Setiap Anda melakukan sebuah perbuatan, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak melakukan itu?”
Silakan Anda uji sendiri:
– Bila Anda nonton piala dunia sepak di TV: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak menonton siaran tersebut?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi komentator terkenal, yang mampu memindahkan ketegangan antar negara dari kancah militer ke lapangan bola saja ?
– Bila Anda sedang kuliah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kuliah?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi seorang profesional kelas dunia, dan ketidakhadiran Anda pada kuliah itu, menyebabkan Anda gagal menjadi sarjana, dan tertutup pula jalan menjadi profesional tersebut ?
– Bila Anda sedang kontak dakwah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kontak?” – jangan-jangan orang yang Anda kontak itu ditakdirkan menjadi pencerah bagi seorang jenderal sangat berpengaruh yang akan mengusir penjajahan dan menopang keadilan berdasarkan syariah ?
Hidup ini tidak linier. Kita tidak pernah tahu peran apa yang sesungguhnya Allah gariskan untuk kita. Tetapi kita bisa menimbang-nimbang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, seberapa urgen perbuatan kita. Tinggal seberapa jauh kita dapat menghayati, “jangan-jangan” kita ditakdirkan memiliki peran yang signifikan di dunia ini, tetapi hanya efektif bila kita memilih pilihan yang tepat dalam garis hidup kita.
Masyarakat yang paling rendah mutunya adalah DOING-NOTHING-SOCIETY. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk ngerumpi, ngomongin orang, atau ngomongin sesuatu yang tidak terkait dengan solusi atas masalah real yang dihadapi.
Agak naik sedikit adalah WATCHING-SOCIETY. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menonton, bisa menonton TV, menonton kecelakaan, menonton kemungkaran, tanpa berbuat apa-apa. Kemungkaran atau kesusahan hidup orang lain hanya menjadi objek tontonan.
Lebih tinggi lagi adalah LISTENING-SOCIETY. Mereka mulai mau mendengarkan. Bagi orang-orang yang sedang pepat hatinya karena kesulitan hidup yang terlalu besar, adanya orang yang mau mendengarkan memang bisa sedikit meringankan beban pikiran, meski belum merupakan solusi tuntas.
Naik lagi adalah READING-SOCIETY. Mereka mulai mau membaca, baik membaca buku, kitab suci, media elektronik atau membaca alam. Mereka mulai mengambil ilmu di luar ruang lingkup hidupnya sehari-hari, bahkan dari masa yang berbeda. Menurut Islam, ini adalah standard minimal dari bentuk masyarakat. Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca.
Lebih afdhol lagi adalah WRITING-SOCIETY. Masyarakat yang mulai maju ditandai dengan produk tulisan yang semakin banyak, yang mendokumentasikan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya, sehingga berguna menembus ruang dan waktu.
Dan puncaknya adalah LEARNING-SOCIETY. Ini adalah masyarakat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar sikap dan perbuatannya. Mereka telah membaca pengalaman dari siapapun, dan terus memperbaiki diri. Inilah masyarakat yang memiliki banyak mujtahid.
Nah, sudahkah kita menempatkan diri menjadi LEARNING-PERSON – pribadi yang terus belajar, terus memperbaiki diri ? Kata Nabi, belajar adalah kewajiban setiap muslim sejak dari buaian hingga liang lahat. Dan kita terus belajar memahami urgensitas setiap perbuatan kita. Dengan itu kita akan mendapatkan kualitas amal yang makin baik. Bukanlah Allah menciptakan hidup dan mati itu hanya untuk menilai siapa dari kita yang lebih baik amalnya? Amal yang baik adalah amal yang benar (menurut syariah) dan ihlas (ditujukan untuk meraih keridhaan Allah). Dan kata Nabi, orang yang terbaik adalah orang yang paling mendatangkan manfaat bagi manusia lain.
Kalau ini kita gabungkan, maka perbuatan yang paling urgen adalah perbuatan yang syar’i, yang hanya ditujukan untuk meraih keridhaan Allah, dan paling besar mendatangkan manfaat bagi manusia.