Dr. Fahmi Amhar
Ada obrolan di warung kopi yang mengatakan bahwa dunia pertanian di Indonesia itu penuh “kutukan”. Ada kampus pertanian terkenal yang menghasilkan sarjana yang ahli dalam banyak hal, kecuali pertanian. Alumni kampus itu banyak yang menjadi wartawan terkenal, ekonom terkenal, politisi terkenal, bahkan ustadz terkenal, tetapi tidak ada karya pertanian mereka yang fenomenal seperti halnya inovasi pertanian dari Thailand.
Dan dalam beberapa tahun terakhir ini, Kementerian Pertanian ternyata memang belum mampu menjadikan negeri ini berswasembada pangan. Tahun lalu harga kedelai meroket, sampai tahu-tempe yang merupakan makanan rakyat kecil ikut jadi mahal. Kemudian harga daging sapi ikut meroket, konon karena permainan kuota impor sapi, yang bahkan lalu menyeret beberapa tokoh sebagai tersangka KPK. Dan hari-hari ini, harga bawang pun demikian. Niatan mendorong produksi lokal dengan pembatasan impor ternyata malah menjadi masalah baru, karena akar masalah seperti akurasi data kebutuhan, problem skala produksi dan rantai distribusi (transportasi, gudang, pasar) tidak teratasi. Yang terjadi malah harga naik karena pasokan berkurang, dan importir yang sudah kolusi dengan otoritas pengatur kuota justru menikmati untung besar karena kenaikan harga.
Antara penguasaan teknologi dan swasembada pangan memang terkait erat. Andaikata umat Islam memiliki ahli-ahli pertanian yang andal, maka kita akan relatif lebih mudah untuk mewujudkan sistem swasembada pangan, yang akan menjaga kita dari pusaran impor pangan yang penuh dengan “kutukan”.
Sayangnya, saat ini bila kita bicara pertanian Islam, orang cenderung hanya terpikir soal kurma. Padahal Nabi datang ke dunia tidak untuk mengajarkan ilmu pertanian. Semua ini masuk dalam teknologi yang menurut Nabi “kalian lebih tahu urusan dunia kalian”. Hanya saja, masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami perbedaan antara “sistem” dan “ilmu”. Dunia kapitalisme memang telah mencampuradukkan antara sistem yang dipengaruhi pandangan hidup (“hadharah”) dan cara-cara teknis hasil eksperimen ilmiah (“madaniyah”). (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa manusia Indonesia ini rata-rata memiliki tinggi dan berat badan yang kurang dibanding orang Eropa. Dan konon, hal ini karena mereka kurang mengonsumsi protein, seperti yang ada pada kedelai (tahu/tempe), susu, telur, ikan, daging ayam atau sapi. Konon hal ini juga karena selain pada telur, ikan dan daging ayam, produksi nasionalnya semua kurang sehingga harus diimpor. Tahu dan tempe yang menjadi makanan rakyat, harganya pernah melambung karena impor kedelai mengalami masalah. Apalagi sapi, yang masalah impornya sampai membuat seorang tokoh Islam “terpeleset” sehingga kini harus “nyantri” di KPK.
Memang soal produksi daging sapi di dalam negeri ini banyak persoalan teknis yang sistemis, mulai dari kultur peternakan yang sangat berbeda, yang tidak cocok untuk industri daging secara massal. Hampir 99 persen ternak sapi di Indonesia ada di jutaan peternak kecil, yang tersebar di desa-desa di segala penjuru, yang masing-masing hanya memiliki 1 sampai 3 ekor sapi, dengan bibit dan pakan yang seadanya, dan akan menjualnya atau hanya akan menjualnya pada saat perayaan keagamaan atau kalau ada kebutuhan uang yang tinggi, sekalipun beratnya belum optimal. Kita tidak memiliki peternakan besar dengan ratusan ribu sapi seperti di Australia. Kita juga belum memiliki sistem transportasi sapi yang efisien dan didampingi dokter hewan, sehingga sapi-sapi itu sampai dengan sehat ke tujuan dengan biaya rendah.
Walhasil, impor sapi dari Australia masih jauh lebih murah daripada membawa sapi dari Nusa Tenggara ke Jakarta, tempat mayoritas konsumen sapi berada. Karena itu, sangat bisa dimengerti, bahwa para importir akan mencoba segala cara agar mendapat quota impor dari Kementerian Perdagangan atau Perindustrian, setelah sebelumnya mendapat rekomendasi dari Kementerian Pertanian.
Tetapi kembali ke soal tinggi dan berat badan, tentu saja sumber protein tidak hanya daging sapi. Barangkali kalau telur, ikan dan ayam – atau juga bebek – dimasukkan, bangsa kita tidak kekurangan protein. Tinggal soal distribusi saja. Namun apakah persoalannya produksi atau distribusi, faktanya postur tubuh kita hari ini kurang ideal. Padahal di abad pertengahan, postur tubuh rata-rata kaum Muslimin lebih tinggi dan kekar dari rata-rata orang-orang kafir di Eropa? (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Bila ada soal, “sebutkan contoh produk pertanian Islam!”, dapat diduga jawaban mayoritasnya adalah kurma. Sama seperti pertanyaan tentang “pengobatan ala Nabi” atau “Thibbun Nabawy” yang diasosiasikan dengan madu, habatussaudah dan bekam. Padahal Nabi datang ke dunia tidak untuk mengajarkan ilmu pertanian ataupun teknik pengobatan. Semua ini masuk dalam ilmu-ilmu yang menurut Nabi “kalian lebih tahu urusan dunia kalian”. Hanya saja, masih banyak kaum muslimin yang belum memahami perbedaan antara “sistem” dan “ilmu”. Namun ini bukan semata-mata kesalahan mereka. Dunia kapitalisme telah mencampur-adukkan antara sistem yang dipengaruhi pandangan hidup (“hadharah”) dan cara-cara teknis hasil eksperimen ilmiah (“madaniyah”).
Dunia ilmu ekonomi mungkin termasuk bidang yang “tingkat ketercampuradukannya” tinggi, sedang ilmu kedokteran dan pertanian relatif netral. Bila Ibnu Sina meletakkan tujuh aturan dasar uji klinis atau Ishaq bin Ali Rahawi menulis kode etik kedokteran, maka di dunia pertanian ada Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan (zoologist) dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Ābu Ḥanīfah Āḥmad ibn Dawūd Dīnawarī(828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabâtdan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya. Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air. Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.
Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays al-Wahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha al-nabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hinga meningkatkan kualitasnya. Di Barat teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture”.
Para insinyur muslim merintis berbagai teknologi terkait dengan air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling. Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari. Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.
Di Andalusia, pada abad-12, Ibn Al-‘Awwam al Ishbili menulis Kitab al-Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya, termasuk 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah. Buku ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad-19.
Pada awal abad 13, Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.
Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya al-Mufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri. Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampai-sampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.
Kemajuan pemikiran Islam tergambar pada realitas bahwa mereka sudah memikirkan ekologi dan rantai makanan. Al-Jāḥiẓ atau nama aslinya Abu Utsman Amr ibn Bahr al-Kinani al-Fuqaimi al-Basri (781-869) dalam bukunya Kitab al-Hayawansudah berteori akan adanya perubahan berangsur pada mahluk hidup akibat seleksi alam dan lingkungan. Meski ada perbedaan, pemikiran ini 1000 tahun mendahului Alfred Wallace atau Charles Darwin.
Ini adalah fakta-fakta yang terkait langsung dengan ilmu pertanian dalam arti sempit. Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain. Alat-alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemumpukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan pertanian. Kombinasi sinergik dari semua teknologi ini selalu menghasilkan akselerasi dan pada moment tertentu cukup besar untuk disebut “revolusi pertanian muslim”.
Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100% pada tanah yang sama. Kaum muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia. Ini adalah cikal bakal “precission agriculture”.
Revolusi ini ditunjang juga dengan berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif. Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah. Negara juga menyebarkan informasi teknologi pertanian sampai ke para petani di pelosok-pelosok.
Mungkin ada pertanyaan: kalau kita pernah merevolusi pertanian, mengapa kita tidak ikut merevolusi industri? Penjelasannya adalah: siapapun yang tetap melakukan riset hingga abad-19 akan memiliki peluang lebih besar untuk mengkombinasikan lebih banyak teknologi dasar.
Kalau kita punya 2 benda, dengan kreativitas kita 2 benda itu dapat dikombinasikan menjadi satu benda yang baru. Misalnya kita punya teknologi ponsel dan camera, maka kita lalu terpikir ponsel berkamera. Kalau ada satu benda dasar lagi, misalnya GPS (alat navigasi global), maka dapat dibuat 3 benda baru lagi: ponsel ber-GPS, camera ber-GPS, dan ponsel camera dan ber-GPS.
Inilah kombinatorik, yang di matematika memiliki rumus n!/(k! * (n-k)!) atau kombinasi kelas k dari n benda dasar akan menghasilkan n faktorial dibagi perkalian dari k faktorial dan (n-k) faktorial. Kalau kita punya 2 benda (a,b), maka kombinatoriknya ada 1 (ab). Sedang kalau 3 benda (a,b,c), maka kombinatorik kelas 2-nya ada 3 (ab, ac, bc), dan kelas 3-nya ada 1 (abc), atau semuanya 4 benda baru. Dan kalau kita punya 4 benda, bisa dibuat 11 benda baru, dan kalau kita punya 10 benda, maka total dapat dibuat 1013 benda baru.
Itulah mengapa teknologi selalu makin lama makin cepat berkembang dan meletupkan revolusi demi revolusi. Ini karena bahan dasar yang bisa dikombinasikan semakin banyak. Tinggal pada sistem seperti apa para ilmuwan masih sempat bekerja secara ilmiah sehingga dapat mengembangkan penemuan baru bahkan revolusi baru.