Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu frekuensi dirinya.
Di dunia ini bersliweran jutaan gelombang radio. Gelombang radio itulah yang ditumpangi siaran radio, televisi maupun sinyal ponsel kita. Tetapi kita hanya bisa menikmati salah satu saja, yakni bila frekuensi dari alat penerima kita sudah kita samakan dengan frekuensi pemancar.
Ternyata seperti itu pula hubungan komunikasi di dalam diri manusia, antara manusia dengan manusia lain, dan antara manusia dengan Sang Pencipta.
Ada manusia yang tidak mampu mendengar suara hati nuraninya. Akal dan perasaannya ada pada frekuensi yang berbeda, sehingga perasaannya tidak mengikuti apa yang dibenarkan oleh akalnya. Ada dokter yang tahu bahwa merokok itu merusak kesehatan, tetapi keinginannya untuk merokok tidak dapat dihindarinya. Ada juga ustadz yang tahu bahwa riba itu haram, tetapi keinginannya untuk memiliki barang mewah sekalipun dengan kredit ribawi tidak dapat dicegah. Demikian juga ada ustadzah yang kenal hukum wajibnya menutup aurot dengan jilbab (gamis) dan khimar (kerudung), kalau mengisi pengajian juga berbusana lengkap, tetapi ternyata kalau menemui tetangga di halaman rumah kerudungnya sering dilupakan. Lebih ironis lagi, ada seorang pejabat publik, tokoh suatu gerakan Islam, Doktor lulusan Timur Tengah, tetapi terbukti di pengadilan telah melakukan tindak pidana korupsi. Yang dikorupsi juga dana yang secara spesifik merupakan titipan umat Islam. Ternyata frekuensi akal dan perasaan mereka belum sama. Kepribadian mereka masih terbelah. (more…)