Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu transaksi-transaksi mereka.
Selama manusia tidak hidup sendirian, maka dia akan terus menerus melakukan transaksi. Transaksi ini ada yang sangat sederhana seperti anak-anak saling menolong menyeberang jalan hingga sangat serius seperti ketika sebuah negara memberikan konsesi tambang migas kepada perusahaan asing untuk jangka waktu 30 tahun.
Transaksi adalah suatu bentuk peralihan hak. Ada jual-beli, waris, hibah, tolong-menolong, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, bekerja, bekerjasama, menikah, menjalin perdamaian dan sebagainya. Transaksi dimaksudkan untuk saling menutupi kekurangan. Seharusnya sifatnya win-win.
Namun dalam kenyataannya, kadang kala apa yang di awal diduga akan memberikan keuntungan bagi semua, ternyata tidaklah demikian. Satu pihak mendapatkan keuntungan lebih besar, atau pihak lain justru lambat laun merasakan kerugian, atau bahkan semuanya rugi, karena yang diuntungkan justru pihak lain yang berada di luar mereka. Kalau demikian, maka transaksi itu adalah win-lose, atau bahkan lose-lose.
Karena itu, kalau kondisi seseorang atau suatu kaum itu dalam keterpurukan, kemungkinan itu disebabkan oleh transaksi-transaksi mereka di masa lalu. Mungkin karena ada hubungan kerja yang tidak adil. Mungkin ada utang-piutang yang menjerat mereka dalam bunga-berbunga yang tidak akan berkesudahan. Mungkin pula ada transaksi yang dulu sebenarnya sudah benar dan adil, tetapi kondisi eksternal (politik, ekonomi, sosial-budaya atau teknologi) yang telah berubah, sehingga memang sudah saatnya transaksi itu disesuaikan. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu formasi barisan mereka.
Di dunia ini lebih banyak pekerjaan yang membutuhkan kebersamaan dari pekerjaan yang dapat dilakukan sendiri-sendiri. Lebih banyak fardhu kifayah dari fardhu ain. Sebagai contoh: kewajiban sholat lima waktu adalah fardhu ain, tetapi ada sedikitnya tujuh hal terkait sholat yang merupakan fardhu kifayah, yaitu:
– membuatkan jadwal sholat sehingga orang dimudahkan mengetahui kapan harus sholat.
– mengumandangkan adzan agar orang tahu waktu sholat telah tiba.
– menyediakan air untuk wudhu.
– menyediakan tempat yang suci untuk sholat.
– menyediakan pakaian yang suci dan menutup aurat.
– mencarikan arah kiblat.
– mencarikan imam yang bacaannya baik.
Kalau jama’ah sholatnya semakin banyak dan perlu ruang yang khusus (masjid), maka juga fardhu kifayah untuk:
– menyediakan bahan material bangunan masjid.
– mencarikan tukang atau insinyur akan yang membangun.
– mendirikan sekolah tukang atau sekolah insinyur yang akan kompeten membangun masjid.
– mencarikan dana pembangunan masjid.
– dst.
Di dalam sholat jama’ah, formasi sangat menentukan. Oleh karena itu, imam dianjurkan untuk memerintahkan jama’ah agar meluruskan dan merapikan shaf. Orang yang berdiri di belakang imam diharuskan orang yang cukup kapasitasnya untuk sewaktu-waktu mengingatkan imam kalau salah dalam bacaan atau rukun sholat. Orang tersebut bahkan harus siap untuk menggantikan imam bila sewaktu-waktu dibutuhkan. (more…)
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan nasib tanpa mereka mengubah dulu jenis dan tingkat kualitas kontribusi mereka.
Sikap hidup seseorang terhadap hidupnya, itu ada beberapa tingkatan.
Tingkatan paling rendah adalah apatis. Dia tidak berbuat apa-apa. Dia pasrah saja kemana “air mengalir”. Padahal air selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Kadang air juga tidak mengalir ke lautan, tetapi berhenti di septic-tank. Orang semacam ini, ada yang karena pemahaman taqdir yang keliru. Dia percaya, bahwa Allah sudah menjamin rizkinya, rizkinya tidak akan nyasar, tidak akan bisa diambil orang lain. Tetapi satu hal yang dia lupa, bahwa rizkinya tidak akan datang sendiri ke dirinya. Dirinyalah yang harus berusaha menjemput rizkinya itu di suatu tempat yang telah ditentukan Allah, dengan sebuah usaha yang juga telah disyariatkan Allah.
Tingkatan berikutnya adalah positif. Dia berbuat sesuatu. Dia tidak membiarkan dirinya rusak, membusuk sendiri oleh keadaan. Namun, perbuatannya masih menunggu stimulasi. Dia kadang masih bersikap reaktif. Kalau tidak ada sebuah aksi dari luar, dari dirinya tidak muncul sebuah reaksi. Kalau dia seorang mahasiswa, dia baru belajar kalau dosennya memberi tugas, atau mengumumkan bahwa besok akan ujian. Masih positif sih, bahwa dia lalu belajar. Tetapi, belajar itu belum muncul dari dirinya sendiri karena kecintaannya pada ilmu.
Tingkatan yang lebih tinggi lagi adalah produktif. Dia menghasilkan sesuatu. Dia berpartisipasi pada meningkatnya harkat hidup diri dan lingkungannya. Bahkan dia sedikit banyak memberikan andil pada Produk Domestik Bruto dalam arti yang seluas-luasnya. Dia tidak hanya belajar agar dirinya lulus ujian, tetapi juga menghasilkan sebuah karya tulis yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Keberadaannya sebagai seorang lulusan sarjana masuk dalam statistik nasional yang menghitung angka output perguruan tinggi. (more…)