Ketika lagi asyik ngedengerin curhat akhir tahun dari para pejabat struktural dan pelaksana anggaran, tiba-tiba ada permintaan nggantiin khatib di masjid sebuah instansi hari ini. Jadinya khutbahnya seperti ini …
… (prolog khutbah bla bla bla …) …
Hari-hari ini para pejabat struktural nyaris di seluruh instansi pusing menaikkan serapan anggaran dengan melakukan apa saja kegiatan yang masih mungkin dilakukan. Hari-hari ini para pejabat fungsional nyaris di seluruh instansi pusing mendokumentasikan alat bukti untuk penilaian angka kredit mereka. Dan hari-hari ini para pelaksana anggaran nyaris di seluruh instansi pusing mengumpulkan bukti pertanggungjawaban.
Mereka semua mengkhawatirkan ketika tahun sudah berganti, dan kegiatan 2011 sudah ditutup, dan pertanggungjawaban apapun sudah tidak diterima lagi …
Tetapi apakah mereka memiliki kekhawatiran yang sama pada hidup mereka?
Apakah mereka semua mengkhawatirkan ketika catatan amal sudah ditutup?
Apakah mereka menyadari bahwa tahun 2011 ini mereka diberi anggaran oleh Sang Maha Pencipta, 365 hari yang indah, dan pasti terserap 100%. Tetapi dari 100% itu menjadi apa? Apakah modal dari Allah ini bisa meningkatkan keimanan, memperbanyak amal shaleh, mendorong saling menasehati dengan kebenaran, dan menjaga agar tetap sabar menghadapi segala keadaan?
Nanti laporan 2011 belum beres, kita sudah dihujani dengan KAK/TOR/Penetapan Kinerja untuk 2012, bahkan kita sudah diminta RKAKL 2013 untuk dapat dibahas sedini mungkin di 2012, agar menghasilkan perencanaan yang bagus 2013. Bukankah sudah ada RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang), RPJM, Renstra Lembaga, dsb
Apakah hidup kita juga tertata seperti itu? Punyakah kita Indikator Kinerja untuk hidup kita? Ada? Apa? Menjadi sarjana pada usia 24? Menjadi PNS di usia 26? Menikahi wanita cantik idaman sebelum usia 30? Kaya raya di usia 35? Menjadi pejabat terkenal pada usia 40? — Ketahuilah saudaraku, seseorang tidak menjadi mulia di sisi Allah karena menjadi sarjana, tidak karena menjadi PNS, tidak karena menikahi wanita cantik, tidak karena kaya di usia muda juga tidak karena menjadi pejabat terkenal! Tidak. Itu semua adalah indikator jahiliyah!
Boleh saja semua itu dicapai, tetapi hanya sekedar sebagai bekal tambahan. Karena hakekatnya seseorang menjadi mulia karena ketaatannya pada hukum syara’, karena memberi manfaat bagi orang banyak, karena berdakwah untuk meninggalkan ilmu yang bermanfaat bagi ummat, karena melindungi yang lemah dan membebaskan yang terjajah!
Saudaraku, kalau untuk membangun sebuah lembaga saja kita punya Renstra, maka mengapa kita ingin membangun kediaman di surga kita tidak punya rencana yang jelas, dengan tahapan yang terukur, dengan aktivitas yang terencana? Padahal jalan ke surga itu jalan yang mendaki lagi sulit, jalan yang hanya sanggup ditempuh oleh sedikit orang … yakni hanya orang-orang yang mau menukar hartanya dan jiwanya dengan surga, tapi sungguh merekalah orang-orang yang beruntung. QS At-Taubah:111 Mari kita jadikan momentum pergantian tahun ini untuk mengevaluasi diri, introspeksi, refleksi, sudahkah kita berada para rel menuju surga yang benar, agar jangan sampai, modal yang diberikan Allah ini hanya terserap 100%, tetapi tidak menghasilkan apa-apa …… (epilog bla bla bla …)
Pertanyaan paling mendasar: bagaimana mengukur kinerja aparat birokrasi?
Banyak kantor yang konon telah melakukan reformasi birokrasi dan memberikan tunjangan / remunerasi sesuai kinerja. Namun ternyata, kinerja yang dimaksud baru diukur melalui satu instrumen, yaitu: mesin absen fingerprint!
Kinerja birokrasi sangat berbeda dengan kinerja lembaga swasta pencari laba. Di sana kinerja lebih mudah diukur, yaitu cost/profit ratio. Makin kecil angka ini, makin bagus kinerja orang tersebut. Kalau profit tidak dapat diukur, maka cost-nya dibandingkan dengan cost orang lain, jabatan serupa di lembaga sejenis, atau jabatan serupa di masa lalu. Jabatan satpam misalnya, tentu tidak terkait langsung dengan profit. Tetapi cost-nya dapat dibandingkan dengan satpam di perusahaan lain, atau satpam di perusahaan yang sama di masa lalu. Jika untuk memenuhi SOP yang sama, seorang satpam bisa melakukannya dengan upah dan biaya yang lebih rendah, maka kinerja satpam itu lebih baik. Hal yang sama juga terjadi pada pekerjaan rutinitas lainnya, seperti sekretaris, teknisi, resepsionis dsb. Mungkin hanya tenaga produksi dan tenaga sales yang paling jelas cara mengukurnya secara langsung dari profit.
Sementara itu Kementerian dan Lembaga Pemerintah bukanlah lembaga pencari laba. Mereka dibayar dari APBN untuk memberikan manfaat (benefit) maksimal kepada rakyat yang merupakan pemilik hakiki negara ini. Karena itu ukurannya bukanlah cost/profit-ratio, tetapi cost/benefit-ratio. Persoalannya, bagaimana mengukur benefit ini?
Untuk kantor-kantor yang langsung melayani masyarakat (seperti KTP, SIM, perijinan, dsb), benefit ini bisa diukur dari kecepatan waktu pelayanan, atau jumlah orang yang terlayani. Makin cepat, makin banyak orang, makin baik.
Namun tidak semua pelayanan dapat diukur secara kuantitatif seperti ini. Ada hal-hal yang kualitasnya berbeda. Soal perijinan saja misalnya, ada IMB rumah sederhana, yang dapat diselesaikan secara massal, dan ada pula IMB gedung besar nan jangkung yang penyelesaiannya tentu perlu kajian yang lebih dalam.
Secara umum, pekerjaan-pekerjaan yang dihadapi birokrasi dapat dibagi dalam lima hal:
1. Human-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang lebih memerlukan kehadiran manusia berkualitas, misalnya guru atau tenaga kesehatan. Mereka tidak mudah digantikan oleh mesin otomatis, dan jumlah orang yang dilayani tidak menunjukkan kinerja. Seorang guru yang harus mengajar 3 kelas dengan total 120 siswa tidak berarti lebih baik kinerjanya dibanding guru yang hanya memegang 1 kelas dengan 20 siswa. Solusinya bukan memberi tunjangan kinerja yang lebih tinggi bagi guru dengan 120 siswa tadi (walaupun ini adil), melainkan dengan menambah jumlah guru di sekolah tersebut sampai tercipta rasio guru:siswa yang ideal. Tenaga kesehatan juga mirip. Tidak bisa diukur dari jumlah pasien yang dilayani. Bagaimana kalau di daerah itu memang tingkat kesadaran hidup sehat sudah tinggi, sehingga jarang ada yang sakit? Namun walaupun tidak ada yang sakit, tenaga kesehatan tetap harus standby di pos-nya masing-masing, agar sewaktu-waktu ada pasien dapat segera terlayani. Jangan dilupakan, bahwa jumlah terbesar PNS di Indonesia didominasi oleh guru dan tenaga kesehatan.
2. Kapital-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya akan sebanding dengan jumlah uang yang dikeluarkan. Misalnya pekerjaan pemotretan udara atau pembangunan jalan. Tentu saja, makin banyak anggaran yang dimasukkan, makin luas area yang dapat dipotret, atau makin panjang jalan yang dapat dibangun. Sebagian besar anggaran di sini akan dibelanjakan untuk bahan atau barang modal di pasar, bukan untuk menambah kesejahteraan pegawai. Jadi kinerja mereka yang ditugaskan di jenis pekerjaan ini adalah sejauh mana mereka dengan jumlah anggaran yang sama dapat menghasilkan output yang lebih banyak. Kalau anggaran ditambah, mereka akan menghasilkan lebih banyak lagi.
3. Teknologi-intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang dapat lebih mengandalkan kemajuan teknologi. Di masa lalu, ketika teknologi informasi dan komunikasi belum maju dan murah seperti sekarang, ada ribuan pegawai di kantor telepon yang tugasnya hanya menyambungkan panggilan. Kini semua panggilan dapat dilakukan otomatis dan akurat. Maka ribuan petugas telepon tadi dapat dirasionalisasi dengan cara dipindahkan ke bagian lain (tentu saja melalui diklat ulang) atau dipensiunkan lebih cepat. Di dunia birokrasi sekarang, tampak masih banyak sekali pekerjaan yang dapat digantikan dengan teknologi. Kurir surat (caraka) misalnya. Sekarang e-mail dan mesin fax sudah dipakai di mana-mana, sehingga pekerjaan antar-mengantar surat sebenarnya dapat dikurangi. Demikian juga beberapa pekerjaan rutin dapat digantikan dengan mesin otomatis atau sistem komputer dan internet yang sekarang juga lebih murah. Anehnya, banyak pengadaan teknologi ini tidak juga menghemat biaya organisasi. Atau ada aturan keuangan atau kepegawaian yang belum dapat mengakomodir berbagai bukti elektronik (misalnya surat undangan via e-mail). Dan masih ada pandangan yang memandang birokrasi sebagai lapangan kerja, sehingga kehadiran teknologi dianggap musuh.
4. Knowledge intensif – ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang outputnya tergantung knowledge pada SDM yang ada. Biasanya ini adalah pekerjaan di dunia pendidikan tinggi dan riset, tetapi bisa juga pekerjaan kreatif di unit yang melakukan sosialisasi / kehumasan, unit yang membuat perencanaan atau unit yang melakukan pengawasan. Jumlah produk mereka tidak dapat begitu saja ditingkatkan dengan memberi anggaran yang lebih besar, karena meski anggaran bertambah, kalau pakar yang mengerjakan tidak ada, ya pekerjaan itu tidak dapat dilaksanakan. Kadang-kadang kinerja mereka ingin diukur dengan jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan, atau publikasi ilmiah yang ditulis atau paten teknologi yang didapat. Tetapi ini tidak selalu linier. Jumlah S1-S2-S3 yang diluluskan bukan semata-mata ada dalam kendali mereka, karena itu juga tergantung minat masyarakat yang akan menggeluti bidang ilmu itu serta kualitas calon mahasiswa. Demikian juga, tidak semua hal yang diteliti layak untuk publikasi ilmiah atau paten. Bagaimana kalau penelitian itu untuk mengefisienkan proses kerja (yang teknologi-intensif atau kapital-intensif) di lembaga itu sendiri? Misalnya, peneliti kementerian agama ingin meningkatkan proses layanan haji, apakah ini bisa sekedar konsumsi di jurnal ilmiah atau lebih baik dia menjadi kebijakan yang diambil Menteri? Yang jelas, riset di kementerian agama tidak bisa dipatenkan, karena bukan teknologi.
5. Wisdom-intensif – ini adalah pekerjaan para pejabat yang outputnya adalah keputusan atau kebijakan publik, yang kualitasnya tergantung dari wisdom yang ada pada mereka. Sebuah Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah adalah contohnya. UU hingga Perda itu tentunya disiapkan oleh sebuah tim yang bekerja tidak sebentar. Kualitasnya tidak ditentukan oleh berapa anggaran yang dikucurkan, tetapi pada kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual mereka. Karena itu mengukur kinerjanya juga tidak mudah. Dampak dari kebijakan itu sering baru dapat diukur jangka panjang di masyarakat, bahkan ada yang baru terukur setelah pejabat yang mengambil keputusan itu sudah tidak lagi menjabat.
Dari lima jenis pekerjaan ini, tentunya mengukur kinerjanya tidak bisa sama.
Apa usulan anda?
Dr. Fahmi Amhar
Prof. Dr. Mahfud M. D., Ketua Mahkamah Konstitusi memiliki ide yang brilyan: para pejabat atau pegawai negeri sipil (PNS) di pos-pos tertentu – terutama yang menyangkut hukum atau keuangan, agar melaporkan kekayaannya, lalu kalau ternyata melebihi batas tertentu, diberi waktu dua bulan untuk menjelaskan dari mana sumber kekayaannya itu. Kalau tidak bisa, maka berarti kekayaannya hasil korupsi, sehingga pantas dihukum seberat-beratnya, kalau perlu hukuman mati.
Masalahnya sekarang, berapa penghasilan super maxima dari PNS yang paling top markotop itu?
Penghasilan PNS yang legal memang bukan cuma dari gaji, namun juga dari berbagai tunjangan dan dari penghasilan lain yang sah. Menurut Permenkeu no 01/PM.02/2009 tentang Standard Biaya Umum Tahun Anggaran 2010, ada beberapa penghasilan yang masuk akal, dan mungkin terjadi pada PNS yang memang memiliki kompetensi dan kapasitas tinggi. Berikut ini adalah simulasi penghasilan PNS yang “super maxima”
Katakanlah ini seorang PNS golongan IV/d, dengan jabatan fungsional peneliti utama, yang juga karena kompetensi, kerajinan dan loyalitasnya kepada pimpinan, mendapat tugas penelitian (riset insentif), juga sering ke daerah untuk memberi pelatihan teknis atau menjadi narasumber di berbagai lokakarya atau seminar di satker lain, juga sering dikirim ke Luar Negeri untuk menjadi delegasi Indonesia pada berbagai event ilmiah internasional. Berapa kira-kira penghasilan maksimumnya dalam setahun?
(1) Gaji pokok golongan IV/d masa kerja golongan 20 tahun = Rp. 1.738.800, ditambah tunjangan 1 istri (10%) dan 2 anak (@ 2%) = Rp. 23.775.840/tahun (Perpres 1/2006 ttg Penyesuaian Gaji Pokok PNS)
(2) Sebagai peneliti utama, dia berhak mendapat tunjangan peneliti senilai Rp. 1.400.000 / per bulan atau Rp. 16.800.000/tahun.
(3) Untuk tugas riset insentif, dia mendapat tambahan maksimum Rp. 50.000/jam x 20 jam / minggu. Dan karena setahun ada cuti dua minggu, maka dihitung 50 minggu, dan berarti Rp. 50 juta. Setelah dipotong PPh (pasal 21) 15% maka tinggal Rp. 42,5 juta.
(4) Tugas ke daerah 40 kali dalam setahun, dan setiap kali biasanya dihitung 3 hari. Dan karena di lokasi sering dijamu penuh oleh tuan rumah, maka uang lumpsum dia sebesar Rp. 300.000/hari utuh, maka ini berarti tambahan penghasilan 300.000 x 3 x 40 = Rp. 36 juta. Lumpsum ini bebas pajak!
(5) Honor narasumber sendiri, dihitung 2 x 3 Orang-Jam, dan karena pakar honornya Rp. 1.150.000,-/OJ, jadi kalau setahun 40 kali jadi narasumber, maka kira-kira menghasilkan Rp. 276 juta, dan setelah dipotong PPh (Pasal 21) menjadi Rp. 234,6 juta.
(6) Tugas ke Luar Negeri 10 kali dalam setahun, dan setiap kali biasanya dihitung 5 hari. Karena di lokasi sering dijamu KBRI, maka lumpsum dia sebesar rata-rata US$ 300/hari hanya terpakai untuk sewa hotel, dan karena pandai memilih hotel murah via internet, savingnya rata-rata US$ 250/hari. Dengan kurs Rp. 9000/US$ maka saving setahun jadi Rp. 112,5 juta. Dan ini bebas pajak!
Dari poin 1 sampai 6 saja, sudah didapatkan penghasilan dari APBN total sekitar Rp. 466.175.840,- Semua penghasilan ini wajar dan legal, mematuhi semua aturan. Untuk perjalanan misalnya, semuanya at cost, tidak perlu markup tiket atau memalsu bill hotel.
(7) Kalau dia ada di institusi yang sudah remunerasi, dan asumsikan dia ada di pertengahan dengan tambahan tunjangan Rp. 25 juta / bulan, dan ini otomatis mencakup tunjangan peneliti dia, maka tambahannya adalah (25 – 1,4) x 12 = Rp. 283,2 juta, atau setelah dipotong pajak Rp. 240.720.000.
Dengan remunerasi ini, PNS super maxima ini dapat penghasilan dari APBN setahun Rp. 706.895.840,-
Dan ini belum semua. Karena intelektualnya, dia dicari oleh berbagai PTS untuk mengajar.
(8) Pada malam hari atau hari Sabtu/Minggu masih memberi kuliah S2 di Perguruan Tinggsi Swasta 2 kali seminggu, setiap kali 3 jam, dan setiap jam diberi honor Rp. 200.000,-, jadi = Rp. 1,2 juta / minggu, selama 16 kali/semester atau setahun Rp. 38,4 juta, dipotong Pph (Pasal 21) menjadi Rp. 32.640.000,-
(9) Sebagai dosen, dapat tambahan lagi karena membimbing tesis dan menguji. Asumsikan mahasiswa yang dibimbing dan diuji adalah 20 orang tiap semester, untuk setiap bimbingan/pengujian dapat honor Rp 2 juta, maka setahun menjadi Rp. 80 juta, setelah potong pajak menjadi Rp. 68 juta
Kesimpulannya, penghasilannya hanya Rp. 807.535.840,-, setahun, tidak sampai Rp 1 Milyar !
Kalaulah untuk kebutuhan hidup dan sekolah anak-anak, yang kebetulan cerdas-cerdas (sehingga selalu di sekolah negeri yang baik dan dekat, tidak perlu kost atau ongkos), perlu Rp. 5 juta/bulan (60 juta/tahun), maka savingnya adalah sekitar Rp. 750 juta/tahun.
Jadi kalau ternyata kekayaannya setelah 10 tahun bekerja (dengan mengabaikan inflasi), lebih dari 7,5 Milyar, maka itu sudah sangat aneh. Ini hanya mungkin kalau ada penjelasan lain. Misalnya:
– Istri/suaminya juga bekerja sebagai eksekutif suatu BUMN atau perusahaan multinasional top, dengan salary Rp. 300 juta/bulan = Rp. 3,6 M / tahun (setelah PPh menjadi Rp. 3,06 M)
– Menjadi super motivator / entertainer, dan setiap tampil dibayar US$ 10.000, 50 minggu setahun, ini = Rp 4,5 M/tahun (setelah PPh Rp. 3,825 M).
– Memiliki buku bestseller, melebihi Laskar Pelangi, dicetak 1 juta exemplar setahun, dan mendapat royalti 10% dari harga toko yang Rp. 50.000,-, jadi tambahan penghasilan Rp. 5 M/tahun (setelah PPh menjadi Rp. 4.25 M)
– Memiliki investasi bisnis yang sudah mapan (tak perlu ditungguin), misal toko beras on-line beromzet 3000 ton / bulan, dengan nett profit setelah pajak sekitar Rp. 300 juta/bulan atau = Rp. 3,60 M / tahun. Kalau bisnis ini tumbuh 15% per tahun, maka di tahun ke-10 nett profitnya sudah 14.5 M per tahun.
– Memiliki temuan teknologi yang dipatenkan atau software computer yang laris, terjual di seluruh dunia 1 juta copy dengan nett profit per copynya Rp. 1 juta, maka ini sudah Rp. 1 Triliun sendiri.
Jadi mudah sekali meminta dibuktikan, apakah kekayaan yang super maxima itu halal atau tidak. Tinggal mau tidak kita menerapkan asas pembuktian terbalik? Khalifah Umar bin Khattab r.a. sudah menerapkan asas pembuktian terbalik kepada para pejabatnya 1400 tahun yang lalu!