Sekarang syariah sudah mulai “nge-trend”. Di mana-mana orang sudah semakin tidak “phobi” atau “risih” dengan label syariah. Sudah semakin banyak bank atau asuransi berlabel syariah. Bahkan hotel dan restoran syariah pun muncul bak cendawan di musim hujan.
Tentu saja orang masih bisa berdebat sejauh mana syariah benar-benar ada pada lembaga-lembaga itu. Maka sudah saatnya dirumuskan indikator suatu hal disebut “sesuai syariah”, agar pelabelan itu bisa terukur, sehinga yang sudah bisa dipertahankan, dan yang kurang bisa dilengkapi.
Maka lalu muncul pertanyaan, seperti apa “kota syariah” itu? Apakah sekadar kota yang tak ada maksiat di dalamnya? Tak ada lokalisasi pelacuran, tak ada miras, tak ada judi, tak ada diskotik atau “salon aneh-aneh”? Atau kota syariah adalah sebuah kota yang “menggiring” (tak cuma memfasilitasi) seluruh warganya agar melaksanakan seluruh syariah?
Beberapa walikota di Indonesia mendapat penghargaan internasional atas keberhasilannya membangun kota yang lebih humanis, kota yang tidak dilalap oleh gegap gempita investasi, kota yang juga untuk mereka yang lemah dan kurang beruntung. Sedang kota syariah adalah sebuah kota yang dirancang sedemikian rupa sehingga membuat mudah semua orang untuk selamat agamanya; sehat fisik, jiwa dan sosialnya; meningkat ilmu dan kecerdasannya; berkah rezekinya; dan mereka dapat meninggalkan dunia dengan khusnul khatimah.
Tentu saja, kota syariah pasti bukan kota yang setiap hari dihantui kesemrawutan atau kemacetan di jalanan, banjir setiap musim hujan, kumuh permukimannya, tidak aman jalanannya dan rawan terhadap bencana apa saja. (more…)