Dr. Fahmi Amhar
Berapa usia rata-rata kita sekarang? Dapat usia 70 tahun sudah termasuk istimewa, apalagi bila masih sehat, masih bisa jalan sendiri kemana-mana, masih bisa makan tanpa pantangan, dan masih mudah melihat dan mendengar apa saja. Dalam 70 tahun itu, kira-kira berapa pengalaman yang dapat kita kumpulkan? Berapa kota yang dapat kita kunjungi? Berapa makanan yang dapat kita cicipi? Berapa orang yang dapat kita ajak berdiskusi? Kita bisa mengukur dari yang kita raih hingga usia kita sekarang. Dan ternyata: sangat sedikit!
Namun ada orang-orang yang pengalamannya jauh melebihi usianya. Dan pada sisi lain, ada orang-orang yang usia kontributifnya jauh melebihi usia biologisnya. Keduanya sama-sama berterimakasih pada apa yang disebut: biografi.
Biografi adalah riwayat tentang orang-orang, baik orang itu sangat terkenal seperti pemimpin politis tertinggi atau artis papan atas, maupun yang kurang terkenal seperti seorang tukang penjaga kuda di pasar (kalau sekarang mungkin tukang parkir). Namun membaca biografi seakan menyerap sari pati pengalaman seseorang. Kalau kita membaca sepuluh biografi, di mana rata-rata tokoh yang diceritakan berusia 70 tahun, maka seakan-akan kita telah berusia 700 tahun. Di sisi lain, kisah-kisah inspiratif dari tokoh yang diceritakan itu akan berkontribusi dalam hidup kita. Itulah yang membuat para tokoh itu seakan-akan hidup lebih panjang dari usia biologisnya.
Tradisi menulis biografi sudah ada sejak zaman Yunani kuno. Namun tradisi ini menguat di zaman Islam, karena ada sebuah kepentingan yang luar biasa, yaitu menjaga kemurnian hadits. Berbeda dengan Qur’an yang terjaga redaksi maupun substansinya dengan bahasa al-Quran itu sendiri, sehingga kesalahan dapat dikenali dengan sendirinya; hadits tidak memiliki mekanisme itu. Hadits hanya dapat dijaga dengan kredibilitas mata rantai (sanad) periwayatnya (rawi). Dan untuk itu diperlukan informasi tentang semua orang yang menjadi mata rantai, itulah “Ilm ar-Rijaal”, atau “biografi kritis”. Begitu pentingnya ilmu kritik biografi ini, sampai-sampai Ali ibn al-Madini, penulis biografi kritis awal mengatakan, “Mengetahui rawi adalah setengah dari pengetahuan”.
Dan soal rawi ini, ternyata tak hanya relevan untuk ilmu hadits, tetapi juga untuk sains modern, yakni ketika menilai tingkat akurasi data yang dikumpulkan di lab atau di lapangan. Dalam sains modern, ada tiga jenis kebenaran: Pertama adalah kebenaran deduktif, yakni kebenaran karena hasil kreatifitas. Adalah pasti benar ketika perusahaan Research In Motion (RIM) menyebut produknya “Blackberry”, karena gadget canggih itu hasil kreativitas mereka, jadi mereka punya wewenang penuh menamainya demikian. Kedua adalah kebenaran induktif, yakni penarikan kesimpulan dari berbagai hal. Kebenaran ini hanya tergantung pada sejauh mana akurasi data yang digunakan dan sejauh mana penarikan kesimpulan itu logis atau tidak mensisakan kejanggalan. Jadi kebenaran induktif tidak tergantung pada siapa yang berbicara, soleh tidak, sarjana tidak, punya wewenang tidak. Ketiga adalah kebenaran naratif, yaitu menyampaikan data dari medan kenyataan ke pengguna apa adanya. Di sinilah, kebenaran tergantung kepada narator, apakah dia akurat, apakah integritasnya dikenal?
Di zaman modern ini ada ilmuwan-ilmuwan yang dikenal sangat hati-hati dalam menyampaikan data, tetapi ada pula yang justru biasa membungkus data sedemikian rupa – bahkan dengan statistik – untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak etis atau bahkan melanggar hukum. Mereka inilah yang sampai membuat bursa efek hancur, padahal sebelumnya prediksi pertumbuhan ekonomi begitu cerah. Seorang pakar statistik Darel Huff sampai menulis buku “Lie with Statistics” – untuk menelanjangi cara-cara berdusta dengan statistik.
Ilmu kritik biografi dimulai pada generasi tabi’in, seperti dikatakan Muhammad ibn Sirin, “Sebelumnya mereka tak bertanya tentang sanad, sampai akhirnya ada kekacauan pasca kemelut Ali-Mu’awiyah, sehingga mereka bertanya, ‘Sebut para rawimu!’.” Maka ahli sunnah akan diterima haditsnya, sedang ahli bid’ah tidak. Pada generasi setelah itu, rawi yang lemah semakin banyak, sehingga muncul ulama yang mengkhususkan diri pada klarifikasi mutu rawi untuk memisahkan hadits yang asli dari yang palsu.
Menurut Ibn as-Salah, ahli kritik biografi pertama adalah Syu’bah ibn al-Hajjaj, diikuti oleh Yahya ibn Sa’id al-Qattan, Ahman ibn Hanbal dan Yahya ibn Ma’in. Al-Bulqini menambah beberapa nama seperti Ali ibn al-Madini dan Amr ibn Ali al Fallas, lalu Malik ibn Anas dan Hisyam ibn Urwah.
Para rawi itu dinilai dari kondisi: lurus (al-‘adalah) yang menyangkut moral (taqwa) dan kesalehan sosial (al-muru’ah), dan presisi (al-ḍabṭ) yang terkait presisi ingatan dan presisi catatan. Banyak metode evaluasi para narator ini, mulai dari menanyakan tingkat religiositasnya pada ulama lain sezaman, dan kalau sang narator mengatakan dia mendengar hadits dari seseorang yang sudah wafat, maka ditanya kapan bertemunya, di mana, kemudian dibandingkan dengan catatan-catatan lain untuk menguji apakah ceritanya itu akurat. Kalau ceritanya itu bertentangan dengan fakta yang lain, maka seluruh isi narasinya akan menjadi lemah.
Apapun yang terjadi dalam proses ini, maka ilmu biografi menjadi hidup. Dan orang yang menuliskan sejarah pun menjadi hati-hati, agar tidak asal menuliskan apa yang diceritakan seseorang, tetapi juga menguji bahwa orang yang meriwayatkan itu akurat, tidak asal cerita sesuai versi dan kepentingannya.
Hasilnya, ada dua: pertama, kita mewarisi sebuah tradisi ilmu untuk menjaga kemurnian penyampaian data, dari para peneliti yang melihat dekat fenomena ke mereka yang sulit atau tidak akan pernah sampai ke fenomena itu. Tradisi ini merasuk baik pada ilmuwan sosial maupun ilmuwan alam, kecuali pada segelintir mereka yang hanya mencari popularitas atau uang dengan cara yang haram.
Kedua, kita mewarisi satu koleksi raksasa biografi orang-orang terdahulu yang luar biasa, yang pengalamannya maupun integritasnya dapat menginspirasi kita.
Alhamdulillah tradisi biografi ini masih berlanjut hingga hari ini. Dr. Muhammad Akram Nadwi, seorang ilmuwan muslim yang mendapat beasiswa dari Oxford Center for Islamic Studies, menulis buku berbahasa Inggris berjudul: Al-Muhaddithat: The Women Scholars in Islam, London and Oxford: Interface Publications; 2007. Buku ini menceritakan biografi ratusan wanita yang bekerja keras berkelana dari satu majelis ilmu ke majelis ilmu yang lain di berbagai penjuru dunia untuk mengumpulkan hadits. Buku itu menunjukkan bukti yang gamblang tentang partisipasi tingkat tinggi para muslimah dalam menciptakan warisan kebudayaan Islam.
Apakah anda termasuk tipe orang yang sehat, yaitu yang berpandangan hidup positif, cukup gizi, dan cukup gerak? Dewasa ini makin banyak orang yang kurang gerak. Mereka lebih banyak menghabiskan waktunya di atas kursi atau kendaraan. Bahkan untuk jarak tak sampai seratus meter saja, ada yang memilih naik kendaraan bermotor. Walhasil mereka lebih mudah tersengal-sengal ketika harus berjalan kaki saat tak ada kendaraan, apalagi berlari-lari mengejar pesawat. Karena itu makin banyak pula yang mengalami keluhan pada organ pernafasannya, baik yang ringan seperti tenggorokan, maupun yang berat seperti jantung. Serangan jantung menjadi pembunuh nomor satu. Dan operasi jantung menjadi rutinitas.
Namun jarang orang tahu, bahwa tanpa seorang ilmuwan muslim abad 13 M, operasi jantung itu mungkin masih jadi angan-angan. Orang itu adalah Alauddin Abu al Hassan Ali ibn Abi Hazm al-Quraisyi al Dimashqi atau lebih dikenal dengan nama Ibn an-Nafis, yang lahir 1213 M di Damaskus dan kemudian bekerja di Cairo.
Ibn an-Nafis, seperti banyak ilmuwan di masa Daulah Khilafah, adalah seorang polymath (pakar berbagai ilmu), yaitu ahli hadits, faqih madzhab Syafi’i, ahli bahasa, astronom, dokter bedah, ahli mata, dan ahli jantung.
Ibn an-Nafis adalah orang pertama yang menggambarkan sirkulasi darah di jantung dengan benar. Penemuannya ini membatalkan teori yang telah berusia 1000 tahun dari Galen, sang filsuf Yunani. Ibn an-Nafis menyatakan bahwa darah di jantung bilik kanan akan menuju bilik kiri hanya melalui paru-paru, dan bukan lewat pori-pori antar bilik sebagaimana diteorikan Galen. Teori Ibn an-Nafis ini menurut sejarawan ilmu George Sarton, jauh mendahului William Harvey, yang dianggap penemu peredaran darah dari abad 17.
Namun tidak hanya soal peredaran darah di jantung. Ibn an-Nafis juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami peredaran darah ke otak, cara kerja otot, syaraf dan mata. Kaitan antara peredaran darah, otak dan syaraf sangat penting dalam penanggulangan serangan stroke.
Dalam kaitan dengan syaraf ini, dia membedakan antara jiwa (soul) dan ruh (spirit) seraya menolak ide Ibnu Sina maupun Aristoteles yang menganggap bahwa jiwa berada di jantung. Ibn an-Nafis berargumentasi bahwa jiwa terkait dengan keseluruhan, bukan satu atau beberapa organ. Kesimpulannya “jiwa berhubungan dengan segala zat yang temperamennya disiapkan untuk menerima jiwa”, dan “jiwa tidak lain adalah kemampuan manusia untuk menyadari dirinya”. Sedang tubuh adalah terkait kemampuan pengenalan (cognition), perasaan (sensation), khayalan (imagination) dan naluri (animal locomotion), dan ini bukan berasal dari jantung melainkan dari otak.
Selain itu Ibn an-Nafis mengkritik habis teori embriyologi (pembentukan janin) baik dari Galen, Aristoteles maupun Ibnu Sina. Dia berpendapat bahwa sperma laki-laki maupun sel telur perempuan memiliki peluang yang sama untuk mendominasi sifat-sifat janin, tidak selalu laki-laki selalu mendominasi seperti teori sebelumnya.
Pengetahuan Ibn an-Nafis yang luar biasa tak lain juga karena dia adalah pelopor kedokteran eksperimental, termasuk dari bedah mayat. Dengan itu dia berhasil mengembangkan pemahaman yang lebih akurat atas berbagai proses metabolisme, sistem anatomi, fisiologi, psikologi dan pulsology, yang sebagian menggantikan teori penduhulunya, termasuk dari Ibnu Sina.
Pada 1242 M, saat usianya baru 29 tahun, Ibn an-Nafis mempublikasikan karyanya yang paling terkenal, yaitu Syarah Tasyrih al-Qanun Ibn Sina atau komentar atas buku Ensiklopedi Kedokteran Ibnu Sina. Setelah itu dia praktis menulis buku tandingan, The Comprehensive Book of Medicine, yang mencapai 43 jilid saat usianya 31 tahun. Sepanjang hidupnya, dia menulis sekitar 300 jilid, meski hanya 80 yang sempat dipublikasikan sebelum wafatnya. Inilah ensiklopedi kedokteran terbesar hingga saat itu.
Pada jilid 33, 42 dan 43 dari ensiklopedi ini, dia merinci tatacara operasi bedah yang untuk kuliahnya dibagi dalam tiga “ta’lim”. Ta’lim pertama tentang prinsip-prinsip bedah. Di sini dia merinci tahapan-tahapan operasi dan peran serta dari pasien, dokter maupun perawat di setiap tahap. Ta’lim kedua tentang peralatan bedah. Sedang ta’lim ketiga membahas segala jenis operasi yang telah dikenal hingga saat itu.
Selain yang bersifat pengobatan, Ibn an-Nafis juga menulis kitab diet untuk membantu penyembuhan dan mencegah sakit. Kitab ini berjudul Mukhtar fil-Aghdhiya (The Choice of Foodstuffs). Dia lebih suka bila pasien mengontrol makanannya daripada memberi resep obat.
Selain di profesi keilmuwannya ini, Ibn an-Nafis juga menulis beberapa novel sastra. Salah satu karyanya berjudul Al-Risalah al-Kamiliyyah fil Sirah an-Nabawiyyah (Kehadiran Kamil pada Sejarah Nabi). Ini adalah novel pertama yang tergolong “novel-teologis” dan sekaligus ber-genre “fiksi ilmiah”. Novel ini telah diterjemahkan ke bahasa latin dengan judul “Theologus Autodidactus”. Novel ini bercerita tentang protagonis bernama Kamil, seorang pembelajar autodidak yang tiba-tiba hidup di sebuah pulau terpencil. Dia baru kontak dengan dunia luar setelah kedatangan kapal yang terdampar di pulau itu dan membawanya kembali ke dunia berperadaban. Plot cerita ini berkembang menjadi fiksi ilmiah ketika klimaksnya adalah bencana dahsyat yang mendekati hari kiamat (idenya mirip film 2012). Melalui novelnya ini Ibn an-Nafis menyampaikan berbagai pemikiran filosofisnya terkait keharusan adanya Tuhan, kehidupan, peran para Nabi, asal usul manusia, prediksi masa depan, hari kebangkitan dan sebagainya. Penguasaannya yang baik atas bahasa dan pengetahuannya yang luas tentang biologi, astronomi dan geologi membuat novel ini ramuan yang sangat menarik antara agama, sastra dan sains.
Ibn an-Nafis hidup di masa kemelut politik yang melanda Daulah, terutama Perang Salib dan Serangan Tartar atas Baghdad yang mencapai Suriah. Inilah yang membuat dia hijrah ke Mesir. Kehancuran Baghdad yang juga memusnahkan jutaan buku mendorong Ibn An-Nafis dan banyak ilmuwan Islam lainnya untuk menulis kembali semua pengetahuan mereka untuk menyelamatkan khazanah pengetahuan dunia Islam. Mereka telah “menyambungkan nafas” ilmiah dunia Islam, hingga kejayaannya masih bertahan enam abad kemudian.
Dr. Fahmi Amhar
Pelantikan Menteri Kesehatan yang baru pada KIB jilid-2 sempat menimbulkan kontroversi. Pasalnya, yang terpilih justru orang yang luput dari media. Apalagi ada cerita bahwa dia sempat dimutasikan oleh Menteri sebelumnya gara-gara membawa virus ke luar negeri tanpa ijin serta kedekatannya dengan NAMRU-2, lab angkatan laut AS yang bermasalah.
Namun ada pula pihak yang melihat dari sisi lain. Selama ini Menteri Kesehatan selalu seorang “klinisi”, yakni dokter yang profesi sehari-harinya merawat orang sakit. Sedang Menkes baru ini bukan klinisi, tetapi dokter yang sehari-harinya meneliti penyakit menular. Seorang klinisi berdiri di hilir (kuratif). Sedang peneliti penyakit menular berdiri di hulu (preventif) – mencegah orang sakit.
Kita tidak akan memperbicangkan sosok Menkes yang baru lebih jauh. Tetapi kita akan melihat bahwa dalam sejarah peradaban Islam yang panjang, baik kegiatan preventif maupun kuratif sama-sama mendapat perhatian yang proporsional.
Rasulullah banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menekankan kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengkonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.
Namun Rasulullah juga menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal saat itu, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam. Beliau juga menjadikan seorang dokter yang dihadiahkan oleh Raja Mesir kepada dirinya sebagai dokter publik. Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik penyerbukan di dunia pertanian, namun dipahami oleh generasi muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah latar belakang sehingga dalam beberapa abad kaum muslim benar-benar memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara preventif maupun kuratif, baik di teknologinya maupun manajemennya.
Muslim ilmuwan pertama yang terkenal berjasa luar biasa adalah Jabir al Hayan atau Geber (721-815 M). Beliau menemukan teknologi destilasi, pemurnian alkohol untuk disinfektan, serta mendirikan apotik yang pertama di dunia yakni di Baghdad. Banu Musa (800-873 M) menemukan masker gas untuk dipakai para pekerja pertambangan dan industri sehingga tingkat kesehatan para pekerja dapat diperbaiki. Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi. Kemudian bersama-sama Tsabit bin Qurra dan Ibn al Jazzar juga menemukan cara awal penanganan disfungsi ereksi.
Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata! Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim al-Zahrawi menemukan plaster adhesive untuk mengobati luka dengan cepat. Penemuan ini sangat membantu pasukan Islam di medan jihad. Al-Zahrawi juga mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janin dalam kandungannya mati.
Pada 1037 Ibnu Sina menemukan thermometer, meski standarisasinya baru dilakukan oleh Celcius dan Fahrenheit berabad-abad kemudian. Ibnu Sina juga sangat dikenal karena bukunya Qanun fi-at-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan (pharmacopoeia) yang nyaris menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18.
Semua penemuan teknologi ini tentunya sia-sia bila tidak diaplikasikan. Aplikasi ini hanya akan berhasil bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang terlanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.
Adalah menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.
Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Meski demikian, negara membangun rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah. Bahkan, pada tahun 800 M di Bagdad sudah dibangun rumah sakit jiwa yang pertama di dunia. Sebelumnya pasien jiwa hanya diisolir dan paling jauh dicoba diterapi dengan ruqyah.
Rumah-rumah sakit ini bahkan menjadi favorit para pelancong asing yang ingin mencicipi sedikit kemewahan tanpa biaya, karena seluruh rumah sakit di Daulah Khilafah bebas biaya. Namun pada hari keempat, bila terbukti mereka tidak sakit, mereka akan disuruh pergi, karena kewajiban menjamu musafir hanya tiga hari.
Banyak individu yang ingin berkontribusi dalam amal ini. Negara memfasilitasi dengan membentuk lembaga wakaf (charitable trust) yang menjadikan makin banyak madrasah dan fasilitas kesehatan bebas biaya. Model ini pada saat itu adalah yang pertama di dunia.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama urusan masing-masing untuk menjaga kesehatan. Namun urusan sehat juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengkonsumsi madu atau habatus saudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi kedokteran, jauh di atas bekam, madu atau habatus saudah (yang di abad-21 ini kembali diagungkan sebagai Thibbun Nabawi).