Cina, negeri dengan penduduk terbanyak di dunia. Kalau mendengar Cina, kita ingat komunisme, yang konon pada tahun 1965 berada di belakang Partai Komunis Indonesia. Namun komunis di Cina kini tinggal berada di bidang politik. Sejak tahun 1990-an, kehidupan ekonomi di Cina adalah kapitalis. Dan Cina tumbuh menjadi raksasa ekonomi yang ditakuti oleh Amerika Serikat.
Namun mendengar kata Cina, kita juga ingat akan suatu riwayat di mana Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu sampai negeri Cina. Tentu saja ilmu yang dimaksud bukan ilmu aqidah, ilmu fiqih atau ilmu tafsir. Yang dimaksud adalah teknologi, karena di zaman Nabi, Cina sudah dikenal memiliki beberapa teknologi yang belum dikuasai oleh bangsa-bangsa Persia atau Romawi sekalipun, misalnya teknologi pembuatan kertas, kompas atau mesiu. Saat itu tembok Cina juga sudah terbangun beberapa ratus kilometer, sebuah mahakarya yang tak ada duanya di dunia.
Tak heran di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah ada kafilah dagang yang pergi ke Cina, dengan berbagai tujuan sekaligus: mencari ilmu, berdagang untuk hidup dan berdakwah. Tentu saja mereka mengalami banyak kesukaran seperti antara lain wajib mempelajari berbagai bahasa yang diperlukan agar dapat berkomunikasi di Cina.
Hasilnya tidak sia-sia. Di zaman Utsman bin Affan, para alumni Cina ini sudah dapat membuat sendiri kertas, yang dengan itu Mushaf Utsmani ditulis. Namun mereka juga meninggalkan cikal bakal Islam di Cina. Bahkan pernah ada seorang Laksamana Cina yang seorang Muslim, yaitu Cheng Ho.
Tahukah Anda, bahwa masjid di Beijing lebih tua usianya dari semua masjid yang ada di Nusantara? Masjid ini didirikan tahun 996 M. Tidak terlalu sulit untuk menemukan Masjid Niu Jie di Beijing ini, meski tidak banyak sopir taksi yang mengetahuinya. Dengan menunjukkan ke peta yang ada aksara Cina-nya, dibantu sedikit bahasa Tarzan, akhirnya sampai juga saya ke masjid Niu Jie, dengan nyasar dulu ke sebuah kelenteng yang tidak jauh dari masjid. Kelenteng ini jauh lebih kecil, tapi ternyata buat orang Cina lebih dikenal.
Dari segi bangunan, masjid Niu Jie ini tidak berbeda jauh dengan arsitektur sebuah kelenteng. Warna-warna merah mendominasi. Yang membedakan hanya kaligrafi Arab di atas pintu-pintunya. Di seputar masjid ada beberapa bangunan lain. Kaum wanita dan anak menempati bangunan terpisah, sehingga saat bapak-bapak shalat Jumat mereka dapat shalat Dzuhur sendiri. Ruang terbuka di antara bangunan itu mengingatkan pada lapangan latihan kungfu di padepokan Shaolin. Mungkin memang pernah difungsikan demikian.
Khutbah Jumat dan shalatnya sendiri alhamdulillah masih tetap dalam bahasa Arab. Hanya saja saat shalat akan dimulai, dan jamaah diminta merapikan shaf, ada perintah Imam dalam bahasa Cina, yang tentu saja terdengar agak menggelikan bagi kita: ada bahasa Cina di masjid!
Masjid Niu Jie memang terletak di kawasan Muslim. Di sekitarnya berdiri beberapa supermarket dan restoran halal. Perempuan Cina yang berkerudung banyak terlihat. Anak-anak muda Cina di situ juga lebih familier bahasa Arab daripada bahasa Inggris. Di Cina, ditaksir ada sekitar 10 persen penduduk Muslim. Karena penduduk Cina 1,4 milyar manusia, maka 10 persen ini banyak juga. Bagi pemerintah Cina, keberadaan Muslim di Beijing sebagai minoritas tidak menjadi masalah. Lain halnya dengan Muslim Uighur di Xin Jiang yang mayoritas dan menginginkan otonomi khusus. Mereka ditekan dan bahkan kadang-kadang dibantai. []