Telaah buku Imunisasi, dampak dan konspirasi.
(sumber: http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=380:telaah-buku-imunisasi-dampak-dan-konspirasi&catid=89:artikel&Itemid=121)
Jakarta, 5 April 2009
Telah buku ini merupakan bahan untuk Seminar tentang “Vaksinasi dan Problematika di Bidang Kesehatan. Seminar ini diadakan di Auditorium UIN Jakarta pada tanggal 14 Maret 2009.
Hasil lengkap atas telaah buku Imunisasi, dampak dan konsporasi, dapat dibaca pada uraian berikut:
Bab -1. Mukaddimah
Secara garis besar penulis menganjurkan pengobatan : ”back to nature”, beliau menganjurkan makanan alami.
Hal 7 .
”Dilema yang sangat tajam dan membahayakan umat muslim belum terungkap ketengah masyarakat sehingga dengan suka rela, terpaksa maupun dipaksa, vaksin meningitis terus dimasukkan kedalam tubuh para jemaah haji”.
Penjelasan
Vaksinasi meningitis yang diberikan kepada calon jemaah haji adalah meningitis meningokokus. Sedangkan bakteri penyebab meningitis meningokus yaitu Neisseria meningitidis tidak ditemukan di Indonesia. Apa akibatnya? Akibatnya semua masyarakat Indonesia belum pernah terinfeksi meningitis meningokokus sehingga tidak mempunyai Kekebalan (antibodi) terhadap bakteri meningokokus. Hal ini sangat berbahaya untuk calon jemaah haji yang akan bertemu dengan jemaah lain dari negara-negara Afrika yang mempunyai bakteri N.meningitidis di tenggorokannya (orang yan mengandung bakteri namun tidak sakit disebut karier. Oleh karena itu, semua jemaah haji yang akan berkumpul di Mekah, Arafah, Mina, dan Madinah di haruskan mendapat suntikan imunisasi meningitis tersebut, agar tidak menderita meningitis.
Perlu dijelaskan bahwa vaksin meningitis meningokok ada 4 serotipe (A-C-Y-W135), jadi harus diamati dahulu apakah vaksin yang akan disuntikkan berisi keempat serotipe yang diperlukan tersebut. Hal lain yang harus diperhatian ialah setelah mendapat suntikan vaksin meningitis kekebalan baru mencapai kadar pencegahan setelah dua minggu. Jadi minimal imunisasi untuk calon jemaah haji harus diberikan dua minggu sebelum berangkat ke Saudi Arabia.
Bab-2 : Seputar masalah vaksin
Hal 12, baris ke 4 : ”Sekarang ini vaksin oral (maksudnya polio) tidak lagi dianjurkan karena terbukti menyebabkan polio pada beberapa penerimanya dan orang-orang yang berkontak akrab dengan mereka yang baru di vaksinasi ”.
Dasar pemikiran ini tidak benar : (akan dilengkapi)
Dengan hanya 5 putaran PIN dan 3 putaran SubPIN (mohon dikoreksi jumlah putarannya) menggunakan vaksin oral polio telah berhasil membebaskan Indonesia dari KLB polio. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan untuk melaksanakan PIN, berapa jumlah anak yang meninggal ataupun cacat akibat KLB polio tersebut.
VDPV (vaccine derived polio virus) dapat terjadi pada anak yang belum pernah diimunisasi sehingga tertular dari vaksin yang berada di dalam tinja recipient yang mencemari lingkungan. Oleh karena itu cakupan imunisasi harus tinggi, mendekati 100%. Kejadian VDPV adalah 1 diantara 2 juta dosis vaksin OPV.
Penjelasan
Dengan hanya 5 putaran PIN (mohon dikoreksi jumlah putarannya) menggunakan vaksin oral polio telah berhasil membebaskan Indonesia dari KLB polio. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila pemerintah tidak cepat mengambil kebijakan untuk melaksanakan PIN, berapa jumlah anak yang meninggal ataupun cacat akibat KLB polio tersebut. Tercatat kita memiliki kasus polio sebanyak 306. Saat ini kasus terakhir terlaporkan tanggal 20 Februari 2006 di Aceh Tenggara, jadi sudah 3 tahun kita tidak ada laporan kasus polio lagi. Kita tetap harus menunggu negara tetangga lainnya sampai tidak ada kasus polio lagi.
Hal : 13
Vaksin gondang mungkin yang dimaksud vaksin gondongan atau mumps.
Hal 12 – 27
Sulit untuk dipahami (mengenai zat yang dikandung dan tata cara pembuatan vaksin) hal ini juga dapat menunjukkan sebenarnya penulis tidak paham mengenai pembuatan vaksin.
Hal 17
Neomisin ditemukan pada vaksin MMR dan Polio
Penjelasan
vaksin polio tidak mengandung unsur neomisin
Hal 18
Streptomisin
Penjelasan
tidak ada unsur streptomisin dalam vaksin polio.
Hal 26
pembuatan vaksin berasal dari embryo manusia Ada 3 cell line yang mendominasi pasar : · WI:38 : produksi Wistar Institute Philadelpia (dikembangkan Dr L Heyliflik, 1962) berasal dari sel paru embrio perempuan berusia 3 bulan yang mengalami aborsi.
· MCR-5: produk Medical Research Council (MRC) Inggris 1966, berasal dari sel paru-paru embrio laki2 berusia 14 minggu yang sengaja di aborsi oleh ibunya karena alasan kejiwaan.
· PER C6 dibuat Dr alex van der Eb dari retina embrio berusia 18 minggu yang sengaja di aborsi oleh ibunya. (sumber : Prof Jurnalis, seminar Farsi , 17 April 2007)
Penjelasan
No human cells are actually present in the vaccine, and no abortions are conducted specifically for the purpose of harvesting cell lines.
Tidak ada sel manusia yang terdapat dalam vaksin, dan tidak ada aborsi yang dilakukan spesifik untuk tujuan mendapatkan kultur sel.
Ethicists at the US National Catholic Bioethics Center have concluded that the association between certain vaccines and abortion was non- complicit, and thus use of these vaccines is not contrary to a religious opposition to abortion.27.
Para ahli Etika di US National Catholic Bioethics Center telah menyimpulkan bahwa hubungan antara vaksin tertentu dan aborsi tidak saling terkait, sehingga penggunaan vaksin tidak bertentangan dengan aliran relijius yang menentang aborsi. Atau dapat diterjemahkan bebas sbb: masalah aborsi tidak terlibat dalam pembuatan vaksin
Sumber : CLINICAL UPDATE :Vaccine components and constituents: responding to consumer concerns, Barbara E Eldred, Angela J Dean, Treasure M McGuire and Allan L Nash (Volume 184 Number 4 20 February 2006).
Pro dan kontra sebenarnya Tahun 1962, hal tsb terjadi 37 tahun yang lalu dimana saat ini dengan berkembang pesatnya kemajuan teknologi pembuatan vaksin yang lebih aman sehingga dengan teknologi rekombinan, vaksin polisacharida, conjugated dsb.
Program imunisasi dasar Departemen Kesehatan yang telah dimulai sejak tahun 1970-an memakai produksi dalam negeri yaitu P.T. Bio Farma, dan telah diklarifikasi bahwa tidak ada embryo manusia ataupun produk dari manusia yang dipakai untuk pembuatan vaksin.
Hal 27
UUD kesehatan :
antara lain program imunisasi massal mempunyai sasaran utama yaitu bayi dan anak-anak, kepada orang tuanya dikatakan bahwa mereka harus menerima dosis ganda dari 10 vaksin yang berbeda sejak kelahiran sampai usia lima tahun.
Penjelasan
Vaksin didalam program imunisasi ada 7 penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (yaitu BCG terhadap TBC, Polio, campak DPT (difteri, tetanus dan pertusis, hepatitiS B dab campak). Vaksinnya ada 5 macam, untuk mencegah penyakitnya 7, bukan 10.
Hal 28
Imunitas kelompok adalah tingkat di mana suatu populasi tertentu bisa bertahan terhadap penyakit. Untuk mencapai tingkat imunitas kelompok yang tinggi, kelompok yang berpihak pada imunisasi massal berusaha untuk mencapai angka vaksinasi yang setinggi mungkin dengan harapan nyaris setiap orang di dalam kelompok yang terpilih akan terlindungi dari penyakit. Salah satu argumentasi utama mereka yang menentang imunisaisi massal pada anak-anak adalah bahwa lain dalam area vaksinansi wajib memiliki sikap ” satu ukuran untuk semua orang” yang sangat berbahaya.
Penjelasan
Imunitas kelompok : maksud nya adalah ”herd immunity” atau ”community immunity”, bukan kelompok pro dan kontra imunisasi. Vaksin diberikan kepada perorangan untuk melindungi orang tersebut dari penyakit. Pemberian vaksin kepada perorangan ini juga memberikan perlindungan kepada kelompok masyarakat. Bagaimana ini bisa terjadi? Imunisai akan menginduksi pembentukan kekebalan dengan tingkat kekebalan pada orang yang bersangkutan secara langsung. Sebagian orang yang tidak divaksinasi ( yang rentan) bisa ”terlindungi (tidak sakit)” secara tidak langsung karena berada di tengah-tengah kelompok orang orang yang tervaksinasi. Dengan demikian penyebaran bibit penyakit dari orang yang terinfeksi (penularan) kepada orang yang rentan bisa terputus.
Bukti adanya imunitas kelompok adalah terbasminya virus cacar dari muka bumi, padahal pemerintah setiap negara sebetulnya tidak mampu mengimunisasi 100% penduduknya Semakin rendah tingkat kemampuan pemerintah mengimunisasi penduduknya, akan semakin rendah kemungkinan terbentuknya imunitas kelompok.Imunitas kelompok juga dipengaruhi oleh sifat penyakit, makin menular suatu penyakit semakin tinggi daya penularannya maka cakupan imunisasinya harus tinggi.
Sumber : (Fine E.M.Paul, Plotkin, Orenstein, Community Immunity, Vaccines, fourth edition, Chapter 56, p 1443-1461
Hal 29
“Vaksin seharusnya memicu sistem imun tubuh untuk menyerang komponen-komponen vaksin. Tetapi bagaimanan jika sistem imun menyerang lebih banyak dari seharusnya, yaitu menyerang bagian2 tubuh yang susunan kimiawi serupa dengan vaksin? Jenis reaksi ini disebut autoimun, yang berarti tubuh menyerang diri sendiri. Reaksi ini bisa terjadi pada vaksin campak, tetanus dan flu”.
Penjelasan
Semakin banyak tulisan yang menghubungkan kenaikan kejadian autoimun dengan kenaikan cakupan imunisasi. Perimbangan Th1 dan Th2 dicoba sebagai alat untuk menjelaskan hubungan ini. Namun sampai kini belum jelas model mana yang pasti dan mempunyai evidence based yang tinggi yang cukup dipakai sebagai alasan menghentikan imunisasi dan memberikan metode lain untuk mencegah wabah penyakit menular . Menggugah respons imun yang berlebihan akan menyebabkan beberapa bagian dari komponen imunologik menyerang bagian dari tubuh sendiri . Meskipun paradigma ini sudah dikenal namun belum ada pengamatan jangka panjang yang membuktikannya. Pada imunisasi akan merangsang sel Th1 sedangkan reaksi autoimun melibatkan sel Th2.
Sumber : Miskonsepsi dan Kontroversi dalam vaksinasi. Hartono Gunadi, Ismoediyanto. Pedoman Imunisasi di Indonesia/edisi ketiga/2008
Hal 30
Salah satu contohnya adalah vaksin polio oral (ditelan), yang sejak 1 Januari 2000 tidak lagi dianjurkan untuk digunakan karena vaksin tersebut bertanggung jawab untuk sekitar sepuluh kasus polio yang dilaporkan per tahun ketika vaksin tersebut diberikan.
Penjelasan
Sampai saat ini vaksin polio oral tetap diberikan kita sedang berjuang untuk bebas polio, Indonesia saat terjadi KLB (Kejadian Luar biasa) adanya kasus polio di Kab Lebak tahun 2005 dan terus menjalar ke P sumatra sampai ke Aceh tenggara dan menyebar ke P Jawa (kecuali DIY) sanpai ke Madura denagn pelaksanaan PIN ( Pekan Imuniasai Nasional dimana seluruh anak balita diberi polio, maka penyebaran polio dapat dihentikan, dan kasus terakhir tanggal 20 Fabruari 2006 di Aceh tenggara sehingga saat ini polio sudah 3 tahun tidak ditemukan di Indonesia, namun kita masih menunggu negara lain yang masih memiliki kasus polio.
Sampai saat ini hanya tinggal 3 negara yang masih mempunyai virus polio liar yang bersirkulasi di masyarakat yaitu India, Afganistan, dan Nigeria.
Iklan Vaksin dosis ganda ? (yang dimaksud disini adalah vaksin kombinasi). Penjelasan tidak dapat dipahami tetapi secara garis besar bisa dijelaskan sbb:
Penjelasan
Mengenai penggabungan beberapa jenis antigen, dimaksudkan selain penyederhanaan jadwal juga adanya kinetik respons dimana antigen yang diberikan akan timbul respons imun yang lebih tinggi sehingga memberikan perlindungan jangka panjang, anak mendapat suntikan lebih sedikit, mengurangi jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan. Departemen Kesehatan yang didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia merekomendasikan penggunaan vaksin kombinasi yang telah dikemas dari pabrik, untuk anak Indonesia. Tentunya vaksin yang telah mendapat persetujuan dari pemerintah negara masing2, di Indonesia melalui izin dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Departemen Kesehatan RI
Sumber : Sri Rezeki S Hadinegoro . Vaksin Kombinasi (vaksin Kombo) : Pedoman Imunisasi di Indonesia/edisi ketiga/2008
Kebijakan Departemen Kesehatan mendukung penyederhanaan dari vaksin DPT/Hb kombinasi.
Sumber : SE Menkes no 697/MENKES/ VI/2004.Pedoman penyelenggaraan Imunisasi KEPMENKES RI Nomor: 1611/MENKES/SK/XI/2005.
Hal 41
Air raksa dalam vaksin. Terlalu panjang untuk di kutip (hal 41-46)
Penjelasan
Timerosal/thiomerosal merupakan preservasi (pengawet) vaksin yang mengandung etilmercuri. Timerosal dipakai dalam vaksin untuk mencegah kontaminasi bakteri dan jamur pada vial multidosis. Imunisasi berulang dengan vaksin yang mengandung thiomerosal. Secara teoritis dapat meningkatkan mercuri didalam darah. Namun penelitian menunjukkan bahwa peningkatan mercuri itu masih dalam rentang normal yang diacu oleh US Departemen of Health and human cervices. Sejauh ini tidak ada bukti ilmiah bahwa timerosal dalam vaksin mengakibatkan gangguan perkembangan anak. Penelitian di Denmark yang membandingkan insidens autism dalam periode waktu pemberian vaksin berthimerosal dengan insidens autism dalam periode waktu pemberianvaksin bebas thimerosal. Ternyata setelah tahun 1992, yaitu saat pemberian vaksin bebas thimerosal insidens autisme meningkat tajam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa vaksin dengan thimerosal tidak berkorelasi dengan insidens autisme. Penelitian di Inggris yang melibatkan lebih dari 13.000 anak yang mendapat vaksin mengandung thimerosal menunjukkan bahwa tidak ada bukti tentang paparan thimerosal pada umur dini menimbulkna efek buruk pada perkembangan saraf maupun psikologis.
Hal 46
Hubungan vaksin dengan autisme
Penjelasan
Penelitian terbaru semakin membuktikan bahwa tak ada kaitan sama sekali antara vaksin MMR dengan autis.
Riset untuk membuktikan kaitan vaksin MMR dan autis telah dilakukan bertahun-tahun. Hasilnya nihil alias tidak terbukti. Namun masyarakat tetap takut. Hal itu karena salah satu penelitian di Inggris tahun 1998 yang menyebut hubungan vaksin itu dengan sekelompok anak autis yang juga memiliki masalah pencernaan serius. Studi itu melaporkan bahwa virus campak yang dilemahkan ikut berperan.
Sampai akhirnya, peneliti menguji kembali temuan itu. Sampelnya adalah pencernaan anak yang lebih belia untuk memburu virus tersebut menggunakan teknologi genetik yang paling modern. Hasilnya, seperti dilaporkan tim periset internasional, sekali lagi tak ditemukan bukti vaksin MMR berperan memicu autis Temuan teranyar itu juga didukung tim peneliti yang menelurkan isu autis dan MMR sepuluh tahun lalu.
“Kenyataannya, vaksin MMR aman. Kami yakin sepenuhnya tak ada hubungan antara MMR dan autis kata Dr. W lan Lipkin, dari Columbia University College of Physicians and Surgeons, seperti dilansir jurnal PLoS One.
Dr. Larry Pickering dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menambahkan;’ Tak ada keraguan bahwa vaksin itu sangat aman: Tak ada data resmi berapa banyak penderita autis yang juga mengalami gangguan pencernaan. Tapi Lipkin memperkirakan sampai seperempatnya. Ketakutan yang tidak beralasan terhadap MMR berangkat dari alasan bahwa vaksin tersebut melemahkan virus campak yang justru akan membuat radang di pencernaan. Akibatnya, produk sisa penncernaan pindah hingga mencapai sistem saraf pusat.
Untuk membuktikan alasan tersebut salah, tim peneliti telah mengobservasi 25 anak yang menderita autis sekaligus mengalami gangguan pencernaan serta 13 anak dengan masalah pencernaan namun tidak ada gangguan neurologi. Semua anak itu menjalani kolonoskopi, diambil contoh jaringannya, kemudian diuji untuk mengetahui jejak genetik virus campak. Sebagai tambahan, semua anak tersebut telah divaksinasi. Hasil pengujian ternyata tak menemukan jejak material genetik virus campak pada anak autis maupun normal. Hasil itu tentu berseberangan dengan riset tahun 1998 yang memicu ketakukan terhadap vaksin MMR. Dengan demikian, ujar tim peneliti, ketakukan terhadap vaksin MMR pun menjadi tidak beralasan. Pro kontra terhadap vaksin itu juga harus diakhiri.
Dengan demikian baik WHO (Badan Kesehatan Dunia), Depkes RI, IDAI, tetap menganjurkan pemberian vaksinasi MMR, mengingat ketiga penyakit yang dicegah oleh vaksin tersebut dapt menyebabkan kematian atau kecacatan.
Sumber : (Healt to day , October 2008)
Hal 51
“Sebenarnya orang yang berisiko mendapatkan hepatitis B adalah pengguna obat terlarang yang disuntikan, pria homoseksual, pelacur, dan orang-orang lain yang mempunyai banyak pasangan seksual, maka perntanyaannya yang harus diajukan orang tua kepada dokter adalah : mengapa bayi tetap dianjurkan untuk di vaksinasi hepatitis ?”
Penjelasan
Hasil-hasil penelitian Indonesia termasuk daerah risiko tinggi untuk hepatitis B, maka pemberian imunisasi pada bayi lahir adalah untuk memutuskan mata rantai penularan dari ibu pengidap hepatitis B kepada bayinya, karena kalau bayi terkena maka 90% akan menjadi kronis yang akhirnya setelah 20-40 tahun kemudian menjadi kanker hati.
Hepatitis B dapat menularkan bukan saja dari contoh-contoh negatif dalam halaman 51 tersebut, tetapi merupakan resiko bagi orang yang bekerja sebagai tenaga kesehatan, melalui donor darah, bahkan seorang bayi dapat mewarisi hepatitis B dari Ibu yang melahirkannya. Makanya sangat penting untuk segera melindungi bayi baru lahir tersebut.
Sumber : (Jacyna & Thomas . Pathogenesis and treatment of chronic infection. Dalam: Zuckerman A., Thomas H.C., Penyunting. Viral Hepatitis , Scientific basic and clinical management, Churchil Livingstone, 1993. h.185-205)
Hal 53
”Imunisasi yang disuntikkan ke tubuh manusia adalah penyakit yang diambil dari cairan darah orang yang terkena berbagai penyakit misalnya : Hepatitis B, herpes, HIV/AIDS dan lain-lain yang melakukan sex bebas, minum alkohol, narkotika dan atau perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum Allah lainnya. Lalu dibiakkan di media-media seperti: ginjal kera, ginjal anjing, sel-sel embrio marmut, serum anak sapi, telur ayam, dan lain-lain, dan menggunakan jaringan janin manusia yang digugurkan, ditambah dengan merkuri atau air raksa, logam sebagai zat pengawetnya. Vaksin-vaksin yang dihasilkan juga antara lain, vaksin polio, MMR, Rabies, cacar air, meningitis dll.”
Penjelasan
Pernyataan tersebut sama sekali salah dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hanya bernada memojokkan imunisasi dengan memberikan pernyataan yang salah, bernada provokasi.
Teknologi dan Ilmu pengetahuan sudah sangat berkembang dengan baik. Sesuai dengan amanah yang diberikan oleh Allah kepada manusia dimana manusia dianugrahi akal untuk berpikir. Sehingga isolasi dan pengembangan virus untuk vaksin sangat mudah dilakukan, tidak harus dari (yang tertulis pada halaman 53) cairan darah orang yang terkena berbagai penyakit Proses pembuatan vaksin sangat rumit tentunya melalui tahapan yang penapisan yang sangat ketat dan tidak mengandung penyakit menular lainnya, seperti kita ketahui bahwa untuk donor darah PMI pun harus dilakukan penapisan terhadap penyakit hepatitis B dan C, HIV AID, penyakit kelamin dll. Melalui suatu quality control yang sangat ketat karena akan dipakai jutaan dosis.
Bab-3 : Imunisasi kebijakan yang dipaksakan
Hal 62
beberapa kasus akibat vaksinasi di indonesia.Ada 10 kasus yang dipaparkan a.l. – kasus no 5. keyakinan mata anak menjadi silindris setelah mendapat imunisasi.- kasus no 9 setelah imunisasi cacar air masal anak terkena cacar air.
Penjelasan
– Silindris pada mata seperti telah diketahui akibat genetik atau dapat juga akibat rangsangan fisik berulang terhadap bola mata akibat tekanan oleh kelopak mata dan lain-lain..
– Vaksin cacar air (varicela) belum masuk kedalam program imunisasi. Hal 67 Beberapa kasus pasca imunisasi meningitis sebagai persyaratan haji. Ada 3 kasus yang dilaporkan.
Penjelasan
Saudi Arabia termasuk daerah risiko tinggi untuk meningitis, sehingga sesuai dengan surat dari kerajaan Saudi Arabia bahwa setiap jemaah haji, tenaga kerja dan umroh harus mendapat imunisasi meningitis untuk mendapatkan visa .
Sumber ; Surat edaran Direktur jenderal Protokol dan konsuler, Departemen Luar Negeri. Nota D iplomatik dari Ke Dubes Saudi Arabia Jakarta no: 588/PK/VI/06/61
Hal 68 Beberapa kasus vaksinasi di mancanegara Menceritakan bahwa di Nigeria , vaksin pemberian Amerika yang membuat anak menjadi steril atau tidak akan mempunya keturunan. ”WHO telah mengirimkan sebuah tim ke dearah tersebut untuk mengevaluasi penularan polio yang dilaporkan. Tentu dengan rasa puas akan keberhasilan penyebaran penyakit”
Penjelasan
Pernyataan itu hanya sekedar isu negatif yang tidak ada buktinya.Adanya isu menjadi mandul maka imunisasi polio Nigeria dihentikan sementara , kemudian terjadi KLB polio di Nigeria yang kemudian menyebar ke Saudi Arabia dan Yaman, dan dibawa oleh TKW Indonesia sebagai karier ke Desa Girijaya Sukabumi sehingga timbul KLB polio di indonesia . Nigeria telah mengirim kan tim ke Indonesia (20 orang, 10 dari para ahli dan 10 alim ulama) untuk mempelajari pembuatan vaksin polio di Bio Farma, juga bertemu dengan Badan POM. Kemudian berkunjung ke Produsen vaksin Bio Farma Bandung . Kesimpulan akhir setelah kujungan ke Indonesia, Nigeria bersedia melajutkan program imunisasi dasar dengan sumber vaksin dari Bio Farma.
(Penelaah mendampingi tamu Nigeria tersebut saat berkunnung ke Indonesia)
Hal 72
”Cacar, Desember 2002, Menteri Kesehatan dan Pelayanan masyarakat Amerika menyatakan untuk memberikan suntikan vaksin cacar dan merekomendasikan kepada anggota kabinet lainnya untuk tidak meminta pelaksanaan vaksin itu”.
Penjelasan
Imunisasi cacar (variola) didunia telah dihentikan pada tahun 1980, sebagai salah satu tonggak keberhasilan vaksin cacar (kasus terakhir di Indonesia dilaporkan dari Tangerang tahun 1972), tanggal 25 April 1974 Indonesia dinyatakan bebas cacar, tiga tahun dari kasus terakhir di Somalia ditemukan. dunia dinyatakan bebas cacar tahun 1978 dan vaksinasi cacar dihentikan 3 tahun kemudian yaitu tahun 1981.
Ada ketakutan yang kurang beralasan dari Amerika terhadap negara lain yang akan mempergunakan vaksin cacar sebagai senjata biologis (bio terrorisme). Hal ini menyebabkan pemerintah Amerika menganjurkan pejabat parlemen Amerika untuk diimunisasi.
Sumber : Keberhasilan pemberantasan penyakit cacar di Indonesia . 2001
Bab-4 : Vaksin meningitis dan krisis kesehatan yang terjadi pada penulis
Menceritakan pengalaman setelah imunisasi meningitis.
Hal 112
”WHO adalah kendaraan penjajah yang ingin menjajah manusia di Bidang kesehatan. Dengan iklannya yang terus menerus menyatakan ”tanpa imunisasi maka manusia menjadi tidak sehat” jadi imunisasi sebenarnya adalah ujung tombak WHO untuk merusak generasi berdasarkan bisnis dan penjajahan”. WHO merupakan organisasi kesehatan dunia terdiri dari berbagai negara. Bukan hanya negara barat, tenaga kerja WHO berasal dari berbagai negara, termasuk negara berkembang dan negara Islam.
Beberapa orang terpilih dari Indonesia juga bekerja di WHO untuk menggalakkan program kesehatan dunia, juga warga negara Afrika atau Asia telah memberikan kontribusi kepada kesehatan dunia. WHO bukan hanya bergerak di bidang imunisasi, tapi juga untuk program kesehatan ibu hamil, program peningkatan gizi, ASI exclusive, penyediaan air minum, pengendalian polusi, pemberantasan penyakit menular dengan peningkatan higienitas, dll. Jadi WHO lebih banyak membantu negara miskin daripada negara kaya, untuk kesehatan umat manusia di dunia. WHO bukan lahan untuk berbisnis, namun lebih banyak pada segi kemanusiaan.
Bab -5 : Vaksinasi, trial and error dan bisnis kapitalisme.
Hal 117
”Experimen WHO di lapangan , terbukti mengakibatkan banyak kematian dan cacat pada bayi dan anak2 maupun dewasa yang berdampak pada perkembangan manusia selanjutnya”.
Penjelasan
Studi vaksin sangat cermat dan berhati-hati untuk melindungi resipien saat diberi vaksin. Selain kebaikan vaksin yang akan diterima, keselamatan resipien menjadi tujuan utama pemberian vaksin. Maka sebelum vaksin diberikan kepada manusia, vaksin telah mengalami ujipreklinik dengan percobaan binatang. Apabila percobaan pada binatang aman, maka kemudian dilanjutkan dengan uji klinik phase1 – 2 dan 3 (GCP/Good Clinical Practices) , setelah terbukti mengenai safety dan immunogenicity (keamanan dan kemampuan menimbulkan kekebalan) barulah akan mendapat izin edar dari Badan POM. Kemudian vaksin telah dipakai jutaan dosis oleh program dilakukan juga PMS (Post Marketing Surveilans) atau sama dengan phase 4. Ini adalah untuk keamanan vaksin dilapangan dan secara terus menerus akan dikaji melalui sistem monitoring PMS.
Sumber : buku biru. BPOM. : Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB) . BPOM 2001..
Program imunisasi diIndonesia memakai produksi dalam negeri yaitu Bio Farma, dan kita patut bersyukur bahwa BF telah mengekspor vaksin ke lebih dari 100 negara di dunia termasuk negara-negara Islam.
Sumber : Company Profile P.T. Bio Farma.
Hal 117
konspirasi vaksinasi dan Namru-2 = senjata biologis.
Penjelasan
Tidak dilakukan evaluasi bukan porsi Sub Dit Imunisasi.
Garis besar:
NAMRU-2 tidak pernah berhubungan dengan pembuatan vaksin maupun pemberian vaksin di Indonesia. NAMRU-2, penelitian dalam bidang penyakit infeksi.
Bab-6 : hukum islam dalam penggunaan obat2an.
Hal 64
Apakah Hijamah itu?Dst secara garis besar adalah pengobatan alternatif
Bab-7 : Beberapa jenis obat yang disebut dalam Al Quran dan As sunah.
Back to nature : (dengan kurma, tajin, gandum, jinten, sayuran dll obat herbal) Obat alami (herbal) boleh saja tetap dipergunakan namun perlu diingat bahwa obat alami bersifat umum yaitu meningkatkan daya tahan, bukan mengobati penyakit secara satu per satu. Satu macam cara pengobatan dapat mengobati segala macam penyakit, tentu tidak benar . Juga sangat sulit mengukur keberhasilan pengobatannya.
Kesan :
Penulis Hj Umu Salamh SH, mempopulerkan pengobatan alternatif dan kembali ke pengobatan alami, syah2 saja, namun penjelasan tentang manfaat imunisasi patut kita luruskan. (beliau memasarkan obat-obat alami) Hj. Ummu Salamah, dkk sudah menulis surat resmi kepada IDAI tetapi sudah 2 kali dibatalkan (untuk temu muka dan berdiskusi).
Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Siapapun tahu, bahwa pada masa sekarang ini, biaya kesehatan sangat mahal. Bila orang terlanjur sakit, maka membuatnya kembali sehat, apalagi harus diberi tindakan medis (operasi misalnya), atau setidaknya harus dirawat-inap di rumah sakit, bisa meludeskan uang yang telah ditabung bertahun-tahun. Walhasil, seratus juta lebih rakyat miskin di negeri ini dilarang sakit.
Menurut seorang pakar instrumentasi kesehatan, biaya medis yang tinggi itu 60 persen baru untuk mengetahui penyakitnya, yaitu berupa peralatan canggih seperti sinar roentgen, CT-scan atau berbagai alat lab untuk uji darah. Baru 40 persennya untuk terapi. Yang mengerikan, banyak alat-alat tersebut sudah lama tidak dikalibrasi, sehingga boleh jadi banyak orang yang divonis sakit padahal sehat, juga sebaliknya, dinyatakan sehat padahal sakit, atau bahkan dianggap sakit A, padahal sebenarnya sakit B.
Karena itu sangatlah wajar, bila orang lalu lari kepada pencegahan. Bagaimanapun mencegah penyakit lebih murah dari mengobati. Gerakan “hidup sehat ala Nabi” menjadi trendy. Rasulullah memang banyak memberi contoh kebiasaan sehari-hari untuk mencegah penyakit. Misalnya: menjaga kebersihan; makan setelah lapar dan berhenti sebelum kenyang; lebih banyak makan buah (saat itu buah paling tersedia di Madinah adalah rutab atau kurma segar); mengisi perut dengan sepertiga makanan, sepertiga air dan sepertiga udara; kebiasaan puasa Senin-Kamis; mengonsumsi madu, susu kambing atau habatus saudah, dan sebagainya.
Bagi yang terlanjur sakit dan mencari pengobatan yang lebih murah, juga tersedia “berobat cara Nabi” alias Thibbun Nabawi, yang obatnya didominasi madu, habatus saudah dan beberapa jenis herbal. Kadang ditambah bekam dan ruqyah. Pengobatan ini jauh lebih murah karena praktisinya cukup ikut kursus singkat, tidak harus kuliah di fakultas kedokteran bertahun-tahun. Profesi thabib atau hijamah ini juga relatif belum diatur, belum ada kode etik dan asosiasi profesi yang mengawasinya, sehingga tidak perlu biaya tinggi khas kapitalisme.
Namun sebagian aktivis gerakan ini dalam perjalanannya terlalu bersemangat, sehingga lalu bertendensi menolak ilmu kedokteran modern, seakan “bukan cara Nabi”. Realitas pelayanan kesehatan modern yang saat ini sangat kapitalistik menjadi alasan untuk menuduh seluruh ilmu kedokteran modern ini sudah terkontaminasi oleh pandangan hidup Barat, sehingga harus ditolak.
Salah satu contoh adalah gerakan menolak vaksinasi. Sambil mengutip data dampak negatif vaksinasi dari media populer Barat (yang sebenarnya kontroversial), dengan amat semangat, gerakan ini menyatakan bahwa “di masa khilafah tanpa vaksinasi juga manusia tetap sehat” atau “sebelum ada vaksinasi, tidak ada penyakit-penyakit ganas seperti kanker”.
Tentu menjadi menarik untuk melihat seperti apa pencegahan penyakit di masa Khilafah itu?
Sebelumnya perlu diketahui, bahwa vaksinasi memang sebuah teknologi dalam ilmu kedokteran yang baru ditemukan oleh Edward Jenner pada akhir abad-18 dan dipopulerkan awal abad-19. Vaksin penemuan Jenner ini berhasil melenyapkan penyakit cacar (small pox) – bukan cacar air (varicella). Pada abad-19, penyakit cacar ini membunuh jutaan manusia setiap tahun, termasuk rakyat Daulah Khilafah! Namun saat itu Daulah Khilafah sudah dalam masa kemundurannya. Andaikata Daulah Khilafah masih jaya, barangkali teknik vaksinasi justru ditemukan oleh kaum Muslimin.
Dalilnya adalah Rasulullah menunjukkan persetujuannya pada beberapa teknik pengobatan yang dikenal semasa hidupnya, seperti bekam atau meminumkan air kencing onta pada sekelompok orang Badui yang menderita demam. Lalu ada hadits di mana Rasulullah bersabda, “Antum a’lamu umuri dunyakum” – Kalian lebih tahu urusan dunia kalian. Hadits ini sekalipun munculnya terkait dengan teknik pertanian, namun dipahami oleh generasi Muslim terdahulu juga berlaku untuk teknik pengobatan. Itulah mengapa beberapa abad kaum Muslim memimpin dunia di bidang kedokteran, baik secara kuratif maupun preventif, baik di teknologinya maupun manajemennya.
Muhammad ibn Zakariya ar Razi (865-925 M) menemukan kemoterapi. Sekitar tahun 1000 M, Ammar ibn Ali al-Mawsili menemukan jarum hypodermik, yang dengannya dia dapat melakukan operasi bedah katarak pada mata! Pada kurun waktu yang sama, Abu al-Qasim az-Zahrawi mengembangkan berbagai jenis anastesi dan alat-alat bedah, yang dengannya antara lain dapat dilakukan operasi curette untuk wanita yang janinnya mati.
Pada abad-11 Ibnu Sina menerbitkan bukunya Qanun fit-Thib, sebuah ensiklopedia pengobatan yang menjadi standar kedokteran dunia hingga abad 18. Di dalam kitab itu juga ditemukan saran Ibnu Sina untuk mengatasi kanker, yakni “pisahkan dari jaringan yang sehat, potong dan angkat”. Jadi 1000 tahun yang lalu, jauh sebelum ada vaksinasi, sudah ada penyakit kanker! Karena penyakit ini memang sudah ditemui sejak Hipokrates, dokter Yunani Kuno. Jadi tidak benar tuduhan bahwa kanker disebabkan oleh vaksinasi.
Semua penemuan teknologi ini tentunya hanya akan berhasil diaplikasikan bila masyarakat semakin sadar hidup sehat, pemerintah membangun fasilitas umum pencegah penyakit dan juga fasilitas pengobatan bagi yang telanjur sakit. Kemudian para tenaga kesehatan juga orang-orang yang profesional dan memiliki integritas, bukan orang-orang dengan pendidikan asal-asalan serta bermental pedagang.
Menarik untuk mencatat bahwa di daulah Islam, pada tahun 800-an Masehi, madrasah sebagai sekolah rakyat praktis sudah terdapat di mana-mana. Tak heran bahwa kemudian tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan pada waktu itu sudah sangat baik.
Pada kurun abad 9-10 M, Qusta ibn Luqa, ar Razi, Ibn al Jazzar dan al Masihi membangun sistem pengelolaan sampah perkotaan, yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, yang di perkotaan padat penduduk akan berakibat kota yang kumuh. Kebersihan kota menjadi salah satu modal sehat selain kesadaran sehat karena pendidikan.
Tenaga kesehatan secara teratur diuji kompetensinya. Dokter khalifah menguji setiap tabib agar mereka hanya mengobati sesuai pendidikan atau keahliannya. Mereka harus diperankan sebagai konsultan kesehatan, dan bukan orang yang sok mampu mengatasi segala penyakit.
Pada abad-9, Ishaq bin Ali Rahawi menulis kitab Adab at-Tabib, yang untuk pertama kalinya ditujukan untuk kode etik kedokteran. Ada 20 bab di dalam buku itu, di antaranya merekomendasikan agar ada peer-review atas setiap pendapat baru di dunia kedokteran. Meskipun madu atau habatussaudah sudah direkomendasikan sebagai obat oleh Rasulullah, tetapi dosis yang tepat untuk penyakit-penyakit tertentu tetap harus diteliti.
Lalu kalau ada pasien yang meninggal, maka catatan medis sang dokter akan diperiksa oleh suatu dewan dokter untuk menguji apakah yang dilakukannya sudah sesuai standar layanan medik. Hal-hal semacam ini yang sekarang justru masih absen di kalangan penggiat Thibbun Nabawi.
Ini adalah sisi hulu untuk mencegah penyakit, sehingga beban sisi hilir dalam pengobatan jauh lebih ringan. Meski demikian, negara membangun banyak rumah sakit di hampir semua kota di Daulah Khilafah.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa kaum Muslim terdahulu memahami bahwa sehat tidak hanya urusan dokter, tetapi pertama-tama adalah urusan masing-masing, walaupun juga tidak direduksi hanya sekedar pada kebiasaan mengonsumsi madu atau habatus saudah. Ada sinergi yang luar biasa antara negara yang memfasilitasi manajemen kesehatan yang terpadu dan sekelompok ilmuwan Muslim yang memikul tanggung jawab mengembangkan teknologi.
Andaikata khilafah kembali tegak, maka pencegahan penyakit tidak hanya sekedar urusan vaksinasi, tetapi khilafah juga tidak menafikan keberadaan vaksinasi karena ini adalah produk teknologi seperti teknologi lain yang dikembangkan ilmuwan Muslim terdahulu.
Dr. Fahmi Amhar
Masih sehatkah mata anda? Kalau anda masih bisa membaca tulisan ini, insya Allah mata anda sehat. Tetapi apakah mata anda telah dipakai untuk melihat? Maksud kami melihat hal-hal yang Allah halalkan dan Allah perintahkan untuk melihat?
Tahukah anda, siapa dalam sejarah ilmuwan paling berpengaruh dalam soal penglihatan?
Abu Ali Hasan Ibn al-Haitsam adalah fisikawan yang paling terkenal kontribusinya dalam optika dan metode ilmiah. Beliau lahir 965 M di Basrah dan bersekolah di Basrah dan Baghdad. Kemudian dia pergi ke Mesir untuk mengerjakan proyek mengontrol sungai Nil, yang ternyata gagal, sehingga untuk menghindari hukuman dia harus berpura-pura gila sampai wafatnya Khalifah al-Hakim. Selama dalam tahanan rumah dia telah banyak meneliti fenomena optika. Kemudian dia ke Spanyol, dan di sanalah dia menulis karya-karyanya dalam optika, matematika, fisika, kedokteran dan metode ilmiah.
Dalam bukunya, Kitab-al-Manadhir dia mendeskripsikan hasil penelitiannya tentang asal muasal warna matahari senja, mengapa ukuran matahari dan bulan membesar ketika mendekati ufuk, fenomena pelangi, bayangan, gerhana, bahkan berspekulasi tentang sifat fisis cahaya. Dia orang pertama yang secara akurat menggambarkan anatomi mata dan memberi penjelasan ilmiah tentang proses melihat, serta membuktikan pendapat Ptolomeus, Euklides dan Aristoteles, bahwa “melihat adalah karena mata memancarkan sorot yang menyentuh objek” adalah keliru!
Terjemahan Latin dari karya utamanya, Kitab-al-Manadhir, sangat mempengaruhi dunia keilmuan di Barat, seperti dalam karya Roger Badon dan Johannes Kepler. Ibn al-Haytsam menunjukkan jalan yang terang tentang metode ilmiah eksperimental.
Dalam buku itu dia menunjukkan pusat dari cermin sferis dan parabola. Dia menemukan perbandingan penting dari sudut jatuh dan pantulan (refraksi) sinar yang tidak selalu sama, dan menyelidiki kekuatan pembesaran dari lensa. Dia juga menjelaskan efek dua buah lensa (binokular vision) dan menemukan kamera obskura. Persoalan-persoalan yang dilontarkan Ibn al-Haytsam di Barat dikenal sebagai “Alhazen problem” dan mengantarkan ke persamaan matematika tingkat tinggi (hingga derajat empat). Untuk itu ibn al-Hazen menggali geometri karya Appolonius “Conics of Apollonius” yang selama lebih dari 1000 tahun tidak jelas kegunaannya.
Diagram mata dari Ibn al-Haitsam.
Prinsip penglihatan dari syaraf bola mata ke otak.
Sedang dalam bukunya yang lain Mizan al-Hikmah Ibn al-Haytsam mendiskusikan tentang kerapatan atmosfir dan menemukan hubungannya dengan ketinggian dan refraksi. Dia menemukan bahwa gelap senja hanya dimulai ketika matahari telah 19° di bawah ufuk. Dia juga mendiskusikan tentang kekuatan akselerasi yang disebabkan oleh gaya gravitasi, 600 tahun sebelum Isaac Newton. Di bidang matematika, Ibn al-Haytsam mengembangkan geometri analitis, yakni kombinasi antara aljabar dan geometri. Ini sangat penting untuk kajiannya tentang gerakan benda yang akan lurus kecuali ada gaya lain yang mengubahnya. Lagi-lagi ini 600 tahun lebih awal dari Isaac Newton.
Jumlah judul karya ilmiahnya lebih dari 200, tetapi sangat sedikit yang selamat hingga masa kini. Bahkan karya terpentingnya dalam bidang optika hanya kita ketahui dari terjemahan bahasa Latinnya.
Sketsa anatomi mata dalam kitab al-Manadhir.
Di gambar terlihat Ibn al-Haytsam bersama Galileo pada sampul buku “Selenographia”karya Johannes Hevelius, 1647M. Mereka dianggap dua ilmuwan alam yang memulai metode ilmiah.