Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suatu hal yang di negeri ini kita merasa paling terpuruk adalah ketertinggalan teknologi. Kita punya banyak doktor lulusan universitas luar negeri, guru besar, peneliti utama dan juara olympiade sains tingkat dunia, namun teknologi kita hampir semuanya diimpor. Teknologi impor itu mahal dan sering harus dibiayai dengan utang luar negeri. Dan utang itulah yang kini membuat kita jadi makin terjajah.
Kita memang bangsa paling doyan membeli teknologi asing. Sebagai contoh, jenis handphone Nokia tercanggih saja di seluruh dunia selalu mulai dijual dari Indonesia. Sayangnya, teknologi ini tidak bisa dikuasai dengan jalan sekedar membeli atau memilikinya. Buktinya, ketika tak lama kemudian muncul model yang lebih baru lagi, kita mau tak mau harus membelinya lagi. Jarang sekali terdengar cerita kita berhasil membuat produk teknologi lokal yang mampu menandingi produk impor.
Realitasnya teknologi hanya dapat benar-benar dikuasai bila faktor-faktor endogen (dorongan dari dalam) suatu bangsa mencukupi. Upaya menyekolahkan anak bangsa ke luar negeri, atau mendatangkan pakar dari luar negeri dalam proyek-proyek di sini, realitasnya tak banyak menghasilkan.
Karena itulah, kemudian pemerintah mencoba sejumlah insentif untuk meningkatkan faktor-faktor endogen yang akan mendorong para peneliti melakukan riset teknologi. Insentif ini dapat berbentuk dana hibah riset yang diberikan dengan cara kompetitif. Cara inilah yang paling bergengsi dan ”dilelang” ke seluruh lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi hingga sejumlah LSM yang terkait riset. Bentuk kedua dari insentif adalah dalam bentuk lomba-lomba ilmiah. Sedang cara yang ketiga adalah dalam bentuk pengurangan pajak (tax-deduction), misalnya dari unit R & D perusahaan-perusahaan besar.
Di masa lalu, insentif yang paling terkenal adalah Riset Unggulan Terpadu, di mana bidang risetnya berorientasi pada taksonomi ilmu. Karena itu dulu akan ada sejumlah proposal yang cukup spesifik dan canggih, yang orang perlu berpikir keras untuk membayangkan aplikasinya.
Kini, semua proposal insentif riset harus memilih satu dari enam bidang aplikasi real, yaitu (1) pangan; (2) energi; (3) kesehatan; (4) transportasi; (5) informasi & komunikasi; dan (6) hankam. Bidang aplikasi hankam mencakup juga aplikasi untuk penanggulangan bencana.
Ini berarti bidang ilmu apapun harus diarahkan untuk mendukung enam bidang aplikasi tadi, termasuk ilmu-ilmu sosial atau bahkan ilmu-ilmu agama. Artinya, seorang fisikawan nuklir boleh saja mengusulkan riset, tetapi harus diarahkan menurut aplikasinya misalnya (1) nuklir untuk memuliakan varitas tanaman padi; (2) aspek-aspek dalam pembangkitan energi nuklir; (3) nuklir untuk terapi kanker; (4) masalah pengangkutan bahan bakar nuklir; (5) sistem informasi keselamatan reaktor; dan (6) masalah-masalah nuklir dalam pertahanan.
Sedang ahli geografi dapat meneliti misalnya (1) analisis kesesuaian lahan tanaman pangan; (2) GIS untuk optimasi lokasi pengembangan energi nabati (biofuel) skala besar; (3) mempelajari pola penyebaran flu burung secara spasial; (4) sistem informasi posisi bagi optimasi armada angkutan; (5) analisis spasial untuk optimasi posisi stasiun transceiver; (6) model spasial untuk evakuasi tanggap darurat.
Demikian juga, peneliti ilmu-ilmu sosial (termasuk agama) dapat meneliti misalnya (1) Masalah-masalah kultural dalam diversifikasi pola makanan; (2) Respon masyarakat dan dunia industri atas inisiatif energi pemerintah; (3) Korelasi pelayanan kesehatan dengan indeks kesehatan masyarakat; (4) Dampak makro kehadiran busway pada mobilitas warga Jakarta; (5) Hubungan densitas ponsel pada kualitas SDM; (6) Mengukur kepedulian masyarakat pada bencana.
Pada tahun 2007, dari sekitar 8000-an pejabat fungsional peneliti dan puluhan ribu dosen dan peneliti di perguruan tinggi di seluruh Indonesia, masuk sekitar 5000-an proposal. Dari jumlah yang lumayan ini kemudian akan diseleksi dan nantinya mungkin hanya sekitar 10% yang akan dikabulkan untuk didanai. Secara nominal insentif riset ini memang tak terlalu besar, yakni hanya berkisar 100 – 500 juta Rupiah per judul per tahun. Ini termasuk untuk honor, keperluan pengadaan alat dan bahan, perjalanan dan lain-lain.
Anggaran riset di negeri ini memang masih teramat kecil dibandingkan APBN, apalagi dibandingkan Produk Domestik Bruto yang hanya 0,05 %. Bandingkan dengan Malaysia (0,69%), Singapura (1,89%), atau Jepang (3,12%).
Secara umum perbandingan para peneliti dengan pekerja juga menunjukkan Indonesia sangat rendah. Kita hanya memiliki 5 peneliti per 10.000 pekerja. Bandingkan dengan Malaysia (8), Korea (64) dan Jepang (99). Ini baru dari segi kuantitas. Kualitasnya pun masih payah.
Output
Selama ini program-program insentif riset masih belum menunjukkan output yang maksimal. Output riset baru sebatas publikasi ilmiah saja – ini saja sering hanya publikasi lokal yang hanya diketahui kalangan terbatas. Para peneliti hanya hidup di dunia mereka sendiri. Jarang yang berusaha untuk juga membawa hasil-hasil temuannya agar dipakai masyarakat. Atau mungkin mereka menganggap itu sudah tugas orang atau lembaga lain? Repotnya bila orang atau lembaga yang dimaksud juga merasa tidak percaya diri untuk melakukan fungsi sosialisasi atau diseminasi produk hasil penelitian itu. Atau jangan-jangan hasil penelitian itu sendiri memang belum ”layak”?
Sebagai contoh Balai Besar Teknologi Tepat Guna milik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan dari 60 penemuan TTG baru 5 yang dipakai luas di masyarakat (Kompas 19/6). Ada dugaan kuat bahwa ini semua karena ”mental inlander” yang masih menjamur di kalangan pengusaha ditambah hobby para penguasa yang hanya berburu rente (komisi proyek).
Di Indonesia ada ratusan Pusat, Balai Besar, Balai maupun Loka Penelitian berbagai ukuran dan tersebar di seluruh penjuru. Namun gaung mereka kurang terdengar. Meski pemerintah sudah membuat berbagai insentif riset, namun bila visi ilmiah ini tidak merata baik di pelaku penelitian, mahasiswa, pengusaha maupun para pejabat publik, maka sulit diharapkan teknologi kita akan berkembang.
Faktanya yang hidup di masyarakat justru budaya-budaya instan. Orang lebih tergiur menjadi kaya mendadak dengan ikut ajang-ajang untuk menjadi selebriti. Budaya mistik, tahayul dan gaya hidup hedonis justru disebarkan media massa. Dan para pejabat publik yang ”gaptek” tidak malu untuk bicara yang tidak didasari fakta ilmiah.
Walhasil meski ada insentif riset, banyak peneliti yang semi frustrasi, dan lalu lebih sering ”melacurkan diri” sebagai pengamat dan ”pengamen”, bukan sebagai pelaku riset yang menghasilkan karya-karya bermanfaat bagi ummat.