Mendengar berita kematian satelit ALOS yang diemail oleh Dr. Manasobu Shimada (ALOS Science Manager JAXA) hari ini tentu saja saya sangat bersedih.
Sebenarnya satelit ALOS yang telah beroperasi 5 tahun 3 bulan telah jauh melampaui life-design-nya yang semula hanya 3 tahun. Sebenarnya, jet-gas untuk manuver satelit ini masih cukup untuk beroperasi hingga 10 tahun. Namun kegagalan sistem power dari solar-cell-nya membuat komunikasi dengan satelit terputus, sehingga satelit itu tidak bisa dikendalikan lagi. Namun dalam kurun waktu 5 tahun 3 bulan itu, telah banyak yang kita peroleh, kita pelajari, kita rencanakan kembali.
Sebagian dari pelajaran itu adalah design yang sama sekali baru untuk ALOS-2 dan ALOS-3 nanti, yaitu dipisahkannya antara sistem optik dari sistem radar. Pada ALOS-1, 2 sensor optik (pan-stereo, XS) dan 1 sensor radar ada dalam satu platform. Namun pada prakteknya, mustahil mengoperasikan 3 sensor sekaligus, karena keterbatasan power, board-memory dan downlink-bandwidth.
Bakosurtanal mengenal ALOS sejak sebelum diluncurkan. Tahun 2005, proposal saya untuk “Generating & Updating of Topographic Map using ALOS-data”, dipilih mewakili Bakosurtanal untuk suatu Pilotproject antar instansi yang dikoordinir oleh LAPAN.
Tahun 2006, bersamaan dengan ISPRS-Symposium di Tokyo, saya mengunjungi RESTEC, yang ditunjuk JAXA mempromosikan ALOS ke negara berkembang. Ternyata meski waktu itu satelit sudah diluncurkan, tetapi masa comissioning masih membutuhkan waktu hingga data bisa keluar. Namun perkenalan saya langsung dengan RESTEC, yang dilanjutkan dengan kunjungan mereka ke Bakosurtanal, membuka mata mereka, bahwa potential user untuk ALOS yang sangat besar di Indonesia adalah Bakosurtanal. Akhirnya, selain kita bisa mendapatkan citra ALOS dari jalur LAPAN, kita bisa mendapatkan saluran ke-2, yaitu download langsung dari RESTEC. Beberapa peneliti dari LAPAN sendiri pernah memanfaatkan saluran ke-2 ini, karena ternyata saluran-1 terbilang lamban, karena data dikirim dengan DHL.
Bahkan, RESTEC pernah mengajak teknisi dari JAXA datang ke Bakosurtanal dan memasang software pengolah DEM khusus dari mereka di Bakosurtanal (saat itu di salah satu komputer ber-OS Linux di Balitka). Sayangnya software ini cuma diberi nyawa untuk 1 bulan, dan sayangnya juga, JAXA tidak berniat mengkomersilkan.
Tahun 2007, saya mencoba mengajukan proposal riset sendiri langsung ke JAXA, tentang korelasi citra optik (AVNIR) dan radar (PALSAR) dengan tujuan dapat mendeteksi dini kebakaran hutan dan tembus awan. Proposal ini di-acc dalam skema RA-2, di mana kita dapat citra gratis langsung download sendiri dari server JAXA selama 3 tahun, di mana tiap tahun sampai 50 citra. Sayangnya, kemudian saya dapatkan bahwa tidak ada satupun citra AVNIR yang benar-benar diambil pada saat yang sama dengan citra PALSAR. Lebih dari itu, ternyata dalam setahun, cuma ada 2 cycle (dari 8 cycle per tahun) citra PALSAR yang diambil dengan modus full polarimetry. Jadi akhirnya, cukup sulit untuk mewujudkan impian saya mendeteksi dini kebakaran hutan dengan main-main citra radar polarimetry yang tembus awan itu. Akhirnya jatah citra ALOS selama 2008-2011 itu saya bagi-bagi ke siapa saja peneliti yang membutuhkan, termasuk mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Setiap acara Seminar GeoCampus dari Balitka ke 10 perguruan tinggi di seluruh Indonesia saya promosikan data ALOS. Itupun, sampai passwordnya expired pada bulan Maret 2011, masih ada 70 citra yang tersisa, belum termanfaatkan.
Namun bagaimanapun saya banyak belajar. Gembar-gembor Dr. Makoto Ono dari RESTEC, bahwa ALOS dapat menyediakan peta topo skala 1:25.000 TANPA GCP, ternyata – mohon maaf – pepesan kosong! Semua contoh peta berbahan baku ALOS dari GSI (Bakosurtanal-nya Jepang), menggunakan GCP yang cukup massif, yang di Jepang memang sudah tersedia sangat merata.
Saya hanya dapat mengatakan bahwa untuk produksi peta RBI lengkap, ALOS PRISM+AVNIR cuma sanggup sampai skala 1:50.000.
Untuk 1:25.000, ALOS hanya dapat menyediakan update unsur planimetrisnya. Untuk juga dapat menyediakan data vertikal (DEM) dengan akurasi yang dibutuhkan pada skala 1:25.000, perlu investigasi yang cukup mendalam tentang pengaruh penggunaan dari berapa GCP dan/atau RPC, dikaitkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pengadaan GCP dan/atau RPC tersebut.
Data archive ALOS yang jutaan citra banyaknya masih dapat kita akses. Di Tokyo mereka sudah menyediakan satu lantai gedung yang luas dengan puluhan rak untuk menaruh data server – yang Januari 2007 itu masih kosong. Di Bakosurtanal, sejak 2011 yang masih dapat akses langsung (dalam skema RA3) adalah Dr. Ibnu Sofian.
Saya sendiri juga masih dapat akses ke archive tersebut melalui LAPAN, karena sejak 2010, saya ditunjuk menjadi WG2-chair, dengan fokus pada coastal studies & small-island research. Tahun ini, saya mendapat insentif riset kompetitif dari Ristek untuk mencari algoritma mendapatkan garis pantai MSL secara otomatis dari 2 citra ALOS (PRISM, AVNIR dan PALSAR) yang diambil pada 2 kondisi pasang surut yang berbeda.
Selama terlibat dengan ALOS ini saya sudah melakukan 4 kali perjalanan ke Luar Negeri, yakni 2 kali ke Jepang (1 ISPRS Symposium dan 1 Training Disaster Management berbasis Space Technology), 1 ke Rhodos Yunani (ALOS PI-Symposium) dan 1 ke Kona, Hawaii (ALOS PI-Symposium). Ada sejumlah paper lain yang ditulis bersama dengan peneliti Balitka yang dipresentasikan di tempat lain, seperti di Jerman, China dan Malaysia.
Semoga dalam beberapa tahun ke depan ini archive data ALOS tetap dapat memberikan banyak pengetahuan baru kepada kita tentang bagaimana sebaiknya mengelola lingkungan ini.
Dan semoga, tidak lama lagi, Indonesia juga dapat mengirim sendiri satelit Earth Observation dari Indonesia, yang dapat sepenuhnya kita gunakan untuk memantau lingkungan alam Indonesia, mengoptimasi pemanfaatan sumberdaya, mendeteksi bencana, menjaga kedaulatan dan mencerdaskan anak bangsa.
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Professor for Spatial Information System
National Coordination Agency for Surveys & Mapping
Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong – INDONESIA
Dr Ing Fahmi Amhar
KASUS perbatasan mencuat lagi. Oleh Malaysia hak-hak
perbatasan kita dilanggar. Sedang oleh Australia
nelayan-nelayan kita ditangkapi dan dituduh melanggar
batas laut teritorial Australia.
Setelah kisruh Sipadan-Ligitan dan perairan blok
Ambalat, kini muncul helipad (tempat pendaratan
helikopter) milik militer Malaysia hanya 7 meter dari
perbatasan di wilayah pehuluan Tanjung Lokang Kec
Kedamin Kab Kapuas Hulu. Keberadaan helipad ini
melanggar perjanjian Sosek Malindo 1967 yang tidak
memperbolehkan ada kegiatan kedua negara di sepanjang
2 kilometer dari patok batas kedua wilayah.
Sementara, Australia, telah memulangkan 50 nelayan
Indonesia ke Kupang NTT. Para nelayan itu merupakan
sebagian awak dari 24 kapal ikan Indonesia yang
ditangkap kapal-kapal patroli Australia.
Berdasarkan MoU 1974, nelayan tradisional Indonesia
memiliki akses penangkapan di zona khusus sebagaimana
tertera dalam peta yang disepakati kedua negara.
Kawasan itu antara lain adalah Kepulauan Karang Scott,
Seringapatam, Pulau Browse, Kepulauan Karang Ashmore,
Pulau Cartier dan perairan di sekitarnya.
Bagaimana seharusnya menentukan batas?
Yang termudah, antar-wilayah dibatasi (delimitasi)
oleh objek alam yang tajam – semisal jurang atau
palung. Kenyataannya, banyak batas yang didefinisikan
secara kabur. Jangankan batas wilayah, batas persil
tanah kita pun banyak yang kabur – dalam sertifikat
misalnya sering hanya tertulis: Batas Timur: tanah Bp
Todung; Batas Selatan: tanah Bp. Slamet; Batas Barat:
tanah Haji Bajuri dan Batas Utara: tanah Ibu Utari.
Kalau dikejar, persisnya batas tanah kita dengan tanah
sebelah itu apa? Selokan? Pohon pisang? Kalau tanah
seluas 100-200 meter persegi saja rumit, bayangkan
yang ribuan hektar!
Semua persoalan batas manapun harus dikembalikan pada
itikad baik kedua pihak yang berbatasan.
Mereka harus sepakat pada empat hal: (1) yang
dijadikan batas; (2) cara mengukurnya; (3) cara
mendokumentasikannya; (4) bagaimana mengenali kembali
batas itu di alam agar kesepakatan itu dapat
dihormati.
Pertama banyak hal bisa dijadikan batas. Yang termudah
adalah batas alam, umumnya garis pemisah air di
punggung pegunungan atau alur sungai terdalam. Di
laut, batas laut teritorial ditentukan 12 mil laut
dari garis pantai, kecuali bila lebar selat antar
negara tidak mencapai 24 mil, maka ditentukan garis
tengahnya. Selain itu, batas juga bisa dibuat hanya
dengan kesepakatan, misalnya berupa as jalan negara
sebagai batas dua kabupaten. Ada juga batas
disepakati dengan garis lurus pada lintang sekian atau
bujur sekian. Yang terakhir ini ada di Pulau Sebatik
Kabupaten Nunukan (Indonesia – Malaysia) dan di Papua
(Indonesia – Papua Nugini).
Kedua, setelah kedua belah pihak sepakat pada poin 1,
masalah berikutnya adalah tentang cara mengukurnya.
Batas alam jelas membutuhkan survei dan pemetaan yang
teliti. Untuk mendapatkan garis pemisah air yang
akurat, perlu peta-peta kontur (3-dimensi) minimal
skala 1:25.000. Pernah terjadi di suatu negara Arab,
titik-titik yang disepakati menjadi garis batas
digambar (delineasi) di atas peta yang lebih kecil
(skala 1:250.000). Akibatnya saat dibawa ke lapangan,
apa yang semula diduga pas di garis pemisah air,
ternyata di lereng. Tentu keenakan wilayah yang dapat
puncak bukitnya dan tidak enak bagi yang cuma dapat
lerengnya.
Hal yang sama terjadi bila batas itu adalah sungai.
Bila secara gegabah ditarik garis tengah sungai, bisa
jadi pada saat air surut, air itu berada hanya di satu
sisi saja, sehingga penduduk sisi yang lain yang mau
ke air harus ke ‘luar negeri’. Karena itulah maka
harus dilakukan survei hidrografi untuk mendapat
‘Talweg’ – yakni alur terendah di dasar sungai itu.
Menentukan batas pada jalan sekilas tampak lebih
mudah, tentu selama jalan itu tidak diperlebar ke satu
sisi saja. Sedang menentukan batas secara eksak
dengan lintang dan bujur semata, bisa-bisa menzalimi
penduduk lokal jika memisahkan komunitas mereka secara
sewenang-wenang.
Di luar ini semua, pengukuran batas sangat tergantung
instrumentasi yang digunakan. Bisa jadi, batas yang
dianggap sudah pasti, jika diukur lagi dengan alat
yang lebih canggih, didapatkan koordinat yang berbeda.
Ini terjadi di Pulau Sebatik pada pilar batas yang
sebenarnya tak pernah bergeser sejak zaman Belanda,
namun hasil ukur modern dengan GPS berbeda beberapa
puluh meter dengan data pengamatan astronomi jaman
dulu yang ada dalam lampiran perjanjian
Inggris-Belanda. Garis pantaipun tergantung bagaimana
definisinya. Di laut ada pasang-surut.
Ketiga, taruhlah sekarang kedua belah pihak telah
sepakat menggunakan objek batas dan alat ukur yang
sama. Bagaimana mereka akan mendokumentasikan batas
itu sebagai dokumen antar-negara yang didepo di PBB?
Mereka harus membuat dokumen yang berisi peta
topografi yang mencakup wilayah di kedua negara
sepanjang garis batas, daftar koordinat titik-titik
batas dan tanda tangan pengesahan kedua belah pihak.
Peta topografi tersebut harus seragam dalam tiga hal,
yaitu: (a) sistem koordinat, datum dan bidang
proyeksi; (b) klasifikasi objek yang sama; dan (c)
simbolisasi yang sama. Tiga hal ini perlu banyak
kompromi untuk mewujudkannya. Sebagai contoh:
peta-peta rupabumi Indonesia yang dibuat Bakosurtanal
pada umumnya menggunakan koordinat geografis, datum
WGS-1984 dan proyeksi Universal Transverse Mercator,
sedang Malaysia menggunakan datum dan proyeksi yang
berbeda. Klasifikasi sawah di Malaysia juga berbeda
dengan Indonesia yang mengenal sawah irigasi dan tadah
hujan. Sedang pola arsiran maupun warna jelas semua
beda. Walhasil, menggabungkan kedua peta topografi
agar menjadi satu peta perbatasan jelas butuh
perjuangan tersendiri. Ini ditambah dengan persyaratan
bahwa semua legenda peta harus bi-lingual dari
masing-masing negara ditambah bahasa Inggris sebagai
bahasa PBB.
Keempat, kalau masalah peta sudah beres, kini masalah
implementasi di lapangan. Peta dan dokumen perbatasan
hanya akan disimpan di tempat-tempat terhormat. Yang
harus ada di lapangan adalah tanda-tanda, yaitu pilar
atau pagar (baik dari kawat berduri ataupun dari
beton) seperti di Israel atau di zaman perang dingin
dulu. Pilar-pilar ini biasanya dibuat dalam jumlah
yang cukup, yang jaraknya satu dengan yang lain
memungkinkan saling melihat. Sedang di laut, karena
tidak mungkin membuat pilar, yang bisa dilakukan
adalah mengandalkan alat navigasi GPS. Untuk kapal
dengan peta elektronik, alat bahkan dapat diset untuk
langsung memberi alarm bila sudah mendekati
perbatasan.
Kalau semua berjalan baik, tentu kasus helipad
Malaysia atau nelayan Indonesia yang ditangkap di
Australia tak akan terjadi. Masalahnya, belum semua
segmen perbatasan dengan kedua negara itu telah
ditegaskan dan diratifikasi. Sebagian patok batas kita
dengan Malaysia ada yang baru klaim sepihak – artinya
belum diakui oleh Malaysia. Di antara patok-patok
batas itu ada yang dengan mudah dapat dipindahkan oleh
para pelaku illegal logging untuk memudahkan mereka
melarikan diri bila aksi-aksinya terdeteksi aparat.
Demikian juga dengan peta-peta laut Australia – yang
boleh jadi masih berbeda dengan peta-peta laut
Indonesia – terutama dalam hal garis Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE). Yang jelas, pemerintah memang harus
lebih serius dalam menegaskan batas – terlebih yang
antar-negara.
(Penulis adalah Peneliti Utama, Bakosurtanal)-n
http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=166973&actmenu=45
proceeding Geomatics Research Forum
Elyta Widyaningrum, Fahmi Amhar, Dodi Sukmayadi, Harry Ferdiansyah
Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi & Tata Ruang
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
contact: elyta_widya@yahoo.com
Abstrak:
Dalam rangka ‘1st Geospatial Technology Exhibition’ di Jakarta Convention Center pada 23-27 Agustus 2006, Pusat Pemetaan Dasar Rupabumi dan Tata Ruang membuat pijakan kaki atau footstep bagi para pengunjung sepanjang kurang lebih 30 meter. Layaknya “karpet merah” pada pagelaran-pagelaran bergengsi, footstep bertema geospasial ini dibuat untuk memberi perkenalan singkat proses perjalanan data geospasial dari citra menjadi peta, sekaligus memberi gambaran tak terputus tentang data spasial dari bagian barat pulau Jawa hingga sebelah timur Madura. Tulisan singkat ini akan menceritakan proses pembuatan footstep tersebut.
Pendahuluan:
Tuntutan yang diberikan atas tim footstep cukup berat: menyiapkan suatu set variasi data spasial yang sekaligus meliputi suatu daerah memanjang sehingga cukup untuk dicetak dalam suatu lembaran dengan ukuran kurang lebih 1 meter x 30 meter.
Data spasial yang tersedia di Pusat PDRTR dan dipakai dalam berbagai proses pembuatan peta cukup banyak, dari foto udara yang dapat discan, data IFSAR (ORI & DSM), Landsat, SPOT, Aster, Ikonos, Quickbird, Radarsat, DEM dari SRTM, hingga peta-peta rupabumi digital, peta RBI cetak berbagai skala dan sebagainya.
Namun untuk mendapatkan berbagai data itu dalam satu kesinambungan (seamless) area yang membentang tanpa terputus, agak sulit. Keadaan Indonesia yang berpulau-pulau serta letak pulau-pulau yang tak tepat membentang dari barat ke timur atau dari utara ke selatan, membuat pilihan yang ada tidak terlalu banyak.
Andai seluruh data yang ada sudah tersimpan dalam sistem basis data spasial yang seamless, mestinya tidak terlalu sulit untuk menarik data yang terletak miring misalnya dari Aceh hingga Lampung, atau dari Anyer hingga Banyuwangi serta langsung ditransformasikan sehingga menjadi bentuk memanjang yang diinginkan.
Namun ketika sebagian besar data masih tersimpan secara sheetwise, mau tidak mau hanya data yang terletak dalam satu garis yang dapat diproses lebih lanjut. Dari itu didapatkan bahwa data yang paling memenuhi syarat adalah data 1:25.000 dari Pelabuhan Ratu di Jawa Barat memanjang lurus ke timur hingga pantai timur pulau Madura.
Pada kawasan terpilih ini, berbagai variasi medan akan terwakili, dari pantai, gunung, hutan, desa maupun kota, baik di tengah seperti Bandung maupun di tepi seperti Semarang dan Surabaya.
Jenis data spasial yang tersedia di kawasan ini sebenarnya sangat beragam. Hampir seluruh peta di kawasan ini dibuat dari foto udara 1:30.000 atau 1:50.000. Sebagian juga sudah diupdate dengan citra IFSAR, SPOT, Aster atau Quickbird. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya hanya dipilih empat jenis data, yaitu: citra komposit Landsat 7 ETM+ band 543 resolusi 15m, DEM dari SRTM (Shuttle Radar Topographic Mission) resolusi 90 m, data vector peta rupabumi digital 1:25.000 dan data scan peta RBI cetak skala yang sama.
Ukuran footstep didasarkan pada muka peta RBI 1:25.000 yaitu sekitar 56 x 56 centimeter tiap lembarnya. Karena kawasan terpilih terdiri dari 2 x 63 nlp, maka panjang footstep menjadi sekitar 35 m dan lebar sekitar 1 m.
Agar cerita proses kreatif “perjalanan dari citra menjadi peta” mudah dipahami, diputuskan untuk merangkai data tersebut dari barat ke timur dalam urutan sebagai berikut:
Sebelum citra Landsat dipotong, dilakukan perhitungan posisi potongan dengan mengacu pada index Nomor Lembar Peta RBI 1:25.000. Batas pemotongan disimpan dalam vector file (misal shp atau dxf).
Pemotongan dilakukan dari citra yang telah dimozaik berdasarkan batas yang telah dibuat. Untuk proses ini digunakan software GlobalMapper™ yang mampu mengolah data vector dan raster secara bersamaan.
Setelah dipotong, data disimpan dalam file yang bergeoreferensi (misal GeoTiff). Ukuran citra yang akan ditampilkan kurang lebih 7 meter (13 NLP).
Proses pemotongan pada bagian ini harus memperhatikan posisi akhir citra Landsat. Data DEM SRTM ditampilkan dalam dua warna yaitu: multicolor (rainbow) dan hillshading. Warna rainbow dapat memberi efek 3D bila dilihat dengan kaca mata khusus. Sedang warna hillshading dipakai selanjutnya sebagai latar belakang vektor peta RBI digital. Proses ini juga menggunakan software GlobalMapper™.
Pada mulanya, data vektor peta RBI ada dalam koordinat UTM dan untuk kawasan terpilih ini ada 2 zone (48 dan 49). Untuk dapat digabung dengan data Landsat dan SRTM, maka seluruh data harus ditransformasi ke koordinat geografis. Proses ini juga dengan mudah dapat dilakukan dalam software GlobalMapper™.
Data vektor peta RBI dibagi dalam tujuh bagian tema utamanya. Masing-masing bagian berisikan 2 x 5 NLP (atau 1 x 2,5 m) sehingga total panjang data adalah 2 x 35 NLP (1 x 17,5m). Adapun tampilan dari masing-masing bagian adalah:
Bagian pertama menampilkan kontur saja.
Bagian kedua menampilkan kontur dan hidrografi (danau, sungai, pantai).
Bagian ketiga: kontur, hidrografi dan jaringan perhubungan (jalan, rel kereta api, transmisi tegangan tinggi).
Bagian keempat: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan dan batas penutup lahan (vegetasi, permukiman).
Bagian kelima: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan serta objek-objek gedung dan bangunan.
Bagian keenam: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan, objek-objek gedung dan bangunan dan nama geografis (toponimi).
Bagian ketujuh: kontur, hidrografi, jaringan perhubungan, batas penutup lahan, objek-objek gedung dan bangunan, nama geografis dan batas administrasi.
Penentuan nomor-nomor lembar peta yang terlibat dilakukan dalam software ArcView™ dengan mengoverlay indeks peta RBI 1:25.000 di atas peta garis pantai pulau Jawa. Data pada kawasan terpilih diaktifkan kemudian dilihat pada tabel. Tabel ini kemudian diekspor ke MS-Excel™ untuk dibuat batch-script untuk mengcopy file-file yang dibutuhkan.
Data scan peta RBI cetak yang digunakan hanya 2 x 2 NLP (atau sekitar 1 x 1 meter). Data scan peta terkadang memiliki warna yang kurang homogen antara satu dengan lainnya, tergantung pada kualitas scanning dan kondisi kertas. Data scan ini harus diregistrasi agar memiliki referensi yang sama dengan data lainnya, lalu disimpan pada format yang sesuai (GeoTiff file).
Dengan demikian, secara keseluruhan terdapat 10 bagian data dengan jenis yang berbeda.
Seluruh data raster tersimpan dalam format GeoTiff, sedang data vektor pada umumnya tersimpan dalam format DXF. Setelah penggabungkan secara geometris, langkah terpenting selanjutnya adalah “melebur” data vektor itu ke dalam raster. Pada software GlobalMapper™ hal ini dilakukan dengan menu GeoTiffExport. Yang perlu diperhatikan adalah “sample spacing”-nya. Resolusi yang sesuai dengan skala peta 1:25.000 mestinya adalah 2,5 meter. Namun karena footstep ini akan dibaca orang sambil berdiri (4-5x jarak baca), maka demi menghemat ukuran file, diputuskan untuk memakai ukuran resampling 10 meter. Pada ukuran ini yang akan mengalami penuruan kualitas terutama adalah teks, baik pada data vektor peta RBI maupun pada data scan peta RBI cetak. Idealnya memang untuk teks ada perlakukan khusus.
Agar data yang sangat besar ini dapat diolah lebih lanjut dengan software pracetak, yakni AdobePhotoshop™ dengan daya tampung file yang terbatas (maksimal cetak 10 meter), maka terpaksa data gabungan inipun masih dipotong-potong lagi menjadi beberapa bagian siap cetak. Dalam berbagai kasus, sepertinya AdobePhotoshop™ juga mengalami masalah bila vektor yang dirasterisasi terlalu kompleks.
Dengan dipotong-potong, timbul masalah pada saat printing, sebab tiap selesai mencetak satu bagian, printer otomatis akan membuat jarak sebelum memulai mencetak bagian yang baru. Tanpa software yang memadai untuk cetak, diperlukan pengaturan manual yang presisi, agar atas data yang berkesinambungan ini, tidak muncul gap-gap semacam itu.
Gambar 2: Foto footstep dalam penggunaan di pameran IGTE di arena JCC
Adobe System (2002): Photoshop 7 Manual
Bakosurtanal (2003): Spesifikasi Pemetaan Rupabumi Indonesia.
Global Mapper (2005): On-line Manual
Acknowledgement
Ucapan terimakasih kepada PT Datascripp yang memfasilitasi cetak footstep sehingga dapat menjadi milestone kemampuan kedua pihak – Bakosurtanal untuk data spasial, dan Datascripp untuk percetakan.