Sepandai apa Anda bisa memasak? Sebatas bikin nasi dengan rice-cooker, mie instant dan telor ceplok? Mau sepuluh tahun hidup nyaris hanya dengan nasi, mie instant dan telor ceplok?
Jelek-jelek begini, saya bisa memasak lebih dari 20 macam resep (di luar yang instant-instant), meskipun tentu saja tidak sejago master chef William Wongso atau Farah Quinn 🙂
Saya belajar memasak pertama kali itu tahun 1976 (kelas 3 SD), karena di sekolah ada acara masak-memasak. Kelompok saya wajib membuat bakwan. Waktu itu, karena pertama kali, saya minta tolong ibu saya menyiapkan bumbu-bumbunya di rumah, terus resep (urutan) yang harus dilakukan. Wah repot sekali, membawa ke sekolah penggorengan, minyak goreng, bahan-bahan bakwan berikut tungku (anglo) dan arang (karena waktu itu kami belum ada yang punya kompor gas, apalagi elpiji 3 kg).
Tapi memang saat itu, sebagai anak laki-laki, saya jarang diajak belajar memasak. Terakhir waktu camping pramuka SMA, saya terpaksa belajar menyiapkan makan satu regu. Sempat sih bikin nasi goreng dan telor dadar, meskipun rasanya nggak rata. Habis itu, teman-teman dan saya sendiri lebih suka jajan di warung terdekat saja. Dengar-dengar anak pramuka jaman sekarang lebih “enak” lagi. Di arena jambore nasional pun sekarang ada banyak restoran cepat saji seperti McDonald, KFC, Pizza Hut, dsb.
Tapi ketika akhirnya tahun 1987 saya harus kuliah di Austria, saya tiba-tiba harus belajar memasak. Otodidak !!! Ceritanya begini:
Hari pertama makan, saya langsung schock dengan harga makanan di sana. Tahun 1987, makan kenyang di kantin Goethe Institut Jakarta itu cuma Rp. 1000,- Nah di kantin Universitaet Innsbruck, itu menu termurah 40 [Austrian] Schilling, yang dengan kurs saat itu sekitar Rp. 7000,- Jadi tujuh kali lipat. Beasiswa saya di Austria memang juga sekitar 7-8 kali lipat penghasilan saya di Jakarta (dari gaji dan tunjangan kursus). Akhirnya, biar tidak terlalu mikirin, saya menganggap kurs 1 Schilling bukan Rp. 175, tapi seolah-olah cuma Rp. 25. Jadi 40 Schilling ya kira-kira sama dengan Rp. 1000,- 🙂 Beasiswa saya saat itu 7000 Schilling. Kalau saya tiap kali makan habis 40 Schilling, kalau sehari 3 kali, itu 120 Schilling, sebulan sudah 3600 Schilling. Padahal untuk sewa kamar sudah 3000 Schilling. Untuk abonemen bus kota sebulan 500 Schilling. Untuk beli buku ? Untuk beli baju winter ? wow, bangkrut … 🙁
Persoalan kedua, saya sering tidak mengerti komposisi menu di kantin. Pernah makan sudah enak-enak gitu (karena lapar), tiba-tiba ada teman basa-basi tanya ke pelayan, “Mbak, ini koq enak resepnya apa?” – Terus si Mbak bilang, “itu pakai speck Mas”. Speck itu apa sih? Lemak Babi ! Waduh. Saya cari di ensiklopedi, benar, speck hanya bisa dibuat dari lemak babi atau lemak ikan paus. Tapi Austria tidak punya laut. Wah jadi pasti dari lemak babi. Repot memang kalau makan di tempat orang, sekalipun enak.
Akhirnya saya mulai coba-coba masak. Repotnya, di kota Innsbruck, yang tidak punya banyak komunitas Asia, nyaris tidak ada yang jual mie instant. Pernah di sebuah toko yang saya mendapatkan sebungkus “nasi goreng instant”, tentu saja nasinya harus ditanak dulu, sedang bumbu sudah siap. Tapi harganya sangat mahal (hampir 75 Schilling untuk seporsi nasi goreng). Akhirnya malah saya terlalu sayang untuk memasaknya. Apalagi kemudian saya mulai belajar masak nasi goreng tanpa bumbu instant.
Pada awalnya, bumbu masak saya untuk bermacam-macam hal nyaris sama. Ada irisan bawang bombay, ada garam, ada bubuk merica dikit, semua dimasukkan ke sedikit minyak goreng, baru kemudian ditambah macam-macam. Kalau bikin nasi goreng, di atas bumbu tadi dimasukkan telor, diaduk-aduk sebentar, lalu dimasukkan nasi, lalu saus tomat. Kecap di Innsbruck tidak ada, jadi saus tomat saja yang selalu ada. Kalau masak dengan daging, maka di atas bumbu tadi dimasukkan rebusan daging ayam atau daging sapi, lalu dituang saus tomat juga. Kadang semuanya dicampur, jadi nasi goreng ayam, atau nasi goreng daging … Pokoknya lezat dech …
Kemudian saya mulai belajar bikin yang lain. Paru sapi di Austria sangat murah. Saya beli, diiris tipis-tipis, dikeringkan di oven, terus dimasukkan ke adukan tepung beras yang telah dicampur garam dan bubuk bawang (knoblauch), digoreng, jadilah peyek paru. Wah, ternyata orang bule juga suka.
Lalu bikin mie. Karena tidak ada mie instant, saya bikin mie dari spagheti. Setelah direbus sampai lunak, saya olah spagheti tadi seperti bikin nasi goreng. Jadi yang dimasukkan bukan nasi tetapi spaghetti. Kalau dibuat mie kuah, ya tinggal dicampuri air atau susu. Biasanya juga ditambah potongan daging. Kalau tetap dibuat spaghetti, ya tinggal dikasih daging cacah goreng dalam saus tomat terus dikasih parutan keju.
Yang paling heboh adalah bikin soup. Awalnya sama, irisan bawang bombay, garam, merica, terus masuk rebusan daging, kaldu ayam Maggie, sayuran (buncis, wortel, kubis, erbsen, terong, tauge), kadang juga sarden tuna, saus tomat, dll. Teman-teman saya kadang bilang, “Fahmi, kamu bikin ramuan tukang sihir ya? Tapi sepertinya lezat. Nanti kalau saya cicipin, lalu saya berubah jadi kodok, semua tahu lho ya, siapa penyebabnya …. ” :-D.
Pas bulan puasa, saya juga bisa bikin kolak roti atau kolak pisang. Tetapi karena tidak ada gula merah (gula jawa), saya pakai coklat untuk memasak !!! Sedang santan kelapa diganti dengan susu !!! Pisangnya juga pakai pisang ambon. Tetapi tetap enak dan khusyu’ lah.
Beberapa bahan memang bikin sendiri. Taoge ya bikin sendiri, di pasar Innsbruck tidak ada yang jual. Telor asin juga bikin sendiri. Tapi mau mencoba bikin telor asin madu belum kesempatan. Yang jelas, hampir tiap hari saya memasak. Kalau hari-hari kuliah, pukul 6 pagi saya sudah memasak. Lama-lama saya bisa masak cepat, sekalipun tidak instan. Alokasi waktunya maksimum 30 menit. Sering cukup 10-15 menit saja. Nanti masakan itu dibagi 3: 1 buat sarapan, 1 buat bekal ke campus, 1 disimpan buat makan malam. Akibatnya, bibi cleaning service-nya nyeletuk, “Fahmi, kamu ini tiap hari makan kayak raja ya?” — soalnya, orang-orang bule kalau ke dapur paling hanya bikin teh atau paling jauh telor dadar. Ah bibi nggak tahu saja, ini kan demi penghematan dan pencarian yang halal. Dengan masak sendiri begini, pengeluaran saya untuk makanan bisa ditekan hingga di bawah 800 Schilling sebulan. Itupun kadang-kadang saya masing menraktir teman makan di tempat saya.
Akhirnya inilah yang saya bisa masak:
1. Nasi goreng (berikut variannya: nasi goreng ayam, nasi goreng daging)
2. Mie goreng (berikut variannya: mie goreng ayam, mie goreng daging)
3. Spaghetti (hampir mirip mie, cuma ada daging cacahnya & parutan keju)
4. Soup (soup ayam, soup daging)
5. Daging berbumbu (kalau di Austria disebut “Gulasch”, kadang dari hati sapi atau ikan)
6. Daging goreng atau ikan goreng (digoreng doang, goreng tepung)
7. Sate (tapi dibakar di atas kompor listrik)
8. Pizza (tepi adonan tepungnya kadang kurang mantap)
9. Sandwich (roti isi daging, sayuran, kadang juga sarden tuna dll).
10. Burger atau Kebab (mirip juga, roti disisipi sosis panggang)
11. Peyek (peyek paru, peyek kacang)
12. Aneka telor (telor dadar, telor ceplok, telor orak-arik)
13. Gado-gado (sayuran dikasih larutan bubuk kacang)
14. Aneka salad (sayuran dikasih mayonaise)
15. Aneka sambal (dari cabe kering italia, diblender, dicampur tomat, atau ikan, dsb …)
16. Kolak (kolak roti, kolak pisang)
…
Ketika tahun 1989 pindah ke Vienna, di sana ada banyak toko Asia. Soal bumbu tidak perlu improvisasi lagi. Jadi dech, dunia kuliner diperluas. Kita coba bikin lumpia, karena kulit lumpianya dijual. Lalu juga semur ayam (atau ayam kecap, wah gak terlalu tahu bedanya). Terus makaroni panggang. Kupat tahu Magelang (tapi tahu di Austria lebih mahal dari daging !!!). Aneka bakso. (mau bakso ikan, bakso ayam, bakso sapi, sudah ada, walaupun bikin sendiri juga bisa, tapi males). Terus gule atau karee (tapi ini mulai pakai bumbu jadi he he … :-). Intinya petualangan kuliner ternyata cukup mengasyikkan. Apalagi ketika kita mencoba resep penemuan kita sendiri. Yang penting halal, murah, sehat, lezat dan cepat. Walaupun sekilas seperti tukang sihir bikin ramuan ajaib. Tetapi ketika saya kemudian menikah, istri saya yang meneruskannya.
Gara-gara lebih sering masak sendiri begini, hingga 10 tahun saya di Austria, saya tetap saja tidak familier dengan kantin campus, baik dari segi menunya maupun harganya. Kalau ada tamu dari Indonesia, saya dan kawan-kawan lebih percaya diri masak sendiri dan menjamu mereka. Ada kawan, dosen dari Makassar yang ternyata pintar bikin Coto Makassar. Sedang teman dosen dari Jogja lebih suka bikin rawon. Kami memasak bersama-sama, jadilah kombinasi menu yang istimewa, yang pasti halal, murah, tidak pakai ngantri, bahkan saking semangatnya, di sela-sela makanan sempat kita kasih bendera merah putih kecil. Kayaknya boleh-boleh saja pakai nasionalisme kalau cuma urusan selera kuliner 🙂