Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Belajar Jadi Profesor “GUN”

Thursday, February 23rd, 2012

Belajar Jadi Profesor “GUN”

Pada akhir 2011, Presiden RI telah menandatangani  Perpres 94/2011 yang secara perlahan tapi pasti akan mengubah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG).  Ini terjadi setelah munculnya UU no 4/2011 tentang Informasi Geospasial yang disahkan bulan April 2011. Berikut adalah wawancara hasil wawancara eksklusif dengan Prof. Fahmi.

Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar adalah salah seorang anggota tim kecil yang berada di belakang pematangan UU IG sejak tahun 2007.  Dia adalah profesor riset pertama di Indonesia di bidang sistem informasi spasial, profesor riset ke-2 di Bakosurtanal dan ke-310 yang dikukuhkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).  Pada saat pengukuhannya pada 11 Agustus 2010, Fahmi Amhar yang lahir pada 15 Maret 1968 ini baru berusia 42 tahun, sehingga dia menjadi profesor riset termuda yang pernah dikukuhkan LIPI.

Prof. Fahmi, apa sebenarnya cita-cita UU-IG yang nanti akan menjadi tugas BIG?
Intinya adalah “GUN” – Geospasial Untuk Negeri.  Ini juga tema besar yang dicanangkan Dr. Asep Karsidi, Kepala Bakosurtanal – dan sekarang sekaligus Kepala BIG di masa transisi – dalam peringatan 42 tahun Bakosurtanal tanggal 17 Oktober 2011 lalu.

Apa maksud “Geospasial Untuk Negeri” itu?
Dalam hemat saya GUN dapat disingkat dalam tiga motto: “Geospasial untuk seluruh wilayah Indonesia”, “Geospasial untuk seluruh urusan Indonesia” dan “Geospasial untuk seluruh rakyat Indonesia”.

Apa artinya “Geospasial untuk seluruh wilayah” ?
“Geospasial untuk seluruh wilayah Indonesia” artinya kita punya kewajiban menyediakan Informasi Geospasial Dasar tentang seluruh wilayah Indonesia, dari ibu kota hingga pulau-pulau terluar, dari puncak gunung hingga dasar laut di landas kontinen, dan dari yang skalanya untuk tingkat nasional (skala kecil) maupun yang sesuai untuk tingkat RT (skala besar).

Kalau “Geospasial untuk seluruh urusan”?
“Geospasial untuk seluruh urusan Indonesia” artinya kita punya kewajiban menjadikan informasi geospasial mendukung selesainya seluruh urusan kita secara lebih efektif dan efisien, dari urusan pemerintahan hingga urusan wisata keluarga, dari urusan eksekutif hingga legislatif dan judikatif, dari urusan yang menghasilkan banyak duit seperti peta untuk optimasi lokasi investasi hingga yang menguras duit seperti penanggulangan bencana atau kemiskinan.

Wah menarik, bagaimana dengan yang ketiga?
“Geospasial untuk seluruh rakyat Indonesia” artinya kita punya kewajiban menjadi informasi geospasial ini dapat diakses oleh segala lapisan masyarakat, dari anak pra sekolah hingga manula, dari petani hingga eksekutif, dari atlit olimpiade hingga kaum diffabel (penyandang cacat).  Ini artinya, kita harus mengemas informasi geospasial dalam berbagai bentuk, termasuk ke dalam budaya pop, dalam sinetron, dongeng anak-anak, hingga souvenir.

Prof, kira-kira berapa lama Geospasial Untuk Negeri ini akan menjadi realitas?
Saya kira ini perjalanan panjang.  Kita juga harus mengapresiasi apa yang telah ditempuh bangsa ini hingga hari ini, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.  Yang jelas, kita harus punya indikator, kita mau kemana, dan kita sampai di mana.  Setiap saat kita evaluasi, bahkan setiap lima tahun mungkin perlu ada perubahan kebijakan nasional dengan produk perundang-undangan bila dianggap perlu.

Oya iya Prof, ini pertanyaan agak pribadi, sebenarnya sejauh mana perjuangan anda meraih gelar tertinggi (sebagai Profesor)?
Sebenarnya saya merasa belum pantas dan belum pingin jadi profesor.

Hah, koq bisa?
Publikasi internasional saya belum banyak.  Hingga pengukuhan, saya belum pernah diberi amanah secara formal untuk membimbing calon Doktor.  Belum menulis banyak buku teknis.  Belum menghasilkan penemuan yang layak paten dan komersial.  Dan yang terpenting ini: saya belum botak, ubanan dan pelupa ha ha ha …

Jadi ternyata jadi Profesor itu tidak muluk-muluk?
Justru itu rahasia yang ingin saya buktikan.  Mau tahu?

Apa itu?
Untuk jadi Profesor riset itu perlu angka kredit kumulatif 1050.  Dari jumlah ini, 80% harus unsur utama, jadi kira-kira 840 lah.  Pendidikan jenjang S3 sudah menghasilkan 200.  Jadi karya tulis ilmiah harus 640.  Kalau tulisan kita masuk jurnal nasional terakreditasi, itu dapat 25.  Kalau prosiding konferensi nasional, itu dapat 10.  Jadi kalau kita secara teratur bisa masuk ke 4 prosiding dan 1 jurnal per tahun, pasti dapatlah, dalam 10 tahun meraih angka kredit yang dibutuhkan.  Tentu saja kalau nulisnya rame-rame, ya perlu lebih banyak tulisan lagi.  Intinya saya telah membuktikan bahwa dalam 10 tahun saja itu bisa koq jadi profesor, bukan sulap bukan sihir bukan KKN ha ha ha …  Tapi tentu saja ini tak lepas dari lingkungan yang kondusif di Bakosurtanal selama ini.  Saya tak akan bisa begini kalau tidak ada senior-senior yang memberi kemudahan dan juga tantangan, jika tak ada rekan-rekan tempat diskusi dan bekerjasama, dan jika tak ada bawahan yang membantu baik secara langsung maupun dengan doa.

Prof. Fahmi menyelesaikan Doktornya di Vienna University of Technology, Austria, pada tahun 1997, berarti pada usia 29 tahun.  Dia berangkat ke Austria pada tahun 1987 dengan beasiswa dari Kementerian Riset dan Teknologi yang saat itu dipimpin oleh B.J. Habibie.  Setelah pada 1993 meraih gelar “Diplom Ingenieur” di bidang Geodesy & Geomatics Engineering, dia mendapat beasiswa dari Austrian National Science Foundation untuk menempuh jenjang Doktoral.

Tapi Prof, tadi anda mengatakan anda merasa belum pantas jadi Profesor, tapi apa yang lalu menggerakkan anda untuk “mau” jadi Profesor?
Sebenarnya, tahun 2007 angka kredit kumulatif saya sudah lebih dari 1050, dan saya sudah menempati jabatan fungsional Peneliti Utama IV/e.  Tapi saat itu, peraturannya, yang boleh orasi pengukuhan profesor hanya yang pangkat PNS-nya sudah IV/e.  Baru pada tahun 2009 secara resmi aturan itu diubah oleh LIPI dan Badan Kepegawaian Negara, sehingga semua yang sudah Peneliti Utama IV/e, sekalipun pangkatnya belum IV/e, boleh orasi, asalkan dia S3.  Bahkan yang sudah Peneliti Utama IV/e itu hanya diberi waktu 2 tahun untuk orasi pengukuhan profesor.  Kalau tidak, ya nanti hak orasinya hangus.  Makanya ya saya buru-buru orasi lah, daripada hangus … Maka jadilah saya profesor.

Oh jadi sebenarnya anda sudah layak menjadi profesor pada tahun 2007?
Ya kalau menurut aturan LIPI-BKN tahun 2009 itu begitu.

Wah kalau begitu anda sebenarnya meraih derajat Profesor pada usia 39 tahun.  Perasaan anda gimana, jadi profesor semuda ini?
Biasa saja.  Kalau dibandingkan dengan banyak profesor lain di Indonesia, insya Allah saya gak jelek-jelek amat … ha ha ha.  Lagi pula, teman-teman saya sekolah di Austria dulu juga ada beberapa yang sudah jadi Profesor.  Wolfgang Wagner dan Norbert Pfeifer yang satu lab dengan saya dulu masing-masing jadi profesor pada usia 32 dan 35 tahun.  Di Indonesia, Prof. Firmansyah dari FE-UI jadi profesor pada usia 37 tahun.  Memang profesor di perguruan tinggi ukurannya agak beda.  Mereka cukup angka kredit kumulatif 850.  Dan unsur utamanya bukan cuma penelitian, tetapi juga pengajaran dan pengabdian masyarakat (tridarma perguruan tinggi).  Tapi intinya, bukan usia yang menentukan, tetapi karya dan kontribusi.  Dan saya menyadari, sepertinya kontribusi saya belum apa-apa.

Bisa ceritakan proses anda menjadi peneliti?
Saya itu hobby meneliti sejak SMP.  Selama SMA saya tiga kali meraih juara Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI [tahun 1984, 1985 dan 1986].  Saya mendirikan Kelompok Ilmiah Remaja.  Sejak menjadi Doktor, saya juga mereview beberapa jurnal nasional dan internasional.  Saya juga aktif di berbagai organisasi profesi ilmiah.  Bahkan saya pernah jadi acting president dari TC-VI International Society of Photogrammetry & Remote Sensing.

Hasil riset anda yang termanfaatkan apa saja?
Saya banyak melakukan optimasi proses pemetaan digital dan pembangunan sistem informasi spasial.  Tahun 1997 begitu pulang saya terlibat intensif dengan salah satu megaproyek Bakosurtanal saat itu, yaitu proyek digital mapping.  Saya melakukan otomatisasi dalam proses penyelesaiannya, sehingga pekerjaan yang mestinya perlu 25 orang dengan 25 komputer selama 1 bulan, cukup dikerjakan oleh 5 komputer selama 2 minggu non stop. Lalu saya banyak terlibat dalam standardisasi proses-proses pemetaan.  Tanpa standard tak ada kualitas, dan tanpa peta yang berkualitas tak ada sistem informasi spasial yang handal.  Bayangkan kalau sistem informasi ini dipakai untuk manajemen kebencanaan!  Saya juga terlibat dalam banyak hal di luar teknis perpetaan seperti membuat juknis jabatan surveyor pemetaan, membuat modul-modul diklat, menyusun harga satuan pokok, menyusun RPP Tingkat Ketelitian Peta untuk Rencana Tata Ruang, hingga menyusun RUU Informasi Geospasial yang baru disahkan DPR 5 April 2011 lalu.  Saya berusaha agar semua ini memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tahun 2007-2010 Fahmi menjadi Kepala Balai Penelitian Geomatika Bakosurtanal, yang hingga saat itu merupakan satu-satunya unit resmi litbang di Bakosurtanal, meskipun peneliti juga tersebar di unit kerja yang lain.

Anda pernah di struktural, apa yang anda rasakan?
Di struktural itu, gagasan kita bisa kita terapkan, tentunya terbatas dalam lingkup yang kita kendalikan.  Kalau peneliti belaka kan paling hanya bisa usul.  Di struktural kita bisa alokasikan sumberdaya baik orang maupun anggaran.  Namun di sisi lain, saya terkadang miris juga dengan pertanggungjawaban moral.  Kadang masih jauh antara harapan dengan kenyataan.  Kalau dari sisi penelitian sebenarnya tidak masalah mengatakan bahwa penelitian ini hingga bulan Desember belum selesai karena beberapa kendala, mungkin tiga bulan lagi baru kelar.  Tapi secara anggaran harus dinyatakan selesai, karena kalau tidak selesai, dana tidak dapat ditarik sama sekali, hangus, jadi kalau begini, yang akan menyelesaikan tiga bulan ke depan juga tidak akan dapat dibayar.  Dilematis.

Jadi anda lebih suka tidak di struktural?
Kalau hanya melihat tunjangan, tunjangan peneliti utama lebih tinggi dari tunjangan Kepala Balai (Eselon 3) saat itu.  Mungkin lain kalau strukturalnya setingkat Eselon 2 atau Eselon 1 ha ha ha …  Mengutip Prof Syafii Maarif [mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah], gaji profesor saat ini masih “gaji penghinaan” ha ha ha …  Tapi mudah-mudahan segera akan berubah.  Di Perguruan Tinggi gaji+tunjangan profesor sekarang sudah lebih tinggi dari eselon-1.  Tapi sebaiknya kita berorientasi pada output dan outcome saja.  Soal penghasilan itu sudah ada yang ngatur … ha ha ha …

Anda tidak tertarik bekerja di Luar Negeri saja?
Tahun 1989 sewaktu masih mahasiswa saya pernah kerja di suatu biro engineering di Austria.  Tahun 1990 saya bahkan pernah kerja sebagai programmer dalam suatu proyek GIS [Geographic Information System] di IBM Vienna.  Gajinya 250 Schilling atau sekarang sekitar 25 Euro per jam.  Saya kira sampai sekarang pun gaji segitu masih lumayan.  Padahal dulu saya masih mahasiswa, sekarang profesor ha ha ha …Tetapi hidup ini kan tidak cuma mengejar nilai materi.  Ada nilai ethical, sosial atau bahkan spiritual.  Dan saya merasa kehadiran saya di Indonesia bermanfaat untuk lebih banyak manusia dibanding kalau saya tetap di Luar Negeri.  Tetapi saya tidak memandang negatif teman-teman yang tetap di Luar Negeri.  Banyak di antara mereka yang ternyata juga punya kontribusi besar untuk Indonesia dan dunia, yang mungkin kalau mereka di sini malah tidak bisa.  Sedangkan di sisi lain, banyak juga lulusan Luar Negeri yang berada di Indonesia tetapi justru menjadi benalu bagi masyarakat, misalnya jadi koruptor.

Apa yang paling membahagiakan anda?
Kalau saya dapat menginspirasi para guru dan anak-anak muda agar mereka menjadi orang-orang yang berpikir, syukur-syukur menjadi ilmuwan, bahasa Qur’annya menjadi “ulil albab”.  Tetapi lebih bahagia lagi kalau dapat menginspirasi orang yang punya kekuasaan, sehingga mereka memutuskan kebijakannya dengan adil.  Bahasa Nabi, adilnya umara itu lebih utama dari sholat malam 70 tahun …

Itulah makanya anda juga mengajar?
Ya, saya mengajar di Pasca IPB dan Undip, dulu juga di Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah.  Oleh LIPI dan Diknas saya juga sejak kira-kira sepuluh tahun terakhir dipercaya sebagai juri beberapa lomba ilmiah, seperti Lomba Karya Ilmiah Remaja, Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia, National Youth Inventor Award dan Lomba Penelitian Ilmiah Remaja. Saya menulis buku dan mengembangkan training untuk meningkatkan kecerdasan dan kreativitas ilmiah berbasis spiritual (Technoscience Spirituality Quotient).  Dan selain itu saya banyak menjadi pembicara seminar dalam berbagai topik kemasyarakatan, umumnya tentang pendidikan atau riset, tetapi kadang juga tentang ekonomi atau politik, karena realitanya pendidikan atau riset itu subordinat dari sistem ekonomi atau politik yang ada.

Mengapa anda tidak masuk dunia politik saja?
Berpolitik tidak harus masuk parpol kan?  Membaca buku itu aktivitas akademik.  Tetapi berupaya agar semua anak bangsa bisa membaca, itu adalah aktivitas politik.  Itu terkait dengan menciptakan iklim membaca yang kondusif, menyediakan bacaan bermutu yang mudah diakses dan sebagainya.  Demikian juga dengan dunia riset.  Dunia riset di negeri ini jauh dari kondusif.  Peneliti sehebat apapun tidak boleh mendapatkan insentif lebih dari Rp. 50 juta setahun, karena setiap peneliti hanya boleh lembur maksimum 4 jam / hari, dan honornya perjam untuk profesor adalah Rp. 50.000.  Itu semua masih dipotong pajak ha ha ha …  Saya bahkan membayangkan, kalau Thomas Alva Edison [penemu lampu listrik] hidup di sini, tentu dia tidak lolos masuk peneliti.  Demikian juga dengan Bill Gates [pendiri Microsoft] yang bukan sarjana.  Albert Einstein [penemu fisika relativitas] mungkin bisa jadi peneliti, tapi paling pangkatnya mentok di IV/B ha ha ha …
Riset kita di kancah internasional masih “ngisin-isini” (bikin malu).  Kita senangnya jadi tangan di bawah, menerima dana hibah atau utangan atau training.  Pengalaman saya jadi counterpart proyek dengan utang Luar Negeri, itu isi kontraknya didikte oleh mereka.  Kita boleh saja mencoreti item yang sudah kita kuasai, tetapi harga totalnya atau besaran utangnya ternyata tetap.

Anda sudah Profesor berarti sudah “di garis aman”
Siapa bilang?  Kalau di Perguruan Tinggi mungkin ya, kalau profesor riset, itu tiap dua tahun harus melakukan maintainance, setor angka kredit sekian.  Kalau tidak tercapai, ya gelar profesornya dicopot.  Apa gak malu itu?  Tetapi lebih dari itu, seorang profesor dituntut lebih oleh masyarakat.  Dia tak harus sekedar mumpuni, tetapi juga harus “bunyi”, menyuarakan kebenaran dan melawan kedhaliman.

Cita-cita anda yang belum tercapai?
Saya kira kita semua punya beberapa jenis cita-cita.  Ada cita-cita abadi, yaitu masuk surga.  Ada cita-cita jangka panjang, menengah dan pendek.  Cita-cita jangka pendek itu seperti “jadi sarjana” atau “jadi profesor”.  Sangat egoistik.  Ukurannya apa yang diterima diri pribadi.  Kalau jangka menengah dan panjang tak bisa lagi sekedar menerima, tetapi harus memberi.  Saya punya cita-cita jangka menengah agar Geospasial Untuk Negeri benar-benar terwujud dalam sepuluh tahun ke depan.  Terus saya punya cita-cita jangka panjang agar dalam dua puluh lima tahun ke depan kita memiliki kontribusi universal yang signifikan, mungkin bahasanya “Geospasial rahmatan lil ‘alamien”.  Boleh kan?

Persisnya seperti apa?
Tantangan ke depan akan semakin global.  Perubahan iklim, kemudahan arus barang jasa dan informasi antar bangsa, tetapi juga kejahatan transnasional, semua membutuhkan wisdom yang kelas dunia, dan juga tools – termasuk informasi geospasial – yang kelas dunia. Saya masih ingin ikut menyaksikan, karya dan perjuangan ilmuwan-ilmuwan Indonesia itu bermanfaat bagi manusia sejagad hingga berabad-abad kemudian, seperti al-Khawarizmi yang membuat aljabar atau al-Biruni yang memberi dasar-dasar ilmu bumi modern.  Ilmu yang bermanfaat akan menjadi investasi yang tidak akan putus sekalipun kita mati. Saya juga ingin mencetak kader-kader ilmuwan lebih banyak, karena guru yang hebat itu adalah guru yang mampu membuat muridnya lebih hebat dari dirinya. Semoga Allah masih memberi saya panjang usia.

Ah Prof. Fahmi, anda masih muda, tetapi terima kasih atas wawancaranya yang sangat inspiratif.

Oleh: Agung Teguh Mandira
(http://www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/belajar-jadi-profesor-gun/)

Mensinergikan Tulisan Ilmiah Dengan Tulisan Inspiratif

Thursday, January 26th, 2012

Sebuah tulisan, agar dia menjadi produktif, bermanfaat bagi kehidupan, tidak harus ilmiah!

Mungkin tidak semua ilmuwan setuju pernyataan ini.  Bahkan anak-anak yang baru lulus sarjana, ketika membaca buku saya tentang “Kisah Penelitian dan Pengembangan Sains dan Teknologi di Masa Peradaban Islam (TSQ-Stories)” memprotes, bahwa buku itu tidak memuat catatan kaki maupun daftar pustaka sebagai lazimnya karya ilmiah.  Padahal di Sekapur Sirih (Pendahuluan) buku itu memang ditegaskan bahwa buku itu tidak dimaksudkan sebagai karya ilmiah!

Namun sebaliknya, ada beberapa mahasiswa S2 dan S3 yang ghirah Islamnya sangat tinggi, justru meminta judul tesis atau disertasi terkait syariah atau Studi Islam, bahkan beberapa terang-terangan meminta saya kalau bisa menjadi salah satu pembimbing mereka.  Ada yang temanya terkait “Pembangunan Infrastruktur dalam Daulah Islam”, “Penataan Kota di masa Khilafah”, “Geostrategi Perspektif Islam”, “Islamic-Economics”, “APBN Syari’ah”, “Audit Syariah”, “Pajak dalam Islam”, “Fisika Qur’ani” dan sebagainya.  Mereka berasal dari fakultas yang berbeda-beda, ada yang Magister Studi Islam, Magister Ekonomi, Fisipol, bahkan FMIPA dan Fakultas Teknik.

Tentu saja, dunia ilmiah modern – yang diawali oleh kaum muslimin – memiliki tradisinya sendiri.  Anda sama sekali tidak layak menjadi pembimbing skripsi, tesis apalagi disertasi, kalau anda belum menunjukkan prestasi ilmiah di bidang itu. Dan prestasi ilmiah diukur dari pendidikan atau penelitian yang dibuktikan dari publikasi ilmiah.  Sekali lagi publikasi ilmiah!

Publikasi ilmiah tampak dari dua hal:

1. Tulisan itu dibuat dalam style ilmiah, yakni setiap pernyataan dilengkapi dengan kutipan yang bisa ditelusuri dari buku apa karangan siapa terbitan mana tahun kapan dan halaman berapa, atau didapat sendiri dari data yang diolah sendiri. Boleh saja itu merupakan topik tentang agama, tetapi dari awal langsung kelihatan bahwa itu tulisan ilmiah, ketika setiap pernyataan disebutkan bahwa itu misalnya dari Qur’an ayat berapa, atau Hadits Riwayat Bukhari nomor berapa, atau ijtihad Imam Syafi’i di kitab apa halaman berapa.

2. Tulisan itu dimuat di sebuah jurnal ilmiah atau prosiding konferensi ilmiah yang spesifik, tidak terlalu lebar.  Jadi kalau menyangkut pendapat di bidang ekonomi syariah, tentunya harus di konferensi ilmiah para ahli ekonomi syariah, bukan di konferensi para ahli hukum, atau di rembug nasional yang audiensnya nano-nano.

Dari sini jelas, bahwa meski di sebuah publikasi ilmiah bisa menyitir sebuah dalil dari al-Qur’an, tetapi al-Qur’an sendiri bukan buku ilmiah !  Ingat itu !  Bukan berarti al-Qur’an isinya tidak ilmiah yang berkonotasi banyak salahnya, tetapi al-Qur’an tidak ditulis dalam style publikasi ilmiah.

Jadi kebenaran sebuah bacaan tidak tergantung dengan apakah ia ditulis dalam style ilmiah atau bukan.  Hanya saja, bacaan yang ditulis dalam style ilmiah lebih mudah ditelusuri tingkat kebenarannya.  Sebaliknya, kebenaran al-Qur’an hanya dapat didekati ketika orang sudah beriman.  Orang bisa beriman, ketika melihat bahwa al-Qur’an memiliki kualitas bahasa yang supranatural, yang tidak mungkin manusia bisa membuatnya.  Orang yang tidak beriman dan mengingkari kemukjizatan al-Qur’an, tidak akan mendapatkan sedikitpun manfaat dari al-Qur’an.

Kalau al-Qur’an saja bukan buku ilmiah, maka demikian pula dengan sederet buku yang inspiratif.  Baik itu buku-buku motivasional, buku-buku yang mendorong kita menjadi enterpreneur sukses ataupun buku-buku perjuangan.  Tulisan Bill Gates (Microsoft) tentang masa depan IT di News Week tahun 1991 ataupun orasi Steve Jobs (Apple) di Stanford University bukanlah tulisan ilmiah, sekalipun super-inspiratif, dan faktanya telah membentuk IT menjadi seperti sekarang ini.

Demikian juga tulisan perjuangan ideologis di manapun, entah itu karya Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Bung Hatta, Hasan al-Bana, Taqiyyuddin an-Nabhani dll, bukanlah buku ilmiah, dan mereka memang tidak ingin tulisannya hanya sekedar berakhir di suatu perpustakaan ilmiah.  Mereka ingin tulisan-tulisan mereka menggerakkan sebuah masyarakat untuk bertransformasi sesuai dengan cita-cita yang mereka perjuangkan.

Karena itu, kalau Anda ingin menselaraskan perjuangan ideologis dengan kehidupan akademis, dan Anda serius ingin meng-ilmiah-kan pendapat yang sudah Anda yakini dari buku-buku yang inspiratif tadi, maka Anda harus berjuang lebih keras.  Anda tidak cukup hanya mengutip satu dua buku inspiratif yang sudah “taken-for-granted” itu, kecuali kalau riset Anda sekedar studi komparasi pendapat antara beberapa tokoh inspiratif.

Tetapi kalau Anda serius ingin menunjukkan sisi-sisi ilmiah dari -misalnya- ekonomi Islam, maka Anda harus mencari banyak kutipan dari publikasi ilmiah terkait, serta data berbagai hal dari sumber yang otoritatif.

Kalau Anda beruntung, mungkin cukup membuka scholar.google.com Anda akan ketemu banyak jurnal yang tersedia online yang membahas salah satu aspek dalam ekonomi Islam.  Namun mungkin mayoritas berbahasa asing.  Mungkin bahkan kata kunci yang harus Anda masukkan harus dalam bahasa Arab, Urdu, Persia atau Turki.  Untung sekarang juga sudah ada translate.google.com.

Demikian juga, kalau bicara angka statistik misalnya perbandingan jumlah pria : wanita, maka Anda harus mengacu kepada data Statistik Nasional yang resmi, sekalipun mungkin Anda menuduh bahwa mereka sudah berkonspirasi memalsukan angka-angka itu untuk sebuah kepentingan politik tertentu.  Boleh saja Anda menuduh, kalau Anda juga memiliki angka lain dari sumber lain yang kurang lebih sama atau lebih baik reputasinya di bidang statistik.

Tetapi kalau ternyata Anda memang tak sanggup untuk menghadirkan karya ilmiah, tidak usah berkecil hati.  Mungkin bakat Anda memang tidak di situ.  Mungkin Anda lebih berbakat menjadi pejuang atau motivator kelas dunia yang menginspirasi jutaan orang.  Banyak di antara mereka itu yang bahkan tidak pernah kuliah atau bahkan hanya punya ijazah SD.  Tetapi kalau mau seperti mereka, Anda harus membuktikan punya prestasi di bidang itu, misalnya:

– meski cuma lulusan SD, terbukti mampu membuat perusahaan dengan laba Rp 1 juta/jam, atau

– meski bukan anak orang kaya, terbukti mampu menjadi multi-milyarder pada usia 24 tahun, atau

– meski bukan Ustadz, terbukti berhasil merekrut 1000 kader dakwah dalam tempo 1 tahun, dsb.

Jadi memang tidak ada yang mudah di dunia ini …Selamat Bekerja!

Pribadi Triple Helix

Tuesday, January 10th, 2012

Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan isu mobil nasional, hasil karya perusahaan keluarga Kiat Motors dengan anak-anak sebuah SMK di Solo, sehingga dinamai “Kiat Esemka”. Mampukah mobil nasional benar-benar akan menjadi tuan di negeri yang sudah di-“kunci” secara regulasi oleh WTO (perdagangan bebas), secara faktual oleh agen-agen tunggal pemegang merek dari Jepang, Korea dan Eropa, dan secara kultural oleh mindset “inlander”? Sepertinya jalan panjang masih harus ditempuh.  Untuk benar-benar sampai menjadi produk nasional yang membanggakan dan menjadi tuan di negeri sendiri, hasil karya akademis itu harus bersinergi dengan dunia pengusaha dan dunia penguasa.

Adalah Dr. Kusmayanto Kadiman, mantan rektor ITB yang pernah menjadi Menristek, yang mempopulerkan istilah “triple helix” untuk menggambarkan konstruksi ideal sinergi antara kalangan akademisi (yang memproduksi riset dan SDM dalam bidang sains & teknologi), kalangan bisnis (yang menggunakan hasil riset dan SDM tersebut), dan kalangan government / pemerintah (yang membuat regulasi agar semua berjalan lancar, sinergis, konstruktif dan bermartabat).  Pak KK suka menyingkat triple helix ini menjadi “ABG”.  Pada saat dia menjabat, kemanapun beliau pergi, beliau selalu promosi agar semua entitas ABG ini berpikir triple helix.  Kalau disederhanakan, kira-kira bahasanya akan begini:”Percuma saja jadi peneliti senior, kalau risetnya tidak dipakai di dunia bisnis atau tidak dipedulikan birokrasi”.”Percuma saja jadi profesor, kalau anak didiknya gagal di dunia bisnis atau di birokrasi malah korupsi”.”Percuma saja jadi boss perusahaan besar, kalau tidak bisa memanfaatkan hasil riset dalam negeri”.”Percuma saja jadi birokrat, kalau tidak bisa memberi iklim yang kondusif untuk tumbuhnya riset ataupun bisnis berbasis riset dalam negeri”.

Kalau melihat sejarah bangsa lain, ternyata triple helix ini mencapai titik optimal kalau ketiganya melebur pada satu orang.  Contohnya: Thomas Alva Edison, sang penemu lebih dari 1000 paten terkait penggunaan listrik, ternyata juga seorang pebisnis ulung (pendiri General Electric), dan terkenal lobby-lobby-nya dengan penguasa birokrasi di AS saat itu.  Penemu lain di masanya, tapi kurang memiliki kemampuan triple helix ini – misal Nikola Tesla – cenderung kurang memiliki dampak seperti Edison.  Hal yang sama juga terjadi pada Henry Ford, Seichiro Honda, Steve Jobs dan Bill Gates.  Perkecualian mungkin pada Albert Einstein, karena beliau dikenal hanya memiliki “dual-helix”, yaitu sebagai saintis top peraih hadiah Nobel Fisika (akademisi) dan politisi (government) karena surat-suratnya ke Presiden AS saat itu agar mengembangkan bom atom.  Oleh karena itu, secara umum dapat dikatakan, salah satu hal yang menarik di dunia teknologi abad 20-21 adalah “pribadi triple helix”.  Merekalah yang membuat dunia memiliki bentuk seperti saat ini.

Pada masa Islam memiliki peradaban emas di masa khilafah, pribadi triple helix ini sangat banyak.  Dimensinya juga tidak hanya di bidang sains dan bisnis, tetapi juga bisa ke arah seni, siyasah (politik) ataupun petualangan.

Coba lihat beberapa contoh:

Umar Khayyam adalah mujtahid, tetapi juga matematikawan dan sastrawan.  Triple helixnya dapat disingkat “3S” : Syariah – Sains – Seni.  Hebatnya, di helix sains, Umar Khayyam menghasilkan penemuan di berbagai disiplin ilmu.

Muhammad al-Fatih adalah pemimpin pembebasan Konstantinopel (yang diramalkan Rasulullah sebagai sebaik-baik panglima), tetapi ternyata beliau juga seorang teknokrat ulung yang memahami dengan detil berbagai sains teknologi peperangan (beliau merancang konstruksi super-gun, dan juga memberikan metode memindahkan kapal melewati perbukitan) dan seorang eksekutif yang sangat paham hukum syariah.  Triple helixnya adalah juga “3S” : Siyasah (strategi) – Sains – Syariah.

Ibnu Batutah adalah traveller yang berkelana lebih dari 75000 Km (sebuah jarak hampir 2x mengelilingi bumi), di beberapa tempat ditunjuk sebagai hakim, dan kemudian menuliskan seluruh pengalamannya secara sistematik dalam beberapa buku yang menjadi rujukan ilmiah geografi, politik, antropologi dll selama berabad-abad.  Triple Helix Ibnu Batutah adalah “3S” juga: Spatialist (traveller) – Syariah – Sains.

Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi adalah faqih, matematikawan top (penemu aljabar), dan juga pedagang (dia mengenal angka India – yang kemudian diadopsi dalam bukunya dan menjadi “angka Arab” – karena interaksinya dengan para pedagang).  Kitab Aljabar wal Muqobalah menjadi populer salah satunya karena dipakai dalam akuntansi perdagangan!

Triple Helix al-Khwarizmi adalah “3S” juga: Syariah – Sains – bisniS.  🙂

Ternyata, helix yang sangat dominan di sejarah Islam dan selalu ada adalah: Syariah!
Sekarang kembali kepada kita: akan mengambil triple helix yang mana?