde Lama, Soekarno ingin dengan cepat mentransformasi Indonesia yang baru saja merdeka menuju kebangkitan level-3. Secara politik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno berusaha tegak tidak mengekor politik negara adidaya saat itu. Tetapi fakta di lapangan, jangankan level-3, level-1 pun saat itu belum tercapai. Memang tentara penjajah tidak lagi bercokol di Indonesia, tetapi perang saudara saat itu masih berkecamuk di mana-mana. Inflasi sangat tinggi, harga-harga meroket, dan rate-pendidikan sangat rendah.
Pada masa Orde Baru, Soeharto belajar dari pengalaman Soekarno, mencoba membangun Indonesia secara terrencana dan berkelanjutan. Soeharto bahkan membangun berbagai industri strategis seperti PT IPTN, PT PAL, PT PINDAD dsb. Sayangnya, mayoritas ekonom dan teknokrat yang direkrut Soeharto kurang mandiri, sehingga mengikuti arahan nyaris total dari asing. Ini tampak pada kebijakan utang luar negeri, pembuatan berbagai instrumen hukum yang lebih pro kapitalis (kurang pro UKM), serta kebijakan politik yang lebih represif. Semua ini ditambah lagi dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang justru ditunjukkan secara mencolok oleh keluarga presiden. Akibatnya kebangkitan level-1 pun justru ditinggalkan lagi. Di akhir kekuasaan Soeharto, ekonomi dengan cepat memburuk dimulai dari krisis moneter menjadi krisis ekonomi, dan krisis multi dimensi, termasuk perang saudara yang meluas di Aceh, Ambon, Poso dll, Industri strategis yang telah disiapkan ditelantarkan kembali, dan ribuan SDM cerdas yang pernah dididik ramai-ramai hengkang ke luar negeri.
Orde Reformasi sempat memberikan harapan. Krisis ekonomi sementara dapat diatasi. Perang Saudara dapat diredam. Tetapi liberalisasi yang membonceng reformasi justru membuat kebangkitan level-1 saja semakin sulit didekati kembali. Berbagai perundangan yang dibuat di era reformasi justru membuat negeri ini makin “ramah” (baca: “dikuasai“) investor asing. Akibatnya kesempatan kerja makin berkurang, semakin banyak rakyat yang kehilangan daya beli dan di sisi lain rakyat semakin tidak terurus oleh para petualang politik yang naik ke kekuasaan (legislatif dan eksekutif) melalui proses demokrasi yang sarat permainan uang.
Faktor Ideologi
Di dunia, ada bangsa dengan ideologi yang bermacam-macam berhasil bangkit hingga level-3. Amerika bangkit dengan kapitalisme. Soviet dulu bangkit dengan sosialisme. Yang membedakan hanya pada level-3 ini kontribusi seperti apa yang dihasilkan oleh bangsa itu.
Faktanya, dua ideologi itu menebar kerusakan di luar negeri. Penjajahan, exploitasi sumber daya alam, dan penggunaan tenaga kerja yang nyaris seperti budak menjadi menu sehari-hari. Sosialisme bahkan dalam jangka panjang tidak berhasil mempertahankan keberlangsungan negara Soviet. Dan sekarang kapitalisme sedang menjadikan Amerika diujung tanduk.
Indonesia mengklaim menjadikan Pancasila sebagai ideologi kebangkitannya. Namun ada yang terlupa, bahwa Pancasila sebenarnya baru sekedar falsafah, belum berupa ideologi yang lengkap. Karena itu, dalam prakteknya, Pancasila bisa ditarik-tarik ke arah sosialis seperti di masa Orde Lama, ke arah kapitalis seperti di masa Orde Baru, atau ke arah kapitalis-liberal seperti di era Reformasi.
Hanya ideologi intelektual yang sehat dan secara rinci menunjukkan tak cuma tentang cita-cita tetapi juga jalan yang terang untuk meraih cita-cita itu, yang akan mampu mengantar Indonesia kepada kebangkitannya, tak hanya level-1, tetapi hingga level-3. Ideologi seperti itu ada dalam Islam. Dan pengalaman empiris dari sejarah menunjukkan bahwa itu hanya akan terjadi bila kita meraih cita-cita itu melalui kendaraan berupa Daulah Khilafah yang akan menerapkan seluruh paket sistem syariah.
Dengan ideologi Islam, visi kebangkitan sangat jelas, yaitu sampai mampu mewujudkan umat terbaik yang mampu menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar dan beriman kepada Allah (QS 3:110). Tugas ini memerlukan type-type manusia muttaqin, mereka yang hanya takut kepada Allah saja dan taat kepada semua yang diperintahkan syari’ah. Selanjutnya kebangkitan level-1, 2, 3 akan terwujud dengan sendirinya seiring dengan penerapan syariah yang kaffah dan istiqomah.
Untuk konteks Indonesia, faktor ideologi ini juga akan berpengaruh pada seberapa cepat kebangkitan akan diraih. Karena 85% rakyat Indonesia adalah muslim dan berbagai survei menunjukkan mereka masih memiliki ikatan emosional dan spiritual Islam yang tinggi, maka sudah seharusnya ideologi yang dipakai untuk membangkitkan adalah ideologi Islam.
Inilah rahasia kenapa kebangkitan level-1 pun tidak sepenuhnya kita raih, karena kita lengah tidak menggunakan ideologi Islam sebagai ideologi kebangkitan. Hanya dengan ideologi Islam, maka tak cuma kebangkitan level-1 yang akan kita raih, tetapi juga level-2 dan level-3.
Dalam konteks materialisme seperti pada bangsa Barat, kualitas suatu bangsa memang diukur dari produk peradaban (teknologi, industri, seni, arsitektur, dll). Namun dalam konteks Islam, ukuran yang standard adalah kontribusi bangsa itu dalam amar ma’ruf nahi munkar kelas dunia. Itulah kebangkitan yang kita dambakan.
Semoga kisah ini sahih … (copas dari milis lain)
Seandainya sanadnya kurang jelas, ada kisah serupa, bahkan ada yang pernah saya saksikan sendiri …
ini sekedar memberi motivasi
==================
SEBUAH KISAH DARI TANAH ARAB…..
Ditengah gemuruhnya kota, ternyata Riyadh menyimpan bayak kisah.
Kota ini menyimpan rahasia yang hanya diperdengarkan kepada telinga dan hati yang mendengar. Tentu saja, Hidayah adalah kehendak NYA dan Hidayah hanya akan diberikan kepada mereka yang mencarinya.
Ada sebuah energi yang luar biasa dari cerita yang kudengar beberapa hari yang lalu dari sahabat Saya mengenal banyak dari mereka, ada beberapa dari Palestina, Bahrain, Jordan, Syiria, Pakistan, India, Srilanka dan kebanyakan dari Mesir dan Saudi Arabia sendiri. Ada beberapa juga dari suku Arab yang tinggal dibenua Afrika. Salah satunya adalah teman dari Negara Sudan, Afrika.
Saya mengenalnya dengan nama Ammar Mustafa, dia salah satu Muslim kulit hitam yang juga kerja di Hotel ini.
Beberapa bulan ini saya tidak lagi melihatnya berkerja.
Biasanya saya melihatnya bekerja bersama pekerja lainnya menggarap proyek bangunan di tengah terik matahari kota Riyadh yang sampai saat ini belum bisa ramah dikulit saya.
Hari itu Ammar tidak terlihat.
Karena penasaran, saya coba tanyakan kepada Iqbal tentang kabarnya.
“Oh kamu tidak tahu?”
Jawabnya balik bertanya, memakai bahasa Ingris khas India yang bercampur dengan logat urdhu yang pekat.
“Iyah beberapa minggu ini dia gak terlihat di Mushola ya?” Jawab saya.
Selepas itu, tanpa saya duga iqbal bercerita panjang lebar tentang Ammar.
Dia menceritakan tentang hidup Ammar yang pedih dari awal hingga akhir, semula saya keheranan melihat matanya yang menerawang jauh. Seperti ingin memanggil kembali sosok teman sekamarnya itu.
Saya mendengarkan dengan seksama.
Ternyata Amar datang ke kota Riyadh ini lima tahun yang lalu, tepatnya sekitar tahun 2004 lalu.
Ia datang ke Negeri ini dengan tangan kosong, dia nekad pergi meninggalkan keluarganya di Sudan untuk mencari kehidupan di Kota ini. Saudi arabia memang memberikan free visa untuk Negara Negara Arab lainnya termasuk Sudan, jadi ia bisa bebas mencari kerja disini asal punya Pasport dan tiket.
Sayang, kehidupan memang tidak selamanya bersahabat.
Do’a Ammar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di kota ini demi keluarganya ternyata saat itu belum terkabul. Dia bekerja berpindah pindah dengan gaji yang sangat kecil, uang gajinya tidak sanggup untuk membayar apartemen hingga ia tinggal di apartemen teman temannya.
Meski demikian, Ammar tetap gigih mencari pekerjaan.
Ia tetap mencari kesempatan agar bisa mengirim uang untuk keluarganya di Sudan.
Bulan pertama berlalu kering, bulan kedua semakin berat…
Bulan ketiga hingga tahun tahun berikutnya kepedihan Ammar tidak kunjung berakhir..
Waktu bergeser lamban dan berat, telah lima tahun Ammar hidup berpindah pindah di Kota ini. Bekerja dibawah tekanan panas matahari dan suasana Kota yang garang.
Tapi amar tetap bertahan dalam kesabaran.
Kota metropolitan akan lebih parah dari hutan rimba jika kita tidak tahu caranya untuk mendapatkan uang, dihutan bahkan lebih baik. Di hutan kita masih bisa menemukan buah buah, tapi di kota? Kota adalah belantara penderitaan yang akan menjerat siapa saja yang tidak mampu bersaing.
Riyadh adalah ibu kota Saudi Arabia.
Hanya berjarak 7 jam dari Dubai dan 10 Jam jarak tempuh dengan bis menuju Makkah. Dihampir keseluruhan kota ini tidak ada pepohonan untuk berlindung saat panas. Disini hanya terlihat kurma kurma yang berbuah satu kali dalam setahun..
Amar seperti terjerat di belantara Kota ini.
Pulang ke suddan bukan pilihan terbaik, ia sudah melangkah, ia harus membawa perubahan untuk kehidupan keluarganya di negeri Sudan. Itu tekadnya.
Ammar tetap tabah dan tidak berlepas diri dari keluarganya.
Ia tetap mengirimi mereka uang meski sangat sedikit, meski harus ditukar dengan lapar dan haus untuk raganya disini.
Sering ia melewatkan harinya dengan puasa menahan dahaga dan lapar sambil terus melangkah, berikhtiar mencari suap demi suap nasi untuk keluarganya di Sudan.
Tapi Ammar pun Manusia.
Ditahun kelima ini ia tidak tahan lagi menahan malu dengan teman temannya yang ia kenal, sudah lima tahun ia berpindah pindah kerja dan numpang di teman temannya tapi kehidupannya tidak kunjung berubah.
Ia memutuskan untuk pulang ke Sudan.
Tekadnya telah bulat untuk kembali menemui keluarganya, meski dengan tanpa uang yang ia bawa untuk mereka yang menunggunya.
Saat itupun sebenarnya ia tidak memiliki uang, meski sebatas uang untuk tiket pulang.
Ia memaksakan diri menceritakan keinginannya untuk pulang itu kepada teman terdekatnya. Dan salah satu teman baik amar memahaminya ia memberinya sejumlah uang untuk beli satu tiket penerbangan ke Sudan.
Hari itu juga Ammar berpamitan untuk pergi meninggalkan kota ini dengan niat untuk kembali ke keluarganya dan mencari kehidupan di sana saja.
Ia pergi ke sebuah Agen di jalan Olaya- Riyadh, utuk menukar uangnya dengan tiket. Sayang, ternyata semua penerbangan Riyadh-Sudan minggu ini susah didapat karena konflik di Libya, Negara tetangganya. Tiket hanya tersedia untuk kelas executive saja.
Akhirnya ia beli tiket untuk penerbangan minggu berikutnya.
Ia memesan dari saat itu supaya bisa lebih murah. Tiket sudah ditangan, dan jadwal terbang masih minggu depan.
Ammar sedikit kebingungan dengan nasibnya.
Tadi pagi ia tidak sarapan karena sudah tidak sanggup lagi menahan malu sama temannya, siang inipun belum ada celah untuk makan siang. Tapi baginya ini bukan hal pertama. Ia hampir terbiasa dengan kebiasaan itu.
Adzan dzuhur bergema..
Semua Toko Toko, Supermarket, Bank, dan Kantor Pemerintah serentak menutup pintu dan menguncinya. Security Kota berjaga jaga di luar kantor kantor, menunggu hingga waktu Shalat berjamaah selesai.
Ammar tergesa menuju sebuah masjid di pusat kota Riyadh.
Ia mengikatkan tas kosongnya di pinggang, kemudian mengambil wudhu.. memabasahi wajahnya yang hitam legam, mengusap rambutnya yang keriting dengan air.
Lalu ia masuk mesjid. Shalat 2 rakaat untuk menghormati masjid. Ia duduk menunggu mutawwa memulai shalat berjamaah.
Hanya disetiap shalat itulah dia merasakan kesejukan,
Ia merasakan terlepas dari beban Dunia yang menindihnya, hingga hatinya berada dalam ketenangan ditiap menit yang ia lalui.
Shalat telah selesai.
Ammar masih bingung untuk memulai langkah.
Penerbangan masih seminggu lagi.
Ia diam.
Dilihatnya beberapa mushaf al Qur’an yang tersimpan rapi di pilar pilar mesjid yang kokoh itu. Ia mengmbil salah satunya, bibirnya mulai bergetar membaca taawudz dan terus membaca al Qur’an hingga adzan Ashar tiba menyapanya.
Selepas Maghrib ia masih disana.
Beberapa hari berikutnya, Ia memutuskan untuk tinggal disana hingga jadwal penerbangan ke Sudan tiba.
Ammar memang telah terbiasa bangun awal di setiap harinya.
Seperti pagi itu, ia adalah orang pertama yang terbangun di sudut kota itu.
Ammar mengumandangkan suara indahnya memanggil jiwa jiwa untuk shalat, membangunkan seisi kota saat fajar menyingsing menyapa Kota.
Adzannya memang khas.
Hingga bukan sebuah kebetulan juga jika Prince (Putra Raja Saudi) di kota itu juga terpanggil untuk shalat Subuh berjamaah disana.
Adzan itu ia kumandangkan disetiap pagi dalam sisa seminggu terakhirnya di kota Riyadh.
Hingga jadwal penerbanganpun tiba. Ditiket tertulis jadwal penerbangan ke Sudan jam 05:23am, artinya ia harus sudah ada di bandara jam 3 pagi atau 2 jam sebelumnya.
Ammar bangun lebih awal dan pamit kepada pengelola masjid, untuk mencari bis menuju bandara King Abdul Azis Riyadh yang hanya berjarak kurang dari 30 menit dari pusat Kota.
Amar sudah duduk diruang tunggu dibandara,
Penerbangan sepertinya sedikit ditunda, kecemasan mulai meliputinya.
Ia harus pulang kenegerinya tanpa uang sedikitpun, padahal lima tahun ini tidak sebentar, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi inilah kehidupan, ia memahami bahwa dunia ini hanya persinggahan.
Ia tidak pernah ingin mencemari kedekatannya dengan Penggenggam Alam semesta ini dengan mengeluh. Ia tetap berjalan tertatih memenuhi kewajiban kewajibannya, sebagai Hamba Allah, sebagai Imam dalam keluarga dan ayah buat anak anaknya.
Diantara lamunan kecemasannya, ia dikejutkan oleh suara yang memanggil manggil namanya.
Suara itu datang dari speaker dibandara tersebut, rasa kagetnya belum hilang Ammar dikejutkan lagi oleh sekelompok berbadan tegap yang menghampirinya.
Mereka membawa Ammar ke mobil tanpa basa basi, mereka hanya berkata “Prince memanggilmu”.
Ammarpun semakin kaget jika ia ternyata mau dihadapkan dengan Prince. Prince adalah Putra Raja, kerajaan Saudi tidak hanya memiliki satu Prince. Prince dan Princess mereka banyak tersebar hingga ratusan diseluruh jazirah Arab ini. Mereka memilii Palace atau Istana masing masing.
Keheranan dan ketakutan Ammar baru sirna ketika ia sampai di Mesjid tempat ia menginap seminggu terakhir itu, disana pengelola masjid itu menceritakan bahwa Prince merasa kehilangan dengan Adzan fajar yang biasa ia lantunkan.
Setiap kali Ammar adzan prince selalu bangun dan merasa terpanggil..
Hingga ketika adzan itu tidak terdengar, Prince merasa kehilangan. Saat mengetahui bahwa sang Muadzin itu ternyata pulang kenegerinya Prince langsung memerintahkan pihak bandara untuk menunda penerbangan dan segera menjemput Ammar yang saat itu sudah mau terbang untuk kembali ke Negerinya.
Singkat cerita, Ammar sudah berhadapan dengan Prince.
Prince menyambut Ammar dirumahnya, dengan beberapa pertanyaan tentang alasan kenapa ia tergesa pulang ke Sudan.
Amarpun menceritakan bahwa ia sudah lima tahun di Kota Riyadh ini dan tidak mendapatkan kesempatan kerja yang tetap serta gaji yang cukup untuk menghidupi keluarganya.
Prince mengangguk nganguk dan bertanya: “Berapakah gajihmu dalam satu bulan?”
Amar kebingungan, karena gaji yang ia terima tidak pernah tetap. Bahkan sering ia tidak punya gaji sama sekali, bahkan berbulan bulan tanpa gaji dinegeri ini.
Prince memakluminya.
Beliau bertanya lagi: “Berapa gaji paling besar dalam sebulan yang pernah kamu dapati?”
Dahi Ammar berkerut mengingat kembali catatan hitamnya selama lima tahun kebelakang. Ia lalu menjawabnya dengan malu: “Hanya SR 1.400”, jawab Ammar.
Prince langsung memerintahkan sekretarisnya untuk menghitung uang.
1.400 Real itu dikali dengan 5 tahun (60 bulan) dan hasilnya adalah SR 84.000 (84 Ribu Real = Rp. 184. 800.000). Saat itu juga bendahara Prince menghitung uang dan menyerahkannya kepada Amar.
Tubuh Amar bergetar melihat keajaiban dihadapannya.
Belum selesai bibirnya mengucapkan Al Hamdalah,
Prince baik itu menghampiri dan memeluknya seraya berkata:
“Aku tahu, cerita tentang keluargamu yang menantimu di Sudan. Pulanglah temui istri dan anakmu dengan uang ini. Lalu kembali lagi setelah 3 bulan. Saya siapkan tiketnya untuk kamu dan keluargamu kembali ke Riyadh. Jadilah Bilall dimasjidku.. dan hiduplah bersama kami di Palace ini”
Ammar tidak tahan lagi menahan air matanya.
Ia tidak terharu dengan jumlah uang itu, uang itu memang sangat besar artinya di negeri Sudan yang miskin. Ammar menangis karena keyakinannya selama ini benar, Allah sungguh sungguh memperhatikannya selama ini, kesabarannya selama lima tahun ini diakhiri dengan cara yang indah.
Ammar tidak usah lagi membayangkan hantaman sinar matahari disiang hari yang mengigit kulitnya. Ammar tidak usah lagi memikirkan kiriman tiap bulan untuk anaknya yang tidak ia ketahui akan ada atau tidak.
Semua berubah dalam sekejap!
Lima tahun itu adalah masa yang lama bagi Ammar.
Tapi masa yang teramat singkat untuk kekuasaan Allah.
Nothing Imposible for Allah,
Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah..
Bumi inipun Milik Allah,..
Alam semesta, Hari ini dan Hari Akhir serta Akhirat berada dalam Kekuasaan Nya.
Inilah buah dari kesabaran dan keikhlasan.
Ini adalah cerita nyata yang tokohnya belum beranjak dari kota ini, saat ini Ammar hidup cukup dengan sebuah rumah di dalam Palace milik Prince. Ia dianugerahi oleh Allah di Dunia ini hidup yang baik, ia menjabat sebagai Muadzin di Masjid Prince Saudi Arabia di pusat kota Riyadh.
Subhanallah…
Seperti itulah buah dari kesabaran.
“Jika sabar itu mudah, tentu semua orang bisa melakukannya.
Jika kamu mulai berkata sabar itu ada batasnya, itu cukup berarti pribadimu belum mampu menetapi kesabaran karena sabar itu tak ada batasnya. Batas kesabaran itu terletak didekat pintu Syurga dalam naungan keridhaan Nya”. (NAI)
وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ
“Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar”. (Al Fushilat 35)
Allahuakbar!
Maha Benar Allah dengan segala Firman Nya
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah anda mendengar kisah tentang jama’ah haji Indonesia yang tersesat di Makkah, lalu bertanya kepada orang Arab di pinggir jalan. Sambil menunjukkan kartu identitas dengan alamat pondokannya, dia mengucapkan satu ayat al-Fatihah “Ihdinas shiraathal mustaqim” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus / benar). Semula orang Arabnya tertegun, tetapi lalu tersenyum setelah menangkap apa yang dimaksud, dan lalu mengantar si orang tadi ke pondokannya yang ternyata tidak jauh.
Istilah “jalan yang benar” memang bisa memiliki makna mendalam seperti jalan hidup, tetapi dapat juga makna langsung seperti mengetahui arah. Dan bicara tentang arah, kita sekarang mengandalkan kompas.
Di Barat, yang dianggap penemu kompas adalah Flavio Gioja dari Amalfi, Italia. Namun sejarahwan Sigrid Hunke menyebut bahwa Flavio mengenal kompas dari orang Arab, bahkan dia bukan orang Barat pertama yang belajar kompas!
Bahwa jarum magnetik menunjuk ke utara, sudah diketahui orang Cina berabad sebelum Rasulullah. Anehnya, orang Cina justru baru mengamati penggunaan kompas dalam perjalanan di lautan pada orang asing di abad-11 M. Dan siapa lagi orang-orang asing pada saat itu, yang berdagang dengan kapal-kapalnya di samudra Hindia hingga ke Cina, kalau bukan orang Arab!
Sementara itu sumber-sumber Arab pada kurun waktu yang sama memang menyebutkan penggunaan kompas.
Orang Barat pertama yang mengenal kompas adalah Petrus dari Maricourt, Perancis, yang sepulang dari perang Salib menjadi guru Roger Bacon. Roger Bacon adalah tokoh filosof pra zaman Rennaisance. Petrus mengajar tentang magnetisme dan kompas dan pada tahun 1269 menulis makalah “Epistola de magnete”. Baru 33 tahun setelah itu, Flavio Gioja dari Amalfi sibuk dengan kompas.
Amalfi adalah tempat yang terletak di dekat Venezia, sebuah kota pelabuhan, di mana banyak perwakilan dagang Arab di sana. Maka sangat masuk akal kalau kemudian Flavio mendapatkan pengetahuan kompas ini dan meneruskannya di Barat.
Keberadaan kompas untuk mengetahui arah adalah kemajuan yang signifikan dalam navigasi. Semula, arah diketahui dengan melihat matahari atau konstelasi bintang. Namun metode ini selain membutuhkan waktu yang lama juga tak dapat dilakukan saat langit berawan.
Meski demikian, dalam bernavigasi di lautan, keberadaan kompas tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikombinasi dengan keberadaan jam dan peta yang baik. Dengan mengetahui lama perjalanan, kecepatan rata-rata, dan arah, maka navigator kapal dapat memperkirakan lokasi kapal yang aktual di atas peta. Tentu saja akurasi metode ini sangat tergantung pada asumsi kecepatan kapal, yang boleh jadi tergantung arus laut dan angin. Biasanya mereka tetap mengkalibrasi lokasinya dengan astronomi (mengukur sudut posisi matahari atau bintang) pada saat langit cerah. Dengan metode semacam itu kaum muslimin pada masa itu menjadi pelaut yang paling handal di samudra, yang berani berlayar sampai ke Cina, dan di laut Tengah hampir tidak lagi memiliki lawan.
Tidak banyak catatan yang menceritakan, siapa ilmuwan muslim yang berada di balik pengembangan kompas. Namun dengan melihat prestasi beberapa ilmuwan besar, kita dapat menduga bahwa ketiga anak Musa bin Syakir yang hidup di zaman khalifah al-Ma’mun sudah berkutat dengan benda ini, mengingat banyaknya penemuan yang mereka lakukan terkait dengan mekanika dan astronomi. Muhammad bin Musa – si anak tertua – bahkan pernah membuatkan jam untuk Kaisar Karl der Grosse dari Aachen Jerman.
Pada abad-21 ini, peran kompas untuk navigasi masih besar, walaupun pelan-pelan digeser oleh keberadaan piranti GPS, yang sekarang sudah banyak menjadi bonus pada peralatan komunikasi. Namun demikian, diyakini bahwa kompas masih akan bertahan berabad-abad lagi, mengingat dia tidak tergantung pada sistem satelit GPS yang dikuasai negara-negara adidaya. Apalagi sistem satelit ini ternyata juga rentan pada gangguan angin partikel dari matahari, yang konon bakal meningkat pada tahun-tahun mendatang.
Dan tahukah anda, bahwa ada seorang anak kecil di akhir abad-19 yang semula malas belajar, lalu tiba-tiba dia terpesona oleh hadiah dari ayahnya. Anak kecil itu kemudian berkembang menjadi fisikawan besar. Dialah Albert Einstein. Dan hadiah dari sang ayah itu adalah: sebuah kompas !