Sejak teknologi memungkinkan orang-orang Islam bisa menjelajah ke segala penjuru bumi dengan mudah, ada sejumlah fiqih ibadah yang perlu dipikirkan ulang, perlu ijtihad – meski ada kaidah bahwa dalam ibadah tidak ada ijtihad. Misalnya:
1. Sahkah syahadat (bagi muallaf) tanpa disaksikan seorang muslim, tetapi hanya dibimbing oleh software atau website atau paling jauh via skype.
2. Bagaimana cara berwudhu, menentukan waktu sholat dan qiblat bagi seseorang yang berada di pesawat antar benua, atau di stasiun ruang angkasa, atau berada di pos pengeboran minyak di lingkar kutub ? Bagaimana adzan yang menggunakan pengeras suara atau radio ? Bolehkah mengikuti sholat dengan imam yang terjangkau dengan televisi ? (more…)
Simulasi Hitungan Subsidi BBM
Prof. Dr. Fahmi Amhar
Percayakah anda dengan pernyataan Pemerintah bahwa subsidi BBM sudah sangat besar, sehingga sudah saatnya membatasi BBM bersubsidi yaitu Premium hanya ke mobil pelat nomor kuning dan sepeda motor? Sudahkah rasa ingin tahu anda begitu besar sehingga mendorong untuk menghitung ulang sendiri besaran subsidi BBM saat ini? Tulisan ini hanya salah satu usaha seorang intelektual (meskipun boleh saja dianggap awam di bidang ekonomi perminyakan) yang ingin rasa tahunya terpuaskan.
Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu, tentu saja kita harus berangkat dari pengetahuan dasar dan data ekonomi perminyakan terakhir.
Sebagai pengetahuan dasar, kita harus paham satuan-satuan energi. Untuk minyak mentah kadang dihitung dengan barrel, sedang minyak siap pakai (BBM) kadang dihitung dengan liter. 1 Barrel adalah sekitar 1 drum, dan untuk minyak mentah itu adalah 158,9873 liter, dan sebaliknya 1 kiloliter = 6,2893 barrel. Untuk gas alam (LNG) kadang diukur dengan kaki kubic (cubic feet), atau trilyun standar kaki kubic (TSCF). Satu CF adalah 28,3168 liter atau 0,1781 barrel. Tapi karena kandungan energi gas berbeda dari minyak, maka untuk mudahnya digunakan satuan “Setara Barrel Minyak” (SBM) atau Barrel Oil Equivalent (BOE). Ada juga satuan energi yang dihitung dengan Peta Joule, ini biasanya lazim di dunia fisika listrik. 1 Peta Joule = 10^15 Joule atau kira-kira sama dengan yang dihasilkan oleh 175074 SBM.
Pengetahuan dasar kedua adalah, dari minyak mentah itu setelah diolah akan menjadi banyak sekali produk, mulai gas (Liquid Petroleum Gas / LPG / elpiji), avtur, minyak tanah, gasoline atau bensin (premium, pertamax), minyak diesel (solar), minyak bakar, lilin hingga asphalt. Dari 1 barrel minyak mentah akan didapat 74,7 liter bensin atau cuma 47% (http://en.wikipedia.org/wiki/Barrel). Jadi premium maupun pertamax hanya berbeda di pengolahan di kilangnya, yang menyebabkan nilai oktannya berbeda.
Pengetahuan dasar berikutnya adalah angka lifting, yaitu minyak yang diambil setiap hari. Minyak diproduksi tiap hari, tetapi jumlahnya bisa bervariasi. Kadang suatu sumur harus dirawat sehingga berhenti beroperasi. Jadi angka lifting adalah angka rata-rata. Kemudian harga minyak mentah juga bervariasi, baik di tingkat produksi maupun di pasar. Di tingkat produksi, biaya instalasi sumur dan biaya operasi sehari-hari sangat bervariasi, tergantung tingkat kesulitan medan (hutan, pantai, laut), jarak dari kilang atau dermaga, dan jumlah cadangan yang ada. Di pasar dunia juga harga bervariasi mengikuti musim. Ketika musim dingin orang butuh lebih banyak bahan bakar sehingga harga minyak akan melambung. Dan karena minyak diperdagangkan di bursa barang berjangka dunia, maka harga minyak untuk pengiriman sekian bulan ke depan sudah menjadi objek spekulasi.
Karena itulah pemerintah lalu mengambil asumsi-asumsi untuk APBN. Ini karena di APBN kita, penghasilan dari minyak harus dimasukkan dahulu. Jadi bagi Pertamina harga minyak mentah bukan Rp 0,-, tetapi sesuai asumsi APBN. Yang Rp 0,- adalah minyak mentah yang masih di dalam tanah. Untuk mengangkatnya perlu biaya juga. Minyak bumi adalah komponen pendapatan negara yang signifikan selain dari Sumberdaya alam lainnya, Pajak dan PNBP seperti bea cukai, retribusi dsb.
Contoh asumsi itu adalah, untuk APBN 2011:
Lifting : 970.000 barrel/hari
Harga minyak :US$ 80 / barrel
Nilai tukar 1 US$ = Rp. 9300,-
Dari ketiga asumsi ini, didapat angka sebagai berikut:
Produksi tahunan minyak mentah adalah 970.000 x 365 = 354,1 juta barrrel / tahun dan pendapatan negara dari minyak mentah adalah 354,1 juta barrel x US$ 80 x Rp. 9300 = Rp. 263,4 Trilyun. Angka inilah yang harus dibayarkan oleh siapapun yang akan membeli minyak mentah tersebut, baik Pertamina maupun dari Luar Negeri.
Tetapi di APBN 2011, pendapatan dari minyak bumi hanya ditulis 104,8 Trilyun (40% dari harga lifting).
Mungkin penjelasannya, angka US$ 80 / barrel atau total Rp. 263,4 Trilyun/tahun itu masih brutto, sementara ada “biaya produksi” untuk mengangkat minyak itu dari dalam tanah, sehingga netto jatuh Rp. 104,8 Trilyun. Tetapi, untuk sebuah “ongkos”, Rp. 158,6 Trilyun (60%) memang sangat besar. Mungkin ini termasuk cost-recovery di hulu (selain cost-recovery di hilir), biaya bagi hasil dengan kontraktor minyak asing, dan keuntungan pertamina hulu.
Lalu dengan produksi minyak mentah 354,1 juta barrel / tahun dan asumsi yang menjadi bensin hanya 47%, maka ini akan menjadi 26,4 juta kiloliter.
Tetapi data di harian Kompas 10 Februari 2011, volume BBM bersubsidi pada APBN 2011 adalah 38,2 juta kiloliter. Ini pasti mencakup seluruh BBM, termasuk solar dan minyak tanah, karena yang premium hanya 60% atau sekitar 23 juta kiloliter. Kalau ditambah pertamax yang selama ini pasarannya sangat kecil, tidak ada 5%, maka semestinya belum mencapai 26,4 juta kiloliter yang diproduksi di dalam negeri!.
Masalahnya data prosentase produk-produk kilang minyak di dalam negeri cukup sulit dijampai.
Yang ada adalah data dari Kementrian ESDM tentang Arus minyak nasional pada tahun 2007.
Dari sini bisa disimulasi sembilan hal (dalam juta barrel):
A. Minyak mentah sendiri yang diproduksi (348)
B. Minyak mentah sendiri yang diekspor (135)
C. Minyak mentah sendiri yang diolah (204)
D. Minyak mentah impor yang diolah (116)
E. BBM yang dihasilkan kilang dalam negeri (244)
F. Hasil non BBM (89)
G. BBM yang diimpor (150)
H. Total BBM yang dijual (392)
I. BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276)
Harga A dan C mengikuti asumsi APBN (US$ 80/barrel atau US$ 0,503/liter). Harga B, D, F, G mengikuti fluktuasi pasar dunia (misalnya saat ini US$ 100/barrel atau US$ 0,629/liter untuk minyak mentah dan Rp. 9000/liter atau US$ 0,968/liter untuk BBM). Harga E merupakan komposit asumsi APBN dan pasar dunia karena ada komponen minyak mentah impor, menjadi US$ 0,527/liter. Harga H karena merupakan totalitas, sebagian mengikuti harga eceran yang ditetapkan pemerintah dan sebagian mengikuti harga BBM pasar dunia karena dijual ke industri, sehingga dengan memperhatikan komposisinya menjadi US$ 0,790/liter. Hanya harga I yang mengikuti harga eceran pemerintah, yang disebut juga harga bersubsidi, yaitu Rp. 4500/liter atau US$ 0,715/liter. Dengan demikian kita sudah membawa seluruh arus minyak dalam satuan yang sama.
Yang diinginkan negara masuk ke APBN adalah harga besaran A, setelah dikalikan asumsi harga minyak mentah dengan efisiensi yang hanya 40% (=Rp. 102,99 T).
Yang didapatkan negara dari penjualan adalah B+F+H dengan asumsi harga minyak mentah dunia, harga pasar BBM dunia, dan komposisi produk bersubsidi dan non subsidi = Rp. 571,79 T.
Kemudian yang mesti dikeluarkan adalah penyisihan untuk APBN (A) Rp 258,9 T ditambah untuk impor minyak mentah dan impor BBM (E+G = Rp 322,5 T) menjadi Rp. 581,44 T.
Dari sini terbaca bahwa Pendapatan dikurangi Pengeluaran adalah defisit Rp 9,65 T. Defisit ini mungkin karena kebutuhan impor BBM yang sudah cukup tinggi akibat tingkat motorisasi yang semakin besar. Mungkin inilah subsidi yang sesungguhnya, pendapatan dikurangi pengeluaran (atau kita sebut biaya produksi), setelah ada kebutuhan memasukkan pendapatan minyak bumi ke APBN dengan asumsi harga tertentu. Yang mengejutkan, cukup hanya dengan menaikkan harga eceran BBM menjadi Rp. 4720/liter (hanya naik Rp. 220,-), defisit ini sudah nol Rupiah.
Meski arus minyak di atas adalah dari tahun 2007, tetapi volume BBM bersubsidi (huruf I) sudah diasumsikan 43,9 juta kiloliter, lebih tinggi dari data yang dimuat di Harian Kompas 10 Februari 2011. Namun tidak sulit juga memproyeksikan bila ada kenaikan kebutuhan BBM sebanyak 1 juta kiloliter (= 6,3 juta barrel) yang kita impor semua (G=156,3), dan yang dijual dengan harga eceran semua (H=398,2, I=282,3), maka defisitnya menjadi Rp. 14,15 T. Bila harga eceran dinaikkan menjadi Rp. 4815/liter, maka defisit sudah kembali 0. Kalau kebutuhan BBM naik lagi 1 juta Kiloliter, maka defisit dapat dijaga 0, kalau harga eceran kembali naik Rp. 95/liter.
Namun kalau subsidi ini dihitung dengan selisih harga eceran (Rp. 4500) dengan harga BBM pasar dunia (Rp. 9000) dikalikan angka huruf I yaitu jumlah BBM bersubsidi untuk transportasi & rumah tangga (276 juta barrel/tahun), muncul angka Rp (9000-4500) x 276 x 159 / 1000 = Rp. 197,5 T. Jadi pada model ini, subsidi baru 0 bila harga eceran BBM = harga BBM pasar dunia.
Hitung-hitungan ini boleh jadi kurang tepat, kurang akurat, bahkan keliru. Semoga bahkan data ongkos produksi minyak mentah salah, tidak setinggi itu. Maklum penulis relatif awam di bidang ekonomi perminyakan. Tetapi tolong, tunjukkan hitung-hitungan yang lebih akurat, cermat dan lengkap. Agar kami kaum intelektual tidak terus bertanya-tanya, meraba-raba dan berburuk sangka.
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, adalah peneliti utama dan pengamat sumberdaya alam dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
Oleh: Prof. Dr. Fahmi Amhar, Peneliti Utama Bakosurtanal
Setelah pantai Jepara di Jawa Tengah, kini wilayah Pulau Bangka telah disurvei oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sebagai kandidat tapak Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mendatang. Alasannya: (1) Wilayah ini bebas gempa sehingga membangun PLTN di sana akan relatif aman; (2) Di sini ada potensi bahan Thorium yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar PLTN; (3) Di sini saat ini ada krisis listrik, karena BBM untuk PLTD kadang-kadang terlambat dikirim akibat cuaca buruk.
Namun alasan-alasan positif ini belum dapat meyakinkan masyarakat agar menerima PLTN. Ini karena informasi yang diberikan dirasakan kurang berimbang. Lebih-lebih bila yang menyampaikan disinyalir memiliki kepentingan. Akibatnya informasi seperti prasyarat yang dibutuhkan atau dampak yang mungkin terjadi tidak pernah diberikan dengan jelas dan tuntas. Tulisan ini mencoba mengupas secara singkat, namun jelas dan tuntas seputar PLTN.
Wajib Kuasai Teknologi Nuklir
Teknologi nuklir bersama teknologi ruang angkasa adalah teknologi paling strategis sejak abad-20. Kalau umat Islam terdahulu sampai berjalan jauh ke Cina untuk belajar membuat kembang api – lalu mengembangkannya menjadi mesiu hingga meriam raksasa (supergun) saat penaklukan Konstantinopel pada abad 15 M – maka semestinya, teknologi nuklir ini juga dikuasai umat Islam. Hanya saja negara-negara maju tak akan rela
keunggulan mereka disaingi negara lain, sehingga banyak aspek dari teknologi ini dirahasiakan atau dibatasi penyebarannya. Kalaupun suatu negara ditawari untuk dibangunkan PLTN, maka biasanya negara tersebut hanya mendapatkan jadi, dan lalu timbul ketergantungan, entah pada perawatan atau penyediaan bahan nuklir. Mereka yang berusaha membangun PLTN sendiri, dicurigai sedang membuat senjata nuklir. Contohnya adalah Iran atau Korea Utara.
Memang benar, bahwa barangsiapa mampu membangun PLTN sendiri, maka dia juga akan mampu membuat senjata nuklir. Dalam sejarahnya, Amerika Serikat telah lebih dulu berhasil meledakkan bom atomnya sebelum dapat mengendalikan proses reaksi berantai nuklir itu dalam sebuah PLTN. Namun secara syar’i, membangun kemampuan senjata nuklir untuk tujuan menggentarkan musuh (tidak untuk pembantaian massal) adalah justru diperintahkan di dalam Alquran surat al-Anfal ayat 60.
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya …. (Qs. 8:60).
Bagaimana mungkin umat Islam bisa tegas atau berwibawa terhadap para penjajah seperti Amerika atau Israel yang semua punya senjata nuklir, kalau kita belum memiliki senjata yang sama, atau lebih dahsyat?
Alternatif Energi Bersih
Energi nuklir adalah salah satu energi bersih masa depan karena tidak menghasilkan emisi (CO2, SOx, NOx) seperti halnya PLD atau PLTU. Tentu saja sebuah PLTN juga menghasilkan limbah, baik itu berupa air hangat (yang tidak radioaktif) maupun sedikit limbah radioaktif yang harus disimpan dengan aman di ruang anti radiasi untuk ribuan tahun ke depan.
Namun untuk Indonesia, alternatif sumber energi bersih bahkan terbarukan ini masih banyak. Kita memiliki potensi panas bumi, angin, surya dan laut yang berlimpah. Sekali lagi ini soal teknologi yang akan menentukan apakah kita dapat segera memanfaatkan semua potensi ini sendiri atau harus menunggu uluran tangan (dan jerat utang) dari bangsa lain.
Wajib Disiapkan Serius
Teknologi PLTN adalah teknologi tinggi. Hal ini karena kebocoran atau kecelakaan dapat berakibat fatal. Bahan radioaktif yang keluar akan memancarkan radiasi sinar Gamma selama ribuan tahun. Bila terkena mahluk hidup, radiasi ini akan merusak sel, menyebabkan kanker atau kemandulan. Pada kasus kecelakaan PLTN di Chernobyl tahun 1986, sebuah kota harus dievakuasi dan kota itu hingga kini masih menjadi kota mati.
Untuk itu sebuah PLTN modern harus dibangun dengan keamanan berlapis. Sistem kontrol otomatis disiapkan agar bila ada sesuatu yang tak wajar, reaktor otomatis dimatikan. Masalahnya adalah bila kelalaian dan korupsi membuat sistem kontrol itu tak lagi berfungsi! Bangsa kita ini terkenal pintar membangun tetapi malas memelihara. Walhasil, selain kecelakaan saat pemboran minyak di Lapindo Sidoarjo yang berakibat keluarnya lumpur panas tak tertangani dari 2006 hingga kini, hampir setiap hari kita mendengar kecelakaan kereta api, kapal hingga pesawat.
Kita juga wajib menyiapkan agar PLTN tersebut bila jadi dibangun tidak makin menjerat kita pada ketergantungan kepada asing, baik dalam bentuk utang, maupun dalam pengadaan bahan bakar nuklir. Memang Indonesia punya Uranium, tetapi kadarnya rendah, sedang alat untuk memperkaya Uranium termasuk yang dibatasi, untuk mencegah suatu negara membangun senjata nuklir. Sedang Thorium yang konon berlimpahpun, mungkin belum bisa dimanfaatkan karena hingga kini di dunia belum ada satupun PLTN dengan bahan bakar Thorium.
Perlu Syariat Islam
Kalau syariat Islam diterapkan untuk menyiapkan PLTN, insya Allah kita akan mendapatkan SDM yang andal, baik dari ketakwaan, profesionalisme maupun semangat juang. Ini untuk mengantisipasi agar mereka tidak lalai dan tidak korupsi dalam menjalankan pekerjaannya, dan agar mereka senantiasa bekerja keras menguasai teknologi dengan motivasi spiritual. Pekerjaan nuklir hanya sedikit menoleransi kecerobohan (zero-tolerance).
Kemudian syariat pula yang akan menuntun agar sejak dari tender, pembebasan tanah, perjanjian dengan luar negeri terkait dengan pembiayaan, alih teknologi dan pengadaan bahan bakar, hingga pengurusan limbah radioaktif dapat berjalan dengan transparan, adil, aman, dan
berkelanjutan. Program komputer yang dipakai di PLTN juga harus open-source, agar dapat kita rawat dan update sendiri, juga dapat diaudit dulu agar tidak disusupi baik oleh “spy-ware” maupun “bom-waktu”.
Hanya dengan syari’ah, sebuah proyek PLTN akan aman, menyejahterakan dan melindungi kedaulatan. Tanpa syari’ah, PLTN adalah arena mafia, lahan korupsi dan sebuah risiko serius.[]