Oleh: Dr. Fahmi Amhar
di publish Mediaumat.com (19/11/2012)
Setelah baca tulis, tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan matematika. Ini berlaku juga untuk skala keluarga maupun skala bangsa. Berapa kira-kira skala matematika keluarga Anda? Apakah Anda puas dengan matematika yang pernah diperoleh di bangku sekolah? Apakah matematika yang Anda lihat sudah “ramah keluarga”, sehingga Anda merasakan gunanya di kehidupan sehari-hari, dan anak-anak Anda bersemangat mempelajarinya?
Islam tidak hanya mengangkat peradaban di tingkat elite, tetapi juga untuk tingkat rumah tangga rakyat jelata. Seperti membaca dan menulis, matematika juga di bawah Islam menjadi ilmu yang dikuasai nyaris oleh semua anak-anak yang menuntut ilmu, di mana akses sekolah telah dibuka selebar-lebarnya.
Namun salah seorang matematikawan yang paling berjasa menjadikan matematika “ramah keluarga” ini adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780 – 850 M).
Masa remaja Al-Khawarizmi di Khurasan (Iran) tidak banyak diketahui. Yang jelas dia kemudian berkarier sebagai matematikawan di Baitul Hikmah (Akademi Ilmu Pengetahuan) di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur yang berkuasa dari 754 – 775 M. Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika. Dan al-Makmun tidak salah. Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India, baik di kecanggihannya sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan rumit, maupun di kesederhanaan bahasanya, sehingga dapat dipelajari oleh anak sekolah dasar.
Karya Al-Khawarizmi yang mengubah sejarah matematika sehingga dapat diterapkan di setiap rumah tangga, bukanlah karyanya canggih secara ilmiah, melainkan dua buah buku yang isinya terhitung ringan, meskipun yang satu memiliki judul yang menggetarkan: “Kitab Aljabar wa al-Muqobalah”, sedang satunya lagi sebuah buku tentang teknik berhitung dengan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi. Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa. Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.
Algoritma akhirnya menggusur cara berhitung Yunani dengan abakus (seperti sempoa). Abakus memang lebih cepat untuk menghitung angka-angka besar, namun hanya terbatas untuk operasi aritmetika sederhana (misalnya menjumlah harga dagangan). Pada hitungan yang kompleks (seperti menghitung pembagian waris atau menghitung titik berat kapal), algoritma jauh lebih praktis, cepat dan akurat.
Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian sempat lupa asal-usul kata algoritma. Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru. Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung obyek sebanyak pasir di pantai. Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus. Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma. Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, lalu ke kiri dengan puluhan dan seterusnya. Sebagaimana huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.
Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi al-Mansur. Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang aritmetika, yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik. Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet. Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”. Belakangan karya ini diedit ulang oleh Al-Khawarizmi.
Dengan karya ini, angka India menjadi populer. Ketika Khalifah al-Walid I (668 – 715 M) menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya. Namun ketika buku al-Fasari dan al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor, bahkan akhirnya oleh ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan Muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”. Matematika akhirnya bisa menjadi cabang ilmu yang ramah keluarga.
Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka. Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan keliling lingkaran, yaitu bilangan pi (π). Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.
Kalau sebuah bidang memotong kerucut dan membentuk suatu bangun geometri (ellips, parabola atau hiperbola) lalu pertanyaannya berapa luas atau keliling bangun tersebut, maka geometri Yunani tak lagi bisa memberi jawaban. Pada saat yang sama, seni berhitung ala India juga tak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini. Di sinilah Al-Khawarizmi “mengawinkan” aritmetika dan geometri. Potongan kerucut dengan bidang menghasilkan beberapa unknown (yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, kerucut dan kemiringan perpotongan disatukan lalu diselesaikan. Inilah aljabar.
Hitungan ini lalu dipakai untuk membuat berbagai benda teknis yang dipasang di depan masjid hingga di dalam rumah, dari jam matahari hingga wajan penggorengan, dan di zaman modern dari desain bendungan hingga antena TV. Model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai untuk menghitung lintasan peluru manjaniq di medan jihad, dan beberapa ratus tahun kemudian dipakai oleh NASA untuk memprediksikan gerakan pesawat ruang angkasa.
Banyak muslim yang sebenarnya bersemangat belajar apa saja kalau ada dorongan agama. Termasuk belajar sains. Tetapi kadang-kadang mereka membatasi sendiri rejekinya dengan belajar “SAINTIFIKASI ISLAM”, bukan Sains Islam.
Saintifikasi Islam adalah adalah upaya mencari dasar sains pada suatu pernyataan yang dianggap benar dalam Islam. Pernyataan yang “taken for granted” sebagai kebenaran dalam Islam tentu saja adalah yang bersumber dari Qur’an dan Sunnah, baik itu mengenai suatu hal yang harus dipercaya atau suatu amal yang harus dilakukan.
Hal-hal yang harus dipercaya masuk dalam kategori aqidah. Bila sumbernya adalah Qur’an atau hadits mutawatir, kemudian dalalahnya tidak multitafsir, maka ia masuk dalam dalil qath’i, yang wajib dibenarkan secara pasti. Misalnya adalah:
– pernyataan bahwa di sekitar kita bersliweran malaikat, jin dan setan; malaikat rahmat tidak akan masuk rumah yang ada anjingnya, sholat shubuh dan ashar disaksikan oleh dua malaikat, di tengah pasangan pria-wanita bukan mahram yang berdua-duaan terdapat setan, dsb.
– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah mengutus banyak Nabi di berbagai tempat, masa, dan dengan berbagai mukjizatnya, misalnya Nabi Adam sebagai manusia pertama, Nabi Nuh disuruh membuat perahu, Nabi Musa pernah membelah Laut Merah, Nabi Sulaeman pernah berbicara dengan binatang, Nabi Isa pernah menghidupkan orang mati, dsb.
– pernyataan bahwa sebelum Nabi Muhammad, Allah telah menurunkan berbagai kitab suci, yang di dalamnya berisi ajaran tauhid dan mengabarkan akan kedatangan Nabi Muhammad.
– pernyataan bahwa alam semesta ini dulu diciptakan dan nanti alam semesta akan mengalami kiamat berikut tanda-tandanya, lalu setelah itu manusia akan dibangkitkan dan akan ditempatkan di surga atau di neraka.
Pernyataan-pernyataan di atas adalah hal-hal yang ada di luar dunia empiris, sehingga nilai kebenarannya sangat tergantung pada sejauh mana penerimaan seseorang pada dalil qath’i yang menjadi sumbernya.
Sedang hal-hal yang harus dilakukan termasuk amal baik dalam hubungan manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan manusia lain. Misalnya adalah:
– sholat Shubuh 2 rokaat, sholat Maghrib 3 rokaat, yang lain 4 rokaat
– sholat tahajud dll sebagai amalan sunnah.
– puasa di bulan Romadhon, dan beberapa jenis puasa sunnah.
– makan-minum yang halal dan thayyib, dan beberapa jenis makanan/minuman yang diharamkan.
– penggunaan busana yang menutup aurat.
– bentuk pergaulan laki-perempuan (pernikahan) yang disahkan.
– syariat wudhu dan mandi janabat.
– tatacara pengurusan jenazah.
– pengaturan ekonomi yang bebas riba, maisir, gharar dsb.
Nah, SAINTIFIKASI ISLAM berkutat pada masalah-masalah “sains” di balik semua pernyataan yang diasumsikan benar dalam Islam ini. Jadi penelitian-penelitian di bawah ini masuk kategori saintifikasi Islam:
– penelitian mendeteksi kehadiran malaikat dengan Infrared, radiasi Gamma atau Neutrino, “dikontrol” dengan beberapa amalan & kondisi khusus; apakah benar pada ruangan yang diselenggarakan sholat shubuh berjamaah dapat dideteksi tanda-tanda kehadiran lebih banyak malaikat?
– penelitian menguji kebenaran pernah terjadinya mukjizat para Nabi, misalnya:
— pencarian footprint Adam & Hawa ketika turun dari surga,
— pencarian relik kapal Nabi Nuh,
— menganalisis berbagai proses terjadinya pembelahan laut Merah,
— membuktikan bahwa Firaun memang mati tenggelam di laut tapi jasadnya terselamatkan,
— mencari bekas 12 mata air Nabi Musa,
— mencari fossil hewan yang pernah berbicara dengan Nabi Sulaeman
— mencari gua Ashabul Kahfi dan mempelajari efek terowong waktu,
— mencari fossil mayat yang konon pernah dihidupkan Nabi Isa,
— mencari bekas bulan yang terbelah di masa Nabi Muhammad, dsb.
– penelitian manuskrip-manuskrip kuno yang diklaim sebagai Kitab Nabi Musa, Daud, Isa dsb.
– penelitian keberadaan “terompet Israfil”, pintu neraka dsb.
– penelitian EKG & EEG pada orang yang sholat khusyu’.
– penelitian fisiografis & psikografis pada orang yang sedang puasa.
– penelitian dampak jangka panjang pada konsumsi makanan haram (babi, bangkai, darah).
– penelitian kesakitan yang diderita ternak saat disembelih dengan cara syar’i dan non syar’i.
– penelitian dampak sosiologi dan ekonomi pada penggunaan busana muslimah.
– penelitian dampak khitan pada kesehatan reproduksi dan perkembangan psikologis.
– penelitian komparasi pada mereka yang polygami dibandingkan dengan yang non polygami.
– penelitian dampak wudhu & mandi janabat pada berbagai aspek kesehatan
– penelitian dampak beberapa jenis pengurusan jenazah (dikubur, dibakar, dibalsem, …).
– penelitian kondisi ekonomi pada beberapa tingkat suku bunga.
– penelitian tentang efektifitas mata uang tunggal berbasis emas/perak.
Penelitian-penelitian saintifik tentang hal-hal di atas selalu menarik (amazing) bagi kaum muslimin, sehingga bahkan kadang-kadang lupa menguji kebenaran sainfitiknya ketika kesimpulannya sudah seolah-olah mendukung dalil. Banyak paper yang diklaim sebagai hasil penelitian orang Barat (non muslim) yang mendukung klaim kebenaran dalil itu, ketika ditelusuri ternyata tidak ditemukan. Semua link mengarah ke situs-situs milik muslim sendiri, dan itupun bukan sebuah karya yang dapat dikategorikan penelitian ilmiah (yang harus memenuhi syarat transparan, replicable, consistence dan explaining). Ketika rujukan itu tidak ditemukan, sering penjelasannya hanya, “ada konspirasi untuk menutupi kebenaran Islam”.
Sebaliknya ketika hasil penelitian berlawanan dengan yang dikehendaki, misalnya bahwa “tidak ada perbedaan yang signifikan antara orang yang terbiasa mengkonsumsi babi dengan yang tidak”, maka tulisan ini cenderung dijauhi. Ini contoh suatu bentuk “kepengecutan ilmiah”. Seharusnya biarkan saja, toh nanti setiap riset akan diverifikasi dan direlatifkan oleh riset berikutnya, selama proyek “saintifikasi Islam” ini tidak menyedot energi utama ilmuwan muslim.
Yang benar adalah, meski riset-riset saintifikasi Islam ini “amazing”, tetapi dia sama sekali “not worth” (mengasyikkan, tetapi tidak ada manfaatnya), karena tidak akan mempengaruhi apapun pada nilai kebenaran dari pernyataan dalil yang harus diyakini maupun diamalkan.
Yang harus dipahami juga adalah, bahwa ada beberapa pernyataan di dalam Qur’an & Sunnah yang tidak masuk dalam dalil qath’i, karena dalalahnya multitafsir, sedang objeknya adalah dunia empiris, sehingga pantas bila diteliti secara saintifik. Inilah yang masuk kategori SAINS ISLAM. Misalnya persoalan:- apakah bumi yang mengitari matahari atau matahari yang mengitari bumi ?
– seberapa besar sebenarnya “langit dunia” itu ?
– seperti apa sesungguhnya mekanisme “air laut yang tidak tercampur” itu ?
– sejauh mana Habatussaudah bisa benar-benar “mengobati segala penyakit kecuali maut” ?
– bagaimana saja khasiat dalam jahe, sehingga disebut campuran minuman ahli surga ?
dsb.
Wallahu a’lam bis shawab
oleh Fahmi Amhar
Science (from Latin scientia, meaning “knowledge”) is a systematic enterprise that builds and organizes knowledge in the form of testable explanations and predictions about the universe.
Sains didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam sebuah bentuk penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.
Sebagian sains sudah ada sejak sebelum Islam datang. Sains tentang panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan Phytagoras, matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika sudah ditemukan Archimedes (wafat 212 SM). Sains tentang Astronomi sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM). Sains tentang banyak hal dicoba dirumuskan oleh Aristoteles (wafat 322 SM).
Beberapa jenis sains ini masih dicampuri berbagai mitos, filsafat, kecenderungan spiritual tertentu, aksioma yang tidak berdasar, atau harapan-harapan palsu. Astronomi masih dicampuri dengan ramalan nasib, dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.
Ketika Islam datang, Islam memberikan sejumlah hal, yang kemudian generasi selanjutnya mereview hubungan antara iman-Islam dengan sains. Dalam perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam & Sains.
1. SAINS – ISLAM
Adalah Rasulullah sendiri yang ditunjukkan dalam hadits tentang kasus penyerbukan kurma, yang menunjukkan bahwa urusan sains & teknologi adalah “urusan kalian”. Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa ditemukannya sendiri dengan sains. Qur’an bicara hal-hal ghaib tentang masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit, saat penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi & langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan. Ini adalah hal-hal yang tidak mungkin diuji dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di dalam Qur’an. “When the science end, begin the faith”. Islam memberikan kepada manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku pencipta manusia. Bahwa di balik halal – haram itu bakal ada hikmah pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar diberlakukannya norma tersebut. Seorang muslim mematuhi norma itu karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti tidak akan memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka panjang, sekalipun kita belum tahu secara saintifik.
Karena itu, para ilmuwan generasi salaf, menjadikan Islam sebagai motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai ke Cina, atau inspirator dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung selintas di dalam Qur’an. Mereka mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya Ptolemeus, lalu dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak observatorium, karena dorongan ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana langit ditinggikan?”. Mereka menjadikan syariat Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh selama mencari ilmu itu. Maka mereka yakin bahwa ilmu sihir tidak boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar, karena ilmu itu menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan penuh kesyirikan. Dan mereka juga menjadikan Islam sebagai arah bagaimana ilmu itu diamalkan. Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras agar setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang mengalir terus meski ditinggal mati. Sains dan teknologi tidak dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.
2. ISLAMISASI SAINS
Pola islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia. Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam. Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin di dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains, karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu. Inilah hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun Yahya. Hubungan ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk), karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan ini belum berhasil mendorong kreatifitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta sains baru. Hubungan ini juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model analisis yang baru.
Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan Islam. Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika, dengan alasan yang kekal hanya Allah. Tetapi sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang dimaksud “kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan pada skala laboratorium”. Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat nanti, karena tidak bisa diuji. Kita memang mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagad raya dan kapanpun. Mengapa? Karena kita tidak bisa mendapatkan hukum-hukum fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita hadirkan untuk diuji. Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah (sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya (seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.
3. SAINTIFIKASI ISLAM
Saintifikasi Islam juga baru muncul abad-20. Idenya adalah bagaimana agar perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah. Misalnya bahwa tata cara sholat memang akan menghasilkan dampak positif secara fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal berupa dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik. Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof. Dadang Hawari. Beliau melakukan riset yang mendalam dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa. Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan juga diakui sebagai aktivitas saintifik. Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan oleh Islam. Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh agama.
4. SAINS TA’WILI
Sains Ta’wili juga baru mengalami “kebangkitan” di abad-20. Bentuknya adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu mencoba membuat postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji teori secara empiris atau eksperimen. Contohnya adalah, ketika ada ayat tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka berkesimpulan bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta. Kesimpulan ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi dasar teknologi ruang angkasa saat ini. Tetapi para penganut sains ta’wili bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang benar”. Mereka mengabaikan kenyataan bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri. Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam Qur’an, dan itu tidak berarti tidak ada atau tidak akan pernah ada. Existensi es di kutub-kutub bumi tidak disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada. Demikian juga bahwa suatu ketika mahluk hidup bisa dikembangbiakkan dengan teknik “cloning”, itu tidak berarti melawan ayat suci, karena sebenarnya Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu. Sementara itu, di sisi sains juga banyak juga teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains itu sendiri. Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan fosil-fosil yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia menyimpulkan adanya evolusi. Tetapi bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet menjadi manusia, tentu itu adalah ta’wil, karena tidak mungkin ada uji experimen untuk evolusi manusia. Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama (ratusan ribu tahun). Di dunia Kristen, sains ta’wili atas Bibel mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan seperti Galileo atau Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja. Di dunia Islam, hal yang sama terulang sejak abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi menggunakan sains ta’wili untuk menganggap kafir ilmuwan yang tidak percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.
Contoh lain sains ta’wili banyak ditemui di dunia kesehatan. Ketika ada hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”, maka pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa habatussaudah itu dapat mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu obatnya, seperti HIV/AIDS, dan ketika penderita tersebut akhirnya mati juga (karena tidak sembuh), mereka berkilah, “ya itu karena maut memang tidak bisa diobati”. Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit apapun bisa diklaim begitu saja. Yang jelas, perjalanan sejarah ilmuwan kedokteran salaf justru tidak seperti itu. Ibnu Sina, Abu Qasim az-Zahrawi atau Ibnu an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit seperti habatussaudah. Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif, dan tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang ilmiah sudah dikerjakan.
5. SAINS SEKULER
Sains sekuler adalah sains yang mendominasi dunia saat ini, ketika sains sama sekali menolak untuk menerima keberadaan Tuhan. Akibatnya, Tuhan tidak boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk apapun, baik itu sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode ilmiahnya, hingga aplikasi penemuannya. Ilmuwan yang masih melibatkan Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak serius. Tuhan biarlah berada di tempat terhomat, yang tidak diganggu oleh rumus dan falsifikasi. Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains. Yang menyedihkan, sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di semua mata pelajaran, termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah Islam.
Sebagian orang mengalami kesulitan membedakan paradigma-1 (SAINS ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER). Sebagian penganut paradigma-4 (SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi paradigma-1 telah terjebak dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil wahyu yang pasti benar, padahal yang disangka dalil itu masih mutasyabihat. SAINS ISLAM sangat berbeda dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi mengembangkan sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan dalam aplikasi sains, yaitu teknologi/inovasi. Hasilnya: SAINS ISLAM akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi manusia, bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain; dikembangkan dengan mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan diterapkan untuk merahmati seluruh alam, bukan untuk menjajah.
(tentang hal ini lihat http://www.hidayatullah.com/read/21275/21/02/2012/antara-ilmuwan-islam-dan-sekuler.html)
Lantas kita akan memilih paradigma yang mana?