Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Kedokteran Islam pakai Uji Klinis

Wednesday, December 17th, 2008

Dr. Fahmi Amhar

Dewasa ini jika orang berbicara tentang kedokteran Islam atau “kedokteran ala nabi”, orang biasa menunjuk pada 4 hal: (1) kebiasaan sehat Rasulullah seperti puasa sunah, tidak makan sebelum lapar, berhenti sebelum kenyang, dll; (2) menkonsumsi madu atau habatus saudah – sampai ada hadits bahwa “Habatus Saudah adalah obat segala penyakit kecuali maut”; (3) bila sampai sakit, terapinya adalah bekam; (4) dalam kondisi tak ada alat apapun, atau untuk penyakit karena pengaruh sihir dilakukan ruqyah syar’yah, seperti misalnya dengan dibacakan surat al-Fatihah.

Penyederhanaan seperti di atas tidak ada di masa kejayaan kedokteran Islam.  Kaum muslimin secara sadar melakukan penelitian-penelitian ilmiah di bidang kedokteran secara orisinal dan memberikan kontribusi yang luar biasa di bidang kedokteran, sehingga memiliki genre yang khas, melampaui genre yang ada saat itu, seperti kedokteran Yunani (seperti Unani), India kuno (Ayurveda), Persia (Akademi Gundishapur), dan karya-karya tokoh kedokteran kuno (seperti Hippocrates, Celcus atau Galen).

Tidak dapat dipungkiri bahwa Rasulullah adalah inspirator utama kedokteran Islam.  Meski beliau bukan dokter, namun kata-katanya yang terekam dalam banyak hadits sangat inspiratif, semisal “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan, kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya” (HR Bukhari).    

Keyakinan ini memotivasi penelitian biomedis para dokter Islam generasi awal.  Pada abad 9, Hunayn bin Ishaq menerjemahkan sejumlah besar karya-karya kedokteran Yunani, Persia dan India ke bahasa Arab.  Namun kemudian mereka mengembangkan lebih lanjut di hampir segala bidang, seperti pada anasthesy, anatomy, dentistry, immunologi, opthalmology, perinatalogy, psychology, surgery, pharmakology, dsb.  Salah satu karya monumental yang merangkum segala kemajuan ilmu kedokteran pada saat itu adalah Qanun fit Thib (The Canon of Medicine) dari Ibnu Sina, yang di dunia Barat disebut Avicenna.  Selama abad 15 dan 16 saja, buku ini telah dicetak ulang lebih dari 35 kali.

Dokter-dokter Islam adalah yang pertama kali mendirikan rumah-rumah sakit dalam pengertian modern.  Rumah sakit ini dibuat untuk mempercepat penyembuhan pasien di bawah pengawasan staf yang terlatih, serta untuk mencegah penularan kepada masyarakat.  Pada zaman pertengahan, hampir semua kota besar Khilafah memiliki rumah sakit.  Di Cairo, rumah sakit Qalaqun dapat menampung hingga 8000 pasien.  Rumah sakit ini juga sudah digunakan untuk pendidikan universitas serta untuk riset.  Dokter muslim sudah mampu menghilangkan katarak seribu tahun sebelum orang Barat mengetahui hakekat penyakit mata ini.  Rumah Sakit ini juga tidak hanya untuk yang sakit fisik, namun juga sakit jiwa.  Di Eropa, rumah sakit semacam ini baru didirikan oleh veteran perang Salib yang menyaksikan kehebatan sistem kesehatan di Timur Tengah.

Semua rumah sakit di dunia Islam dilengkapi dengan test-test kompetensi bagi setiap dokter dan perawatnya, aturan kemurnian obat, kebersihan dan kesegaran udara, sampai pemisahan pasien penyakit-penyakit tertentu. 

Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab al-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran.  Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran.   Kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik.

Salah satu keunikan dalam kedokteran Islam adalah peranan staf perempuan, yang di masa itu sangat jarang ditemukan di tempat penyembuhan lain di dunia.  Kedokteran Islam mempekerjakan perempuan sebagai perawat, bahkan dikenal juga dua perempuan dokter dari keluarga Banu Zuhr yang melayani penguasa Almohad Abu Yusuf Ya’qub al Mansur pada abad-12.  Pada abad 15, perempuan dokter bedah pertama kali diberitakan di rumah sakit khilafah Utsmani.

Ada ratusan tokoh ilmuwan muslim yang berkontribusi secara langsung maupun tak langsung dalam kedokteran Islam. 

Pada abad-9, Al-Kindi menunjukkan aplikasi matematika untuk kuantifikasi di bidang kedokteran, misalnya untuk mengukur derajat penyakit (sejenis termometer), mengukur kekuatan obat hingga dapat menaksir saat kritis pasien. 

Ar-Razi pada abad-10 memulai eksperimen terkontrol dan observasi klinis, serta menolak beberapa metode Galen dan Aristoteles yang pendapat-pendapatnya tidak dibangun dari eksperimennya yang dapat diverifikasi. Ar-Razi juga meletakkan dasar-dasar mengenali penyakit dari analisis urin.

Sedang Ibnu Sina sudah dianggap Bapak Kedokteran Modern.  Dia meletakkan tujuh aturan dasar dalam uji klinis atas suatu obat. 

Abu al-Qarim al-Zahrawi dianggap Bapak ilmu bedah modern, karena dalam kitab Tasrif (sebuah ensiklopedi dalam 30 jilid) yang dipublikasikan pada tahun 1000 M sudah menemukan berbagai hal yang dibutuhkan dalam bedah, termasuk plester dan 200 alat bedah.  Sebagian besar alat ini belum pernah digunakan orang sebelumnya, termasuk beberapa alat bedah yang khas digunakan untuk wanita.  Persoalan bedah juga terkait anasthesi (pembiusan).  Beberapa zat bius seperti campuran opium sudah digunakan dengan tepat oleh Abu al-Qarim, Ibnu Zuhur maupun Ibnu Sina.

Ibnu an-Nafis adalah Bapak Fisiologi peredaran darah yang merupakan perintis bedah manusia.  Pada tahun 1242 ia sudah dapat menerangkan secara benar sirkulasi peredaran darah jantung-paru-paru.  Di Barat baru tahun 1628 William Harvey menemukan hal yang sama. 

Pada abad 15, kitab Tashrih al-Badan karya Mansur bin Ilyas menggambarkan secara lengkap struktur tubuh manusia, termasuk sistem syaraf.

Semua prestasi ini terjadi tidak lain karena adanya negara yang mendukung aktivitas riset kedokteran untuk kesehatan umat.  Umat yang sehat adalah umat yang kuat, yang produktif dan memperkuat negara, untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin.  Kesehatan dilakukan secara preventif (pencegahan), bukan kuratif (pengobatan).  Anggaran negara yang diberikan untuk riset kedokteran adalah investasi, bukan anggaran sia-sia.  Filosofi inilah yang seharusnya ada di benak kaum muslimin sekarang ini, terutama para penguasanya, jika ingin kedokteran Islam jaya kembali.

(dimuat di Media Umat no. 2, November 2008)