Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar
Penulis “Buku Pintar Calon Haji”, Alumni ESQ Eksekutif Nasional angk. 37.
Setiap tahun minimal dua ratus ribu manusia Indonesia berada di antara hampir tiga juta lebih muslim yang berhaji di tanah suci. Demikianlah sudah berjalan berpuluh tahun. Maka kita pantas bertanya, sejauh mana para haji ini bisa memberi manfaat bagi sekitarnya. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi sekitarnya”.
Sekiranya haji hanya dipandang sekedar rutinitas ritual – apalagi bagi sebagian orang: rutinitas bisnis – niscaya jutaan alumni tanah suci ini hanya menghambur-hamburkan devisa negara. Sama seperti orang yang sholat lima waktu, namun terus saja korupsi (sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar). Atau orang yang puasa namun yang didapat cuma lapar dan hausnya saja.
Ini artinya, para haji harus mampu menghayati inti ajaran haji. Dan tulisan ini mencoba menguraikan secara singkat, bagaimana mendapatkan haji yang transformatif, haji yang mengubah masyarakat, dari masyarakat yang bodoh ke masyarakat yang cerdas, dari masyarakat tertindas ke masyarakat merdeka, dari masyarakat jahiliyah ke masyarakat Islami, tanpa menafikan pluralitas di dalamnya.
Pelajaran Lima Inti Ritual Haji
Haji memiliki lima ritual inti, yakni ihram, thawaf, sa’i, wukuf dan melempar jumrah. Apa pelajaran yang harus dihayati oleh lima inti ritual ini?
Ihram adalah simbol penyucian diri. Sungguh manusia diciptakan dalam keadaan sama, tidak punya apa-apa kecuali ruh sifat-sifat mulia Allah yang ditiupkan dalam dirinya. Karena Allah al-’Adl (yang Maha Adil), maka manusia cenderung suka diperlakukan adil. Karena Allah al-’Alim (Yang Maha Berilmu) maka manusia cenderung suka pada ilmu baru. Dan karena Allah Ar Rahman (Yang Maha Penyayang) maka manusia suka disayang oleh siapapun. Hanya saja, di dunia nyata dijumpai manusia yang berperilaku curang, tidak mau belajar dan kejam pada sesama. Ini terjadi karena fitrah diri mereka tertutup oleh noda-noda kesombongan, kerakusan, kedengkian atau kemalasan. Dari noda-noda inilah hati harus “diihramkan”. Hati yang telah “ihram” akan lebih mudah menerima hidayah, menerima ilmu, sehingga potensi diri yang luar biasa dalam diri manusia bisa dibangkitkan.
Agar bangkit selain dibutuhkan hati yang bersih, juga dibutuhkan pedoman atau SOP, yaitu syari’at-Nya. Pada syari’at ini setiap pribadi yang beriman wajib mengacu atau “berthawaf”. Bulan dan satelit berthawaf mengelilingi bumi. Bumi berthawaf mengelilingi matahari. Bila satelit berhenti berthawaf, maka dia akan hilang atau jatuh. Demikianlah, bila pikiran tidak berthawaf pada syari’at, maka dia akan liar atau beku. Pikiran yang menolak syari’at akan liar mengikuti hawa nafsu, atau bertahan dalam tradisi yang anti modernitas.
Namun tak cukup membuka hati dan mengarahkan pikiran. Aktivitas sehari-hari kita harus dipenuhi dengan kerja nyata, kerja keras, kerja cerdas dan kerja ihlas. Contohlah ibunda Ismail, Siti Hajar, yang tak pernah berputus asa dalam menjemput rizki yang telah disediakan Allah. Pikirannya tak pernah ragu bahwa Allah telah menyediakan rizki bagi setiap mahluknya. Namun dia telah membuktikan langkah menjemput rizki ini dengan sa’i. Maka mari kita “men-sa’i-kan” aktivitas kita selama ini. Aktivitas yang dilandasi keyakinan bahwa Allah pasti memberi peluang sukses, hanya harus kita cari di jalan yang halal secara cerdas.
Setelah rizki didapat, baik itu berupa materi, fisik yang sehat, ilmu yang tinggi, posisi yang dihormati, dan teman yang menyenangkan, maka semua ini perlu dihadirkan di tengah manusia. Inilah falsafah wukuf, hadir di Arafah bersama tiga juta manusia yang didepan Allah hanya dinilai taqwanya. Kita harus mampu “me-wukuf-kan” semua rizki yang kita dapat, karena di depan Allah bukan itu yang dinilai, namun manfaatnya di tengah masyarakat. Apa artinya kekayaan kalau tidak dibagi kepada dhuafa, apa artinya tubuh yang sehat kalau tidak digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, apa artinya ilmu yang tinggi kalau tidak dipakai mencerdaskan umat, apa artinya posisi yang dihormati bila tidak mampu mengayomi rakyat, dan apa artinya teman yang banyak bila tidak mampu saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran. Dan apa artinya tiga juta jama’ah haji berkumpul di Arafah dan satu setengah milyar muslim hadir di dunia, menyembah Tuhan yang satu, mengacu kitab yang satu, berkiblat ke Ka’bah yang satu dan merayakan hari raya yang satu, bila mereka tidak bersatu menjadi Ummatan Waahidan, bersatu memberi rahmat ke seluruh alam dengan menerapkan syariat Islam yang penuh berkah di bawah satu kepemimpinan, Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwwah?
Semua jalan di atas pasti akan diganggu oleh orang-orang yang tidak suka, sebagaimana Sunnatullah iblis yang tidak suka Allah mencipta manusia sebagai wakilnya di muka bumi (Khalifatul fil Ardh) untuk menebar rahmat ke seluruh alam. Karena itu, setan-setan kesombongan, kerakusan, kedengkian dan kemalasan akan terus bergentayangan menghalangi kita. Untuk itu, setan-setan ini harus “dilempari” sebagaimana para hujaj melempar jumrah. Dan setelah dilempar tentu saja mereka tidak boleh “dibawa pulang” alias “direhabilitasi”.
Meng-“ihram”-kan hati, men-“thawaf”-kan pikiran, men-“sai”-kan aktivitas, me-“wukuf”-kan rizki yang diterima dan me-“lempar jumrah” pada penghalang amal kita ini selayaknya mampu dihadirkan oleh siapapun, termasuk oleh mereka yang karena faktor finansial, kesehatan atau quota belum mampu memenuhi panggilan Allah ini. Meski demikian, penghayatan nilai-nilai haji ini tentu saja bukan substitusi dari ibadah haji ke tanah suci. Tentu saja, para haji sepulang dari Mekkah, ditunggu perannya menjadi teladan dan agen dalam transformasi bangsa ini, ke arah yang lebih mulia.