Bulan September 2013 lalu, Indonesia menjadi tuan rumah acara olahraga negeri-negeri Islam sedunia (Islamic Solidarity Games). Hanya di forum ini, dan bukan di Asian Games atau Olympiade, Indonesia meraih juara umum. Jadi negeri-negeri Islam memang secara umum parah dalam segala hal, termasuk olahraga. Padahal, sejatinya, acara ini hanya meniru (meng-copy) gebyar acara serupa. Sebuah acara yang sudah ada sejak zaman Romawi Purba, yang digunakan oleh para kaisar untuk mengalihkan perhatian rakyat dari persoalan negeri yang sesungguhnya. “Berikan rakyat roti dan permainan, maka mereka akan sibuk dan tidak lagi memperhatikan, apa yang kita perbuat”, kata Kaisar saat itu. Rakyat tak lagi peduli apakah pemimpinnya korupsi, atau menggadaikan aset publik ke asing untuk utangnya yang segunung, atau tidak mampu membela umat yang tertindas baik secara fisik maupun diplomasi.
Jadi itu bukan kontes olahraga yang sesungguhnya. Padahal Islam mensyariatkan olahraga untuk sebuah tujuan yang serius. Rasulullah pernah memerintahkan agar anak-anak Muslim diajari olahraga berenang, berkuda dan memanah, suatu tamsil olahraga-olahraga yang dapat digunakan untuk survival, membela diri, dan tentunya berjihad.
Kalau kita menengok pada sejarah dan kebudayaan di Nusantara, akan ditemukan berbagai jenis beladiri tradisional yaitu “silat”. Menurut Sheikh Shamsuddin (2005) dalam “The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong” silat adalah ilmu beladiri yang terbuka sejak awal, sehingga membawa unsur-unsur yang diserap dari para pedagang maupun prajurit dari India, Cina, Arab, Turki dan sebagainya. Legenda di Semenanjung Melayu meyakini bahwa Hang Tuah dari abad-14 adalah pendekar silat yang terhebat. Hal yang sama terjadi di Pulau Jawa, yang membanggakan Mas Karebet, alias Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya yang berkuasa di kesultanan Pajang. (more…)