Apa hobby Anda?
Apa pekerjaan Anda?
Apa pendidikan Anda ?
Apa cita-cita Anda ?
Apakah hobby Anda relevan dengan pekerjaan Anda? Sejauh apa?
Kadang orang sengaja mencari hobby yang sama sekali berbeda dengan pekerjaan. Katanya biar bisa punya dunia yang berbeda. Biar ada keseimbangan. Pekerjaannya dosen matematika, hobbynya menciptakan puisi. Pekerjaannya dokter spesialis kandungan, hobbynya karate. Pekerjaannya peneliti kimia anorganik, hobbynya main piano, bahasa asing, dan olahraga menembak.
Sebaliknya ada yang sengaja mencari hobby yang dekat dengan pekerjaan. Alasannya, sebenarnya dia tidak ingin merasa bekerja, dia ingin punya hobby yang menghasilkan. Pekerjaannya survey, hobbynya fotografi. Dia bisa mencari objek fotografi di manapun dia ditugaskan survey. Pekerjaannya kolumnis media, hobbynya travelling. Jadilah dia pengembara sambil membuat tulisan travelling. Pekerjaannya pedagang, hobbynya berdakwah. Jadilah setiap orang yang melihat-lihat barang dagangannya diajak ngobrol-ngobrol untuk menyebarkan pemahaman keagamaannya.
Asal muasal seseorang memiliki hobby memang beraneka ragam. Dan hobby pun berubah-ubah tergantung peluang dan tuntutan keadaan, juga bacaan, teman-teman dan lingkungan. Apa hobby pertama Anda, adik Anda atau anak Anda ? Anak kecil kalau ditanya hobby biasanya menjawab “bernyanyi”, “menggambar”, atau “bermain bola”. Agak besar sedikit akan menjawab “membaca”, “nonton kartun”, atau “main computer-games”. Mungkin tidak banyak yang menjawab hobby “memasak”, “main sepatu roda akrobatik” atau “astronomi”.
Hobby adalah aktivitas “mengisi waktu senggang” yang ditekuni untuk beberapa lama, sehingga dalam beberapa hal menjadi habbit juga. Batasan menekuninya adalah tiga tahun terus menerus. Kalau aktivitas senggang itu dilakukan 1 jam per hari, maka tiga tahun kira-kira sudah 1000 jam. Memang belum bisa melahirkan seorang expert (yang ini perlu 10000 jam! dan biasanya tak lagi kelas “hobby”, tapi “profi”), tetapi jelas hobbyist sudah lebih mahir dari orang yang mencoba sekali-sekali. Hobbyist sepatu roda tidak hanya main sepatu roda ketika teman-temannya lagi musim main sepatu roda. Dia akan mengembangkan kemampuannya sampai bisa melakukan banyak sekali hal dengan sepatu rodanya itu. Ada hobby astronomi yang benar-benar memiliki reputasi tinggi di dunia astronomi, lebih dari orang yang memang profesinya astronom. Pekerjaan tetapnya sendiri malah jualan di toko atau sopir. Demikian juga ada hobby hacker (penjebol jaringan komputer), yang pendidikan dan profesinya malah astronom, bukan IT. Dunia sudah campur aduk.
Ketika saya SD, saya memulai hobby koleksi perangko (filateli). Dan ternyata hobby ini saya bawa sampai saya kuiliah di Luar Negeri. Sekarang hobby ini sudah sangat jarang saya sentuh lagi, apalagi teknologi sekarang sudah berganti dengan sms dan email. Tapi ada tahun-tahun ketika banyak orang yang saya kenal saya tanya apakah mereka memiliki perangko bekas? Sebagian ternyata bahkan juga kolektor, sehingga kami barter koleksi. Saya pernah memiliki sampai 20 album perangko dari seluruh dunia. Hebatnya, nyaris tidak ada perangko yang beli. Semua didapatkan dari tukar menukar dan dari hadiah. Teman, saudara, atau temannya saudara yang tahu saya punya hobby filateli sering membawa oleh-oleh perangko bekas ketika mereka ke luar negeri. Setiap melihat koleksi itu, saya teringat dengan sosok baik hati yang menjadi jalannya. Saya belajar melepas perangko itu dari amplopnya dengan merendamnya di air lalu mengeringkannya di tempat teduh, merawatnya dengan memberi tepung, memasukkannya dalam album, atau membuatnya hiasan yang menarik, misalnya dalam sebuah pigura atau vas bunga. Saya juga belajar banyak negara di dunia dari perangko. Bahkan, ketika saya masih SD, saya sudah tahu bahwa OSTERREICH adalah Austria, HELVETICA adalah Swiss, CCCP adalah Soviet. Dan perangko yang tidak ada nama negaranya hanyalah perangko Inggris!
Selain perangko, saya pernah juga mengumpulkan kartu telepon (phonecard), uang coin, uang kertas yang sudah tidak laku, dan kertas surat. Tetapi ternyata yang ini tidak berkembang seperti halnya perangko. Mungkin karena ilmu yang didapat berbeda. Waktu itu saya tidak berpikir bahwa boleh jadi, semua koleksi ini suatu saat akan menjadi investasi yang sangat mahal. Saya melakukannya karena mengasyikkan saja.
Setelah itu, saya pernah punya hobby elektronika. Ini sejak kelas 1 SMP. Di sekolah memang ada pelajaran ketrampilan elektronika, tetapi yang membuat elektronika menjadi hobby adalah seorang teman saya. Ternyata dia sejak SD sudah memiliki hobby itu. Asyik sekali melihat seorang anak SMP sudah bisa membuat alarm maling sendiri, handy talky sendiri, bahkan pemancar radio sendiri. Pemancarnya bahkan saat itu begitu kuat, sehingga kalau mau, radio lain bisa di-jam di area satu desa. Dan itu tahun 1980! Saya meminjam buku-bukunya untuk disalin (karena saat itu fotocopy masih relatif mahal), lalu sejak itu tertarik mengklipping rubrik elektronika dari suatu surat kabar. Kemudian mencoba sendiri. Dengan sembunyi-sembunyi, saya membeli AVO-meter sendiri dengan tabungan saya seharga Rp. 10.000. Kalau Ibu saya tahu uang sebanyak itu untuk beli AVO-meter, saya mungkin akan sangat dimarahinya. Uang itu seharga emas 1 gram saat itu. Kalau tak salah, saat itu gaji guru anyar masih Rp. 25.000 !
Rupanya hobby elektronika itu memupuk bakat saya sebagai peneliti. Sepulang sekolah, saya betah asyik duduk berjam-jam merangkai berbagai komponen, menyoldernya, lalu mencobanya sambil ukur sana-sini. Dan ini bisa saya lakukan sambil menjaga warung sembako ibu saya. Saya terinspirasi kisah Thomas Alva Edison yang membuat “lab” di gerbong kereta api yang berjalan, tempat dia berdagang asongan.
Saya mencoba mengembangkan amplifier model baru, radio mini yang dimasukkan tempat sabun, lampu “peramal” (karena setelah dibacain “mantra” lalu bisa kelap-kelip), juga mencoba membuat kompor listrik efisiensi tinggi, alat stimulator ikan (dengan memasukkan strom aneka tegangan dan frekuensi ke akuarium), dan sebagainya. Kendalanya saat itu, banyak komponen elektronik yang tidak bisa didapat di kota kecil Magelang. Lebih dari itu, di Magelang sangat sulit mencari mahasiswa teknik elektro yang bisa ditanya-tanya … Namun hobby itu bertahan cukup lama. Sewaktu di Austria, saya sangat menyadari kalau tenaga service di sana sangat mahal. Ketika komputer saya rusak, saya merasa lebih menguntungkan membeli buku dan perlengkapan service komputer, lalu perbaiki sendiri! Sampai sekarangpun, meski akhirnya saya menjadi profesor sistem informasi spasial, saya masih terobsesi untuk kembali menciptakan alat-alat elektronik unik yang siapa tahu bisa dipatenkan dan lalu diproduksi massal oleh perusahaan elektronik kelas dunia milik umat … 🙂
Di SMP pula, saya mendapat motivasi seorang guru Bahasa Indonesia yang inspiratif. Guru itu menyuruh anak-anak bikin Majalah Dinding. Isinya diharapkan orisinil, bukan klipping, bukan nyalin … Dan saya mulai merasakan asyiknya menulis sebuah “kisah-kisah lucu di kelas” atau “fantasi anak SMP”. Saat di kelas 3 SMP, tulisan saya yang paling pertama, sebuah Cerpen Petualangan, muncul di Majalah Remaja Zaman (anak majalah Tempo). Saya dapat honor Rp. 25.000. Saya sujud syukur. Kalau anak sekarang mungkin akan koprol sambil bilang Wow ! 🙂 Uang itu hampir sama dengan gaji sebulan guru saya ! Saya jadi semakin punya keyakinan, bahwa menulis adalah sebuah hobby yang harus saya kuasai dengan baik, karena bisa untuk gantungan hidup saya kelak. Saya menulis puisi, novel, features, reportase kegiatan sekolah, juga mengikuti puluhan lomba mengarang / menulis ilmiah. Apalagi saat itu saya sudah lancar mengetik. Lomba Karya Tulis Ilmiah yang pertama kali saya menangkan adalah Lomba tingkat Nasional yang disponsori Cerebrovit. Hadiahnya Rp. 250.000 ! Itu tahun 1983, saya masih kelas 3 SMP. Judul KTI saya “Pengaruh Hobby pada Kesehatan Mental Remaja”. Sumber literaturnya: majalah-majalah “Dunia Hobby” yang dibeli di tukang loak. Heran ya, kenapa majalah sebagus itu sekarang sudah tidak terbit lagi …
Tahun 1992, cerita bersambung saya muncul di Majalah Sabili. Judulnya “Expedisi ke Bosnia”. Waktu itu Perang Bosnia lagi ramai-ramainya. Tetapi tokoh cerita saya belum syahid, majalah itu “syahid” duluan. Tiarap, dan baru bangun lagi setelah Reformasi 1998. Tetapi menurut Pemrednya, cerbung saya sempat mengangkat tiras Sabili cukup signifikan. Itu salah satu jejak kesusasteraan saya … he he … Sayang hingga 20 tahun setelahnya, ternyata masih banyak obsesi tulisan yang belum juga terwujud. Banyak plot cerita yang telah saya susun sejak 30 tahun yang lalu yang ternyata belum jadi buku. Pada kurun waktu yang sama, Hilman sudah membuat seratus atau lebih novel dan film LUPUS. Andrea Hirata sudah menyalip dengan meluncurkan tetralogi Laskar Pelangi yang national best seller. Dan J.K. Rowling sudah menjadi orang terkaya di Inggris setelah menyelesaikan 7 epics world bestseller Harry Potter. Hidup memang tidak linear …
Di SMA saya mendapat mencoba mainan baru: sebuah kamera. Ini berani beli karena saya sudah punya tabungan hasil mengarang. Kamera saya pertama hanyalah Fujica M-1, kamera dengan lensa fokus fix 1 meter sampai tak terhingga, diafragma konstan pada angka 8 dan speed konstan pada angka 1/100 detik. Artinya ya hasilnya tidak bisa tajam-cemerlang. Harganya waktu itu Rp. 15.000. Lumayanlah untuk main-main. Walaupun mahal juga, karena mesti beli film, lalu cuci cetak foto. Saya membaca buku-buku fotografi. Bahkan sempat bikin kamar gelap untuk mengolah sendiri film dan mencetak foto. Kadang bermain dengan film hitam putih atau film positif (slide). Ternyata, meski kamera sederhana, kalau digunakan dengan cara-cara istimewa, hasilnya bisa istimewa pula. Tetapi memang kamera ini ada keterbatasannya. Akhirnya, dua tahun kemudian, saya membeli Ricoh RX-1 yang fokus, speeed dan diafragmanya bisa diatur, cuma lensanya belum bisa diganti. Di sekolah dan di kampung, saya sering didapuk menjadi tukang foto acara atau seksi dokumentasi. Banyak teman yang kakaknya menikah, mengundang saya menjadi fotografernya. Jadi walaupun kameranya belum SLR, hasilnya sering bisa menjadi “alternatif”. Pada berbagai acara di pesta di dalam ruangan, saya sering bereksperimen dengan pemotretan tanpa lampu blitz. Hasilnya, lebih indah dari semua kamera yang lain. Di sekolah, saya membuat kartu ucapan dengan latar belakang foto-foto unik bidikan saya.
Ketika saya ikut seleksi beasiswa ke Luar Negeri, semula saya berminat pada jurusan Fisika Nuklir atau Teknik Elektro. Tetapi kemudian saya dipindah ke Teknik Geodesi. Hal yang semula tidak begitu saya tahu. Tetapi ketika saya temukan bahwa salah satu yang dipelajari di geodesi adalah ilmu fotogrametri, maka saya jadi tertarik. Hobby fotografi saya akan tersalurkan! Dan benarlah. Fotogrametri adalah fotografi yang diolah secara matematis yang dieksekusi dengan programming komputer tingkat tinggi. Saya lalu membeli kamera Yashica SLR dengan 2 lensa tele dan banyak varian filter. Mantap. Benar-benar seperti profi lah. Kalau pergi-pergi survei ke atas gunung, meski sudah berat membawa instrumen survei (teodolit, statif), masih ditambah kamera SLR satu tas! Ketika zaman beralih ke digital, rasa-rasanya hobby ini mau meledak. Terlalu banyak yang sekarang bisa difoto tanpa keluar biaya lagi !!! Tapi membawa SLR kemana-mana memang kurang praktis. Akhirnya saya membawa kamera pocket yang cukup bagus (sekarang Canon, sebelumnya Nikon) yang hampir selalu ada di ikat pinggang atau di ransel saya. Saya membuat koleksi foto tempat-tempat unik yang pernah saya kunjungi, juga flora, wajah anak-anak yang lucu, kuliner, bahkan ujud teknologi atau poster di pinggir jalan yang jarang kita lihat. Kalau saya ada urusan ke suatu kantor, lalu ada dokumen yang menarik, saya dengan cepat akan memutuskan memotretnya. Walaupun itu 100 halaman! Jauh lebih cepat daripada pergi ke tukang foto copy, dan belum tentu dokumen itu boleh dibawa keluar kantor. Bahkan, kalau saya sedang didaulat untuk jadi pembicara seminar, sambil mendengarkan peserta bertanya, saya sering iseng memotret wajah audiens. Orang-orang sering heran melihat seorang penceramah memotret audiensnya … 🙂 Ingin saya menyeleksi isi gudang foto jepretan saya itu untuk mendapatkan foto-foto terunik buat diikutikan kontes fotografi. Tetapi rupanya aktiivitas saya yang lain masih banyak menyita perhatian.
Terus sejak kapan saya hobby “ngomong” ? Hobby saya berbicara di depan publik, saat ini sangat membantu saya dalam berdakwah maupun mengajar. Dan ini ternyata juga bermula di masa SMP. Sesungguhnya ketika saya masih duduk di SD, saya cenderung pemalu dan penakut. Teman-teman suka “mem-bully” saya, dan saya kadang mengadu kepada guru sambil menangis. Tetapi di masa SMP, di masjid kampung, saya bertemu seorang mahasiswa yang inspiratif. Dia yang aktivis HMI ini memprovokasi anak-anak ababil (anak baru labil) ini untuk jadi lebih militan, dengan dasar Islam, “awas, Islam sedang dipinggirkan”. Mungkin mahasiswa ini kalau sekarang bisa dianggap “provokator Rohis & pintu masuk Teroris” … Waktu itu Orde Baru sedang perkasa-perkasanya, dan Ali Murtopo adalah intel yang menjadi Menteri Penerangan “Yang Maha Kuasa” … :-).
Di masjid itu bersama sejumlah anak-anak sebaya, saya ditantang untuk berani pidato di mimbar. Apa yang saya dapat di luar sekolah itu seakan berresonansi dengan aktivitas di sekolah. Saya didaulat untuk mengikuti latihan Patroli Keamanan Sekolah (PKS) di Polres, lalu menularkan ke sejumlah adik kelas di sekolah. Jadi, masih di kelas 3 SMP, saya sudah “mengajar”. Akhirnya sikat aja … Di SMA ini berlanjut. Yang namanya hobby tidak bisa dibendung. Terus sampai kuliah bahkan sampai kerja. Meyakinkan orang atau berbicara di muka umum dengan ide yang lebih segar sudah menjadi panggilan. Kalau tak ada yang berani maju mengisi kultum, ya saya maju saja! Kalau yang khutbah mendadak absen, ya saya menyediakan diri jadi “Khatib tembak” … Pokoknya kita terus mengupgrade diri dan mempersiapkan diri. Lama-lama, bagaimana mengartikulasikan pikiran dengan runtut, tertata, sistematis, menjadi habbit. Akhirnya kalau mengajar juga rapi. Seminar juga rapi. Training juga rapi. Tema boleh gonta-ganti apa saja, isi semua rapi. Kecuali kalau pesanannya salah atau miskomunikasi. Pesan nasi uduk, eh yang dihidangkan malah bubur ayam. Heran juga itu, nasi sudah menjadi bubur, koq malah dijual … he he … 🙂
Jadi, hidup yang memang yang ideal itu memang harus menggabungkan antara HOBBY, PROFESI, dan OBSESI menjadi satu rangkaian. Semua saling mendukung. Apalagi kalau ditambah MENGHASILKAN … he he … Kalau sekedar profesi tanpa obsesi, monoton, tidak ada strongwhy untuk bersabar meraih kemajuan. Sedang tanpa hobby, profesi apapun lama-lama benar-benar bikin bete. Apalagi tidak menghasilkan, wah apes bener … 🙂
Sebagai pejabat struktural, saya kali ini harus mengisi form Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) anak buah saya yang 19 orang. Ternyata mengisi DP3 ini ada “tradisi” yang cukup unik. Saya kira tradisi ini merata di seluruh lembaga pemerintah.
Pertama, kolom kesetiaan, nilainya harus 91 ke atas (amat baik), karena kalau kurang, orang akan diragukan kesetiaannya. Kesetiaan pada siapa? Tentu saja pada Pancasila! Jadi biarpun kita tahu, ada staf yang bikin “kantor dalam kantor”, atau tiap hari kerjaannya lebih banyak ngerumpi, tetap saja harus nilainya minimal 91. Mungkin kesetiaan pada institusi dianggap tidak berhubungan dengan kesetiaan pada Pancasila.
Kedua, kolom kepemimpinan, hanya boleh diisi untuk yang menjabat struktural. Jadi biarpun ada staf yang sangat piawai memimpin tim survei atau sukses jadi ketua panitia seminar internasional, selama dia tidak menyandang jabatan struktural, kolom itu tidak boleh diisi. Padahal kalau dipikir-pikir, kalau kita sedang mencari calon pejabat struktural, mestinya ya selain mempertimbangan Daftar Urut Kepangkatan (DUK), kita juga melihat nilai kepemimpinan ini. Dan juga, jika kita merujuk PP no 10/1979 pasal 4 ayat 3, di situ disebutkan, “Usur kepemimpinan dinilai bagi PNS yang berpangkat Pengatur Muda golongan ruang II/a ke atas yang memangku suatu jabatan”. Coba dipikir, mana ada golongan II/a yang memangku jabatan. Eselon terrendah yaitu eselon V, minimal dijabat oleh golongan III/a. Jadi terus jabatan dalam PP tadi jabatan struktural apa? Kalau non struktural, seperti jadi ketua tim atau ketua panitia, tentu masuk akal.
Ketiga, nilai tahun ini tidak boleh lebih rendah dari tahun lalu. Wah ini yang paling susah. Kadang-kadang, nilai tahun lalu sudah “terlalu tinggi”. Apalagi kalau ganti job-desc atau ganti pejabat, dan pejabat sebelumnya mempersilakan staf untuk mengisi sendiri nilainya. Bisa saja tahun lalu misalnya, tanggung jawab diisi 95 (amat baik), padahal sekarang faktanya, banyak yang “adakalanya terlambat melaksanakan tugas atau tepat pada waktunya tapi kurang lengkap” – sehingga harusnya nilainya hanya “cukup” (61-75) saja, atau bahkan “ada kalanya meninggalkan tempat tugasnya” dengan nilai sedang (51-60). Jadi gimana ya?
Katanya sih DP3 ini hanya formalitas belaka. PNS bisa naik pangkat otomatis setiap 4 tahun sekali selama seluruh angka DP3 minimal “baik”. Tapi buat apa bikin aturan seperti ini, jika tradisi kita tidak sejalan dengan jiwa peraturan itu ya? Akibatnya ada juga PNS yang ditunda-tunda kenaikan pangkatnya, padahal semua DP3-nya baik. Mungkin karena atasan yang berwenang tidak suka dengan PNS tersebut, jadi dipending saja berkas kenaikan pangkatnya. Dan seperti biasanya, tidak ada penjelasan yang resmi. Kita ini mungkin bangsa yang paling menderita sindrom kompleks: “informal-formalism” — semua maunya formal, tetapi yang terjadi dan yang sesungguhnya berkuasa adalah kekuatan informal dan paham informal.
Apa pendapat anda?