Ketika sejumlah dosen dan ulama dari Indonesia diajak jalan-jalan berkunjung ke campus Standford University di Amerika Serikat, mereka tercengang melihat di ruang kelas itu tetap digunakan papan tulis biasa dengan kapur, bukan white-board, spidol dan LCD. Mereka menganggap sekolah-sekolah di Indonesia ternyata lebih maju.
Apa yang terjadi ini menunjukkan taraf berpikir saat ini dari para intelektual kita, yang terwakili sejumlah dosen dan ulama. Indikator kemajuan diukur dari fasilitas fisik yang dimiliki, bukan dari karya yang orisinil (genuine) dan kemampuan yang berkelanjutan dalam membentuk SDM. Karena itu mereka tidak melihat berapa publikasi ilmiah, paten teknologi atau pemenang hadiah Nobel sains dari Standford University itu.
Sebenarnyalah, kualitas suatu perguruan tinggi utamanya ditentukan oleh tiga hal: kualitas riset (diukur dari karya tulis ilmiah & paten), kualitas belajar-mengajar (diukur dari kompetisi calon maba, rasio alumni per mahasiswa), dan kualitas pengabdian masyarakat (diukur dari kiprah kampus dalam melayani pelbagai issu terkini, baik di pemerintahan, dunia usaha maupun khalayak ramai).
Banyak kampus yang memiliki gedung dan fasilitas megah, namun ternyata nyaris tak memiliki aktivitas riset. Hal ini karena mayoritas dosennya memiliki aktivitas utama di luar kampus, sehingga hanya hadir saat mengajar, tak ada aktivitas riset. Sementara itu dosen tetap yang sehari-hari berada di kampus, kewalahan menghadapi mahasiswa yang sangat banyak. Selain itu, dosen-dosen tetap ini juga sulit mendapatkan peringkat yang lumayan, jika mereka rata-rata cuma S2, sebagian bahkan belum sempat mengurus jabatan fungsional akademiknya. (more…)