Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu persepsinya tentang berbagai hal.
Persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu serapan. Persepsi ini dihasilkan dari informasi yang masuk ke pancaindera seseorang, kemudian oleh otaknya dihubungkan dengan berbagai informasi yang telah ada sebelumnya, baik informasi yang masih mengambang, maupun yang sudah mantap atau dianggap referensi.
Namun kualitas persepsi juga tergantung kecepatan orang berpikir dan berapa banyak otaknya dilatih. Otak manusia memiliki keunikan, yakni makin sering dipakai, makin cepat dia berpikir dan makin banyak yang bisa disimpannya. Tetapi kualitas latihan ini juga tergantung jenis informasi yang dimasukkan. Ada informasi-informasi yang memperkuat otak, tetapi ada juga yang justru melemahkannya. Membaca Qur’an, memecahkan persoalan matematika atau menganalisis berita politik, adalah termasuk informasi yang memperkuat otak. Sedang pornografi, opera sabun atau gossip murahan, adalah informasi yang melemahkan. Otak melemah karena banyak sel-sel di otak yang terlena atau non aktif, kecepatan berpikir jadi berkurang, dan akibatnya persepsi yang dihasilkannyapun tidak optimal.
Di dunia bisnis, banyak analis ekonomi atau perencana keuangan yang berlatar belakang sains/teknik, karena konon otak mereka lebih terlatih memecahkan persoalan yang lebih rumit, sehingga terasa ringan dan lebih cepat ketika menghadapi persoalan bisnis atau finansial. Itulah kenapa, para ilmuwan zaman dulu selalu melalui masa kanak-kanak sebagai penghafal Qur’an, atau ulama fiqih juga belajar matematika. Di sisi lain, setiap orang yang sedang menghafal Qur’an wajib menghindari maksiat. Bahkan menonton dangdut dengan biduanita yang mengumbar aurat bisa menghilangkan 1-2 juz dari memory.
Adapun persepsi itu sendiri bisa bermacam-macam. Ada persepsi tentang diri sendiri. Ada persepsi tentang orang lain. Juga persepsi tentang alam semesta, masyarakat, negara, dan sebagainya. Semuanya akan menentukan apa yang akan dilakukan orang itu kemudian. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu perlakuannya terhadap informasi, baik yang datang kepadanya, maupun yang pergi darinya.
“Katakanlah, buku apa yang kau baca, siaran radio apa yang kau dengar, tayangan TV mana yang kau tonton, dan situs internet mana yang kau kunjungi, maka kami bisa tahu, kamu ini manusia seperti apa, dan sepuluh tahun lagi, kau akan jadi apa”.
Manusia adalah satu-satunya mahluk di muka bumi yang dapat menerima berbagai jenis informasi, mengolahnya, menyimpannya, menyajikannya dalam bentuk lain, dan menyebarluaskannya sehingga dapat dimanfaatkan oleh generasi jauh sesudahnya. Tidak ada binatang yang menyimpan pengalamannya dalam sebuah media yang bisa dimanfaatkan binatang lain yang tidak pernah bertemu dengannya.
Karena itu, informasi memiliki kekuatan merubah. Bahkan, di abad-21 M ini, diyakni bahwa informasi lebih kuat dari kapital, lebih kuat dari senjata, bahkan lebih kuat dari tenaga berjuta manusia.
Tetapi untuk bisa mengubah nasibnya ke arah yang dikehendaki dengan informasi, seseorang wajib mengubah perlakuannya terhadap informasi. Dia harus mampu memilah sumber informasi yang tepat, menggunakan akal sehat yang dimilikinya untuk menilai, apakah informasi itu layak dipercaya atau tidak, layak dimanfaatkan atau tidak, layak diteruskan atau dibuang saja.
Secara alamiah, informasi itu ada tiga jenis. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu asumsi-asumsi yang selama ini digunakannya.
Dunia ini penuh dengan asumsi (anggapan yang dianggap benar). Tidak hanya untuk negara setiap membuat RAPBN yang dimulai dengan beberapa asumsi (misal nilai tukar Dollar, lifting minyak, dsb), setiap hari orang beraktivitas pun dengan menyimpan asumsi di dalamnya. Contoh dari asumsi itu: dia berangkat ke tempat kerja karena berasumsi di sana ada sesuatu yang dapat dikerjakannya, atau kalau dia tidak berangkat, dia akan mendapatkan sanksi, setidaknya sanksi sosial (malu), karena orang-orang lain juga berangkat, dan mereka sama-sama dibayar untuk itu. Tentunya akan sangat berbeda, kalau dari awal dia punya asumsi bahwa di kantor tidak ada yang dapat dikerjakannya, atau di sana dia akan mendapatkan suasana yang tidak enak, yang membuatnya makin lama merasa justru makin membusuk.
Orang mencari sebuah tempat juga menyimpan asumsi. Minimal, dia berasumsi bahwa alamat yang dituju itu memang ada, bukan fiktif, bukan pula palsu. Karena itu, di kehidupan nyata, tidak ada orang yang pergi mencari Negeri Dongeng, karena negeri itu memang hanya ada di dalam dongeng di majalah anak-anak. Demikian pula, se real apapun film Harry Potter, tidak ada orang yang serius mencari sekolah bernama Sekolah Sihir Hogwarts, karena semua berasumsi bahwa itu hanya khayalan.
Setelah berasumsi bahwa tempat yang dituju ada, maka dalam perjalanan ke sana orang juga berasumsi bahwa di jalan raya secara umum orang lain akan mematuhi aturan lalu lintas. Tanpa asumsi ini, kita akan sangat sulit berperilaku di jalan, misalnya di sisi kiri atau kanan kendaraan kita berjalan, atau kalau lampu lalu lintas berwarna hijau kita sebaiknya jalan terus atau berhenti. (more…)