Sekarang negeri ini sedang berharap banyak dapat medali emas dari pesta olahraga Asia Tenggara (SEAGAMES) yang sedang berlangsung di Palembang dan Jakarta. Menteri Pemuda dan Olahraga sampai memberi iming-iming yang “sesuatu banget”, yakni setiap peraih medali emas akan diberi tambahan bonus duaratus juta Rupiah, ditambah hadiah lain dari sponsor, bahkan akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil untuk membantu membina olahraga. Negeri ini memang sudah cukup lama miskin prestasi yang dapat dibanggakan di kancah dunia. Sehingga walaupun ini cuma arena SEAGAMES, yang sebenarnya hanya diikuti oleh 10 negara yang tidak terhitung tangguh di kancah olahraga, tapi menang terhadap negara lain masih dapat membuat bangga dan untuk itu harus tetap disyukuri.
Padahal bila direnungkan, tidak banyak masyarakat yang merasakan manfaat dari dimenangkannya lari 100 meter, loncat indah, angkat besi ataupun sepak takraw. Satu dua jenis olahraga mungkin cukup menghibur, tetapi bagi sebagian masyarakat, tidak terlalu banyak bedanya, apakah menonton sepakbola antara Manchester United melawan Liverpool, atau menonton PSSI melawan Laos. Mungkin malah yang MU vs Liverpool lebih ditunggu-tunggu, karena secara umum lebih bagus dan menarik.
Perhatian terhadap prestasi olahraga yang sebenarnya baru “gitu-gitu saja” ini berbeda dengan perhatian negeri ini pada prestasi yang sebenarnya berdampak lebih luas, misalnya karya para ilmuwan atau teknolog yang menerapkan ilmunya di masyarakat (technopreneur).
Sebenarnya banyak ilmuwan dan technopreneur di negeri ini yang membuat karya-karya besar yang dirasakan masyarakat secara langsung maupun tak langsung dan bahkan diakui oleh dunia internasional. Tetapi karya mereka jarang disorot media massa. Masyarakat jadi tak kenal, sehingga tak merasa bangga sebagai anak bangsa. Dan pemerintah juga tidak memberi penghargaan yang pantas. Walhasil, sekarang ini, peneliti yang paling senior pun, Profesor Doktor yang sekolahnya susah di Luar Negeri, gaji dan tunjangannya masih lebih rendah dari guru SD di Jakarta. Kita belum membandingkannya dengan atlit berprestasi, artis atau politisi.
Padahal di dunia Islam, kita lama pernah sangat percaya diri sebagai sebuah bangsa. Itu pada zaman ketika belum ada pesta olahraga antar bangsa atau Olympiade ala Yunani kuno belum dihidupkan lagi.
Kunci dari rasa bangga sebagai bangsa dan percaya diri itu muncul semata-mata karena karya. Ada suatu masa di dunia ini ketika tidak ada kemajuan kecuali ada kontribusi kaum muslim dan negara Islam di dalamnya. Mereka bangga dengan karya kolektifnya, bangga karena ada jejak amal shalehnya.
Bagaimana tidak, saat itu apa saja yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dipelopori, ditemukan atau dimutakhirkan oleh para ilmuwan Islam. Mulai dari sabun untuk mandi, piring porselin untuk makan, tekstil untuk menutup auratnya, mesin-mesin pembangkit energi, teknologi konstruksi untuk membangun gedung-gedung, kapal untuk berlayar, aljabar untuk menghitung, ilmu pengobatan, musik untuk terapi kejiwaan, hingga geografi untuk merencanakan apa yang ada di bumi dan astronomi untuk bernavigasi dengan apa yang tampak di langit.
Semua kontribusi para ilmuwan itu dinikmati umat manusia selamanya, bahkan tidak hanya di negeri itu saja. Bandingkan dengan prestasi atlit di SEAGAMES yang mungkin dua tahun lagi sudah dilupakan, karena akan tertutup oleh atlit yang baru yang lebih muda.
Tetapi kontribusi karya yang lebih besar itu tidak mungkin tanpa sinergi banyak pihak. Seorang ilmuwan besar lebih mudah dimunculkan pada masyarakat yang gemar belajar dan menghargai ilmu. Dan masyarakat yang seperti itu lebih mudah dikondisikan oleh media massa yang menyebarkan opini yang konstruktif. Seorang ilmuwan besar juga lebih mudah dimunculkan jika ada kemauan politik dari penguasa negara yang diikuti langkah nyata. Misalnya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk aktivitas pendidikan dan riset, serta membuat aturan yang ramah terhadap hasil riset agar lebih mudah diterapkan dalam pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah.
Dan itu semua dikerjakan selama masa yang panjang di era Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah. Khalifah secara sistematis menggerakkan mesin pendidikan. Rakyat dimudahkan untuk belajar. Negara membayar guru-guru hingga berkecukupan dan mengadakan perpustakaan, di mana rakyat bebas membaca buku-bukunya sepuasnya.
Negara mensponsori riset-riset awal dan perjalanan ilmiah yang menjelajahi dunia baru. Inilah yang membuat seorang Al-Khawarizmi (780-850 M) bisa leluasa menulis bukunya yang merubah cara dunia dalam berhitung, yaitu Kitab Aljabar wa al-Muqobalah. Banyak hal dalam kitab itu yang baru terasa manfaatnya setelah ratusan tahun! Tetapi itulah, negara khilafah tidak melihat keuntungan jangka pendek dari sebuah karya ilmiah. Demikian juga dengan penemuan fisika optika (camera obsicular) dari Ibn al-Haitsam, yang barangkali di saat hidupnya belum memiliki aplikasi praktis. Atau catatan perjalanan sang geografer penjelajah, Ibnu Batuthah.
Kehebatan sebagian dari ilmuwan-ilmuwan itu ada yang sempat dikenali semasa hidupnya, sehingga Khalifah atau para sulthan (gubernur) menghadiahi mereka emas seberat buku yang ditulisnya. Tetapi sebagian yang lain terhargai dengan sendirinya ketika setiap ilmu yang mereka wariskan digunakan oleh orang-orang sesudahnya. Mereka mendapatkan pahala yang tak putus-putusnya.
Dan umat Islam juga bangga dengan karya-karya mereka. Bagaimana tidak bangga bila orang-orang asing berduyun-duyun sekolah di universitas di dunia Islam, termasuk Sylvester II yang kemudian menjadi Paus di Vatikan tahun 999 – 1003 M dan memperkenalkan “angka” arab di Eropa, ternyata juga alumni universitas Islam di Cordoba.
Bangga karena karya ini lebih mendasar, “lebih sesuatu”, tidak hanya pencitraan karena medali emas SEAGAMES. Itulah yang membuat rakyat khilafah dengan percaya diri berdakwah ke seluruh penjuru dunia. Dan berbagai negeri menerima dakwah Islam karena takjub pada sebuah negara dan masyarakatnya yang luar biasa. Para pangeran dari negara paling hebat di Nusantara yaitu Majapahit saja memandang takjub para pedagang yang datang dari dunia Islam, sehingga mereka kemudian masuk Islam, menyebarkan Islam dan mengganti negara Majapahit yang mereka warisi menjadi negara Islam juga.
Bukan seperti sekarang. Ada beberapa negeri yang prestasi olahraganya lebih hebat dari Indonesia (misalnya Brazil atau Argentina). Tetapi tetap saja di kancah politik, ekonomi dan budaya, rakyatnya sendiri tidak bangga, karena mereka tetap pecundang dan bahan tertawaan.