Dr. Fahmi Amhar
Masa keemasan peradaban Islam sering diindikasikan dengan berbagai kemajuan pada bidang ilmu-ilmu agama (ushuluddin, tafsir, hadits, fiqih dan tasawuf) dan ilmu-ilmu alam atau sains (astronomi, matematika, fisika, kimia, kedokteran dan sebagainya). Pertanyaan yang kemudian muncul, di mana posisi ilmu-ilmu sosial?
Ilmu-ilmu sosial memang berbeda dengan sains maupun ilmu-ilmu agama. Sementara sains relatif netral dan ilmu-ilmu agama jelas bersumber dari Islam, maka ilmu-ilmu sosial sering tercampur aduk, antara kajian ilmiah dengan pandangan hidup. Ilmu sejarah atau sosiologi misalnya, sering hanya ditinjau dari sudut pemenang peradaban. Dalam dunia saat ini yang didominasi Barat, ilmu ini praktis memandang segala hal dari standar liberalisme. Demikian juga ilmu ekonomi. Berbagai cara pandang kapitalisme terhadap masyarakat, kemakmuran ataupun kebahagiaan dianggap dalil yang tidak dapat ditolak lagi.
Karena itu lebih tepat bila umat muslim mengembangkan sendiri ilmu-ilmu sosial ini agar tidak menjadi “anak tiri”, baik dari sisi ilmu sosialnya maupun dari kemuslimannya. Dan mereka memiliki sejumlah besar teladan di masa keemasan peradaban Islam.
Ilmu Sejarah termasuk yang paling awal dipelajari oleh para sarjana muslim. Abu Muhammad Abdul Malik Ibnu Hisyam (wafat 834 M) sudah menulis “Sirah Nabawiyah” (sejarah Rasulullah) sekaligus memulai suatu tradisi ilmu sejarah yang tidak sekedar menceritakan suatu peristiwa dari sudut pandangnya, tetapi juga melengkapinya dengan metode periwayatan, suatu hal yang diadopsinya dari ilmu hadits. Terobosan Ibnu Hisyam kemudian dilanjutkan sejarahwan muslim yang lain seperti Abul Hasan Ali ibn al-Husayn ibn Ali Al-Mas’udi (wafat 956 M) yang menulis karya agung “Muruj al-Zabab wa Muadin al-Jawhar” (Lahan Emas dan Tambang Mutiara) tentang kajian geografi sosial (termasuk sejarah, sosiologi dan ekonomi) bangsa-bangsa di dunia (dari Mesir, Romawi, Perancis, Persia, hingga India) yang pernah dikunjunginya.
Imam Jalaluddin As-Suyuthi (wafat 903 H / 1498 M) menulis “Tarikhul Khulafa” (sejarah para khalifah hingga masanya). Dalam kitabnya itu dia menulis bahwa rujukannya adalah “Tarikh” karya Adz-Dzahabi yang berakhir pada 700 H, lalu “Tarikh” karya Ibnu Katsir yang berakhir pada 738 H, kemudian “Kitab Anbaa’ Al Ghumr” karya Ibnu Hajar al Asqalani yang berakhir tahun 850 H sedang dari masanya dia merujuk “Tarikh Baghdad” karya Khatib Al-Baghdadi sebanyak 10 jilid dan “Tarikh Dimasyq” karya Ibnu Asakir sebanyak 57 jilid.
Ilmu ekonomi, yang membahas berbagai hal teknis dalam urusan pertanahan, administrasi dan keuangan, sudah dimulai oleh Abu Hanifa an-Nu‘man (699-767 M), Abu Yusuf (731-798 M), Ishaq bin Ali al-Rahwi (854–931 M), al-Farabi (873–950 M), Qabus (wafat 1012 M), Ibn Sina (980–1037 M), Ibn Miskawayh (lahir 1030 M), al-Ghazali (1058–1111 M), al-Mawardi (1075–1158 M), Nasīr al-Dīn al-Tūsī (1201-1274 M), Ibn Taymiyyah (1263–1328 M) dan al-Maqrizi (1364-1442 M).
Abū al-Rayhān al-Bīrūnī (973-1048 M) sering disebut sebagai “antropolog pertama”. Dia menulis detail studi komparasi antropologi dari bangsa-bangsa, agama dan budaya di Timur Tengah, Mediteran dan Asia Selatan. Al-Biruni juga bapak dari Indologi – ilmu tentang India.
Dari semua ilmuwan sosial muslim, tidak diragukan bahwa yang terbesar adalah Ibnu Khaldun. Abū Zayd ‘Abdur-Rahman bin Muhammad bin Khaldūn Al-Hadrami (1332 – 1406 M) dari Tunisia adalah seorang polymath yang menguasai banyak keahlian sekaligus; beliau adalah hafiz, fuqoha, astronom, geografer, matematikawan, sejarawan, sosiolog, ekonom dan negarawan. Bukunya yang paling terkenal adalah “Muqaddimah” (di Barat dijuduli “Prolegomenon”), yaitu juz pertama dari tujuh juz buku sejarah dunia universalnya “Kitab al-Ibar”.
Sejarawan terkenal Inggris Arnold J. Toynbee menyebut Muqaddimah adalah karya terbesar dalam filsafat sejarah yang pernah dibuat pikiran manusia sepanjang masa. Bahkan sejarawan Inggris lainnya, Robert Flint menulis bahwa Plato maupun Aristoteles belum mencapai jenjang keilmuan setaraf Ibnu Khaldun.
Di antara pemikiran jenius Ibnu Khaldun adalah ketika mendefinisikan pemerintahan sebagai “institusi pencegah kezaliman“ adalah teori terbaik dalam ilmu politik. Sedang konsep Ibnu Khaldun dalam meramalkan kegagalan ekonomi pasar dinilai sebagai dasar-dasar sosionomi (sosiologi-ekonomi).
Menurut Ibnu Khaldun, ada semacam siklus perubahan sosial yang pada momentum tertentu dapat berubah secara tajam. Idenya didasarkan pada tesis manfaat dari spesialisasi pekerjaan: semakin besar kohesi sosial, semakin berhasil pembagian kerja yang kompleks, maka ekonomi akan tumbuh semakin besar. Dia juga mencatat bahwa pembangunan memberikan stimulasi positif baik untuk supply dan demand dan ini adalah penentu dari harga barang dan jasa. Ibnu Khaldun juga mencatat kekuatan makro-ekonomi dari pertumbuhan populasi, pengembangan SDM dan perkembangan teknologi. Ibnu Khaldun berpikir bahwa pertumbuhan populasi adalah fungsi dari kemakmuran.
Dari hasil penelitiannya atas sejarah bangsa-bangsa terdahulu, Ibnu Khaldun menyimpulkan ada lima fase peradaban yang dialami oleh hampir setiap bangsa. Era pertama adalah era perintis, saat bangsa tersebut masih memiliki visi serta rela berjuang dan berkorban demi masa depan anak cucunya. “Investasi” di era perintis ini adalah yang terbesar. Era kedua adalah era pembangun, saat kesolidan bangsa tersebut telah menjadi modal untuk mengembangkan “asset”, baik dari segi cakupan pengaruh (wilayah, penduduk) maupun ekonominya. Era ketiga adalah era konservasi, saat mereka menjaga apa yang telah diraih, namun “investasi” yang dilakukan hanya sekedar untuk menggantikan yang hilang. Era keempat adalah era penikmat, saat “total asset” bangsa mulai berkurang dan “total investasi” negatif. Dan era kelima adalah era penghancur, saat bangsa itu praktis kembali mundur dan tak diperhitungkan lagi.
Era Rasulullah dan para shahabat dapat dianggap era perintis. Era khilafah hingga awal dinasti Abbassiyah adalah contoh era pembangun, dengan ditandai berbagai capaian-capaian besar dalam politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Masa yang panjang setelah itu adalah era taqlid. Tak banyak lagi futuhat maupun prestasi ilmu yang dapat dilihat. Abad terakhir Abassiyah adalah era penikmat, yang diikuti era kehancuran oleh datangnya pasukan Tartar ke Baghdad. Setelah itu kepemimpinan dunia berpindah ke bangsa Turki (Utsmaniyah). Mereka juga mengalami fase-fase yang sama. Dan apa yang diramalkan oleh Ibnu Khaldun yang hidup di awal dinasti Utsmaniyah ini, kemudian benar-benar terjadi.