Tulisan ini dimuat di harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Selasa 30 Mei 2006.
Gempa tektonik berkekuatan sekitar 6 dalam skala Richter telah menggoncang Yogyakarta dan sekitarnya pada Sabtu 27/5/2006 lalu. Sampai hari ini korban tewas yang ditemukan telah mendekati angka 5000 orang. Kabupaten Bantul termasuk yang terkena dampak paling parah. Puluhan ribu rumah hancur. Jalanan retak-retak. Jaringan listrik banyak yang putus. Puluhan menara BTS telekomunikasi seluler tidak berfungsi. Bahkan peristirahatan terakhir raja-raja Mataram di Imogiri pun tidak luput dari goyangan.
Memang, sejak zaman Ki Ageng Pemanahan, belum pernah ada gempa sebesar ini di Yogya. Orang Yogya pada umumnya lebih khawatir pada letusan gunung Merapi atau amukan gelombang Laut Selatan. Dua tempat ini selalu dinilai memiliki kekuatan magis – kekuatan yang disimbolkan dengan “Ki Dandang Wesi” dan “Nyi Loro Kidul”, seperti dalam epos Api Di Bukit Menoreh karya almarhum S.H. Mintardja. Para raja Mataram juga selalu melakukan ritual untuk antisipasi dua jenis bencana itu. Namun ternyata?
Gempa bumi memang merupakan bencana yang paling misterius, dan paling sulit diprediksi. Meski begitu, para ahli geodinamika sebenarnya sudah mencoba mengukur secara presisi dan memetakan tempat-tempat di mana di bawahnya lempeng bumi bergeser semili-demi semili. Pola pergerakan benua ini dapat dipakai untuk mendeteksi kawasan rawan gempa. Masalahnya, kapan gempa itu sendiri terjadi, tidak ada yang tahu. Para ahli geodinamika dan juga ahli gempa sampai sering harus frustrasi, ketika kajian-kajian mereka selama ini seakan-akan hanya menjadi onggokan kertas bekas belaka. Sementara itu, tata ruang kota-kota kita, kualitas konstruksi bangunan kita, dan akhirnya sistem informasi kita, tidak disiapkan untuk antisipasi bencana. Meski kita hidup di suatu zona yang paling rawan bencana di dunia, kita ternyata adalah bangsa yang sama sekali tidak terlatih ketika bencana tiba. Kita menjadi bangsa yang mudah panik, misalnya begitu ada isu tsunami yang menyusul gempa. Orang awam tidak tahu, betapa jauh Yogya dari garis pantai, dan betapa besar perbedaan tingginya dari permukaan laut. Tsunami sebesar di Acehpun, yang kekuatan gempanya 1000 kali Yogya, tidak akan mencapai kota Yoyga. Wallahu a’lam.
Kondisi Yogyakarta – dan juga banyak kota-kota lain di Indonesia – yang berabad-abad ayem tentrem ini rupanya telah melenakan. Jangankan siap terhadap bencana, bersyukur kepada Sang Pencipta atas nikmat ini semua saja jarang dilakukan. Mereka bahkan mencari sandaran-sandaran lain, jimat-jimat untuk semakin membuat percaya diri, asuransi-asuransi yang bisa membuat orang tidur nyenyak, dan juga teknologi-teknologi yang dengan itu mereka merasa tidak perlu lagi pasrah kepada Tuhan.
Jepang, suatu negeri yang sangat sering dilanda gempa, telah memberi pelajaran pada kita. Mereka membangun kota-kota dan gedung-gedung tinggi hampir semua dengan konstruksi tahan gempa. Mereka juga secara teratur melatih masyarakat untuk menghadapi situasi darurat. Sistem informasi mereka dirancang untuk segera bisa memberikan bantuan yang cukup jika musibah betul-betul tiba. Bahkan mereka membangun superkomputer yang tercanggih di dunia untuk memprediksi efek berantai suatu becana seperti gempa, tsunami, taifun atau bahkan ledakan nuklir.
Tapi begitu bencana seperti ini melanda, mereka mendapatkan bahwa sandaran-sandaran tadi ternyata serapuh sarang laba-laba. Di manakah itu jimat yang katanya membuat mereka beruntung? Di manakah itu polis asuransi? Mungkin bahkan perusahaan asuransinya ikut gulung tikar karena kantornya roboh dan petugas-petugasnya tewas. Di manakah itu teknologi? Ternyata teknologi tidak selalu sehebat yang mereka kira. Ternyata teknologi juga tidak banyak menolong ketika manusia yang menggunakannya tidak terlatih, panik dan putus asa.
Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembang biakkan padanya segala macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. Inilah ciptaan Allah, maka perlihatkanlah olehmu kepadaku apa yang telah diciptakan oleh sembahan-sembahan (mu) selain Allah. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu berada di dalam kesesatan yang nyata. (Qs. 31-Luqman:10-11)
Kejadian ini seharusnya membuat kita semakin mawas diri. Bagi yang terkena musibah, barangkali ini adalah pintu hidayah, juga pintu pengampunan. Sedang bagi yang tidak terkena, ini adalah pintu amal, juga tanda cinta Allah, bahwa kita masih diberi peran yang lain di dunia ini. Semua yang ada di dunia ini bisa lenyap seketika, dan yang tersisa hanyalah amal. Kita semua sedang diuji, siapa yang lebih baik amalnya.
Tentu saja, kerja keras untuk mengantisipasi bencana tetap harus dilakukan. Demikian juga dengan penggunaan teknologi, sistem informasi serta manajemen antisipasi bencana yang harus makin cerdas. Namun di atas itu semua kita perlu keikhlasan, bahwa di atas kita, ada Kekuatan Maha Perkasa yang menahan lempeng-lempeng benua ini. Kalau Dia menghendaki, dijadikannya material lempeng itu kuat menahan energi geodinamik yang sangat dahsyat. Namun kalau Dia menghendaki, dibiarkannya material itu hancur, sehingga bumi ini bergoyang.
Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: “Ya Rabb-ku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami. Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya. (Qs. 7-al-A’raf:155)