KISAH ADIK HARAM SANG PELACUR
oleh Fahmi Amhar
Ada pecundang bernama Atheisme.
Prinsip hidupnya: agama adalah candu!
Dia juga anak haram sejarah, yang marah ketika ajaran agama dijadikan alat penindas oleh kekuasaan negara, sementara para pemimpin agama menjadikan agama hanya obat penenang bagi kaum dhuafa.
(* andaikata negara/umara membangkitkan rakyat dengan solusi kaffah dari ahli agama/ulama, tentu gak begini jadinya *).
Atheisme merasa kesal dengan solusi dari kakak haramnya, pelacur dunia bernama Sekulerisme (http://www.facebook.com/messages/100000837346075#!/notes/fahmi-amhar/lima-anak-haram-sang-pelacur/10150760314486921?comment_id=21939289¬if_t=like), yang dalam prakteknya terlalu didominasi oleh anaknya yang ke-empat yaitu Kapitalisme.
Karena itu tak heran Atheisme kemudian bertekad juga memiliki lima anak yang semua dididiknya agar bersaing dengan anak-anak Sekulerisme.
Anak pertama bernama Sosialisme.
Nama aslinya Marxisme. Prinsip hidupnya adalah: segala sesuatu hanya materi, yang berkembang sesuai dengan evolusi. Dia sangat percaya dengan teori evolusi Darwin, bahkan dikembangkannya lagi untuk memahami fenomena masyarakat. Tetapi kemudian dia lebih sering dipanggil Sosialisme, karena belakangan prinsip hidupnya: “apapun harus menjadi milik bersama, termasuk kebahagiaan dan kekuasaan”, karena kebersamaan adalah proses akhir dari evolusi material. Sosialisme adalah keniscayaan sejarah setelah Kapitalisme.
Anak ini sangat dominan dalam keluarga, karena dialah penyemangat dan penopang utama saudara-saudaranya. Baginya merampok milik pribadi orang-orang kaya, lalu membagi-baginya ke kalangan bawah adalah sebuah perbuatan mulia.
Sosialisme memiliki anak haram: Nasional-Sozialisme (Nazi) dan Baathisme.
Anak kedua bernama Komunisme.
Nama aslinya adalah Otokrasi.
Prinsip hidupnya: “Suara partai adalah suara rakyat”. Kedaulatan hukum itu ada pada partai, karena partai adalah pemimpin rakyat, penyambung lidah rakyat, pembela hak-hak rakyat, dan pejuang kepentingan rakyat sehingga penguasa wajib menjalankan keputusan partai. Kekuasaan ditentukan dengan pemilihan di antara kader partai, sehingga pers harus dikontrol partai. Kalau partai memandang pelarangan tempat ibadah atau penghapusan asset pribadi sebagai hal yang lebih bermanfaat, maka akan keluar pula hukum yang mendasarinya. Satu-satunya yang dianggap benar adalah keinginan partai, hari ini, di negeri ini. Karena partai juga terdiri dari manusia-manusia yang terbatas wawasannya, maka Otokrasi bisa saja menelurkan keputusan yang kontradiktif, yang secara langsung atau tak langsung bisa menghancurkan masa depannya sendiri, atau rakyat / lingkungan negeri lain.
Karena pengaruh kakaknya (Sosialisme) begitu kuat, belakangan dia merubah namanya menjadi Komunisme.
Kemudian dia punya beberapa anak haram, ada yang beraksen Rusia, Cina, Afrika maupun Indonesia.
Anak ketiga bernama Despotisme.
Prinsip hidupnya: “karena kami yang berkeringat, maka harus kami yang berkuasa”. Ruang publik harus didominasi dan diperintah oleh satu kelompok yang sepaham saja. Bahkan di dalam kelompok ini tidak boleh ada faksi-faksi ataupun pendapat yang berbeda. Pembangunan akan efektif kalau satu bangsa satu tujuan, satu metode, satu partai dan satu pemimpin. Karena itu, Despotisme memandang, tidak dikehendaki ada partai-partai oposisi di dalam masyarakat. Sebenarnya Despotisme ini tidak terlalu peduli ajaran kakaknya Sosialisme ataupun ibunya Atheisme. Jadi dia bisa juga berkawan dengan Ayah Haramnya dari Agamawan maupun dari Sepupu Haramnya Kapitalisme.
Belakangan Despotisme melahirkan anak-anak haram: yaitu Authoritarianisme dan Totaliterisme.
Anak keempat bernama Fasisme.
Prinsip hidupnya: “jangan biarkan mereka bebas, karena masyarakat perlu dipimpin (oleh Sosialisme)”. Karena itu, Fasisme mencabut berbagai kebebasan, baik itu kebebasan berbicara, beribadah, berserikat maupun berusaha. Semua harus dipimpin oleh seorang pemimpin besar yang “tercerahkan” dan “dicintai rakyat”.
Fasisme melahirkan anak-anak haram seperti Stalinisme dan Maoisme.
Anak kelima bernama Internasionalisme.
Nama lengkapnya: Proletarian-Internasionalisme.
Prinsip hidupnya: Dunia ini akan paling aman, paling adil dan paling makmur kalau diberintah oleh kaum proletar dengan ajaran Sosialisme. Karena prinsipnya ini, maka Internasionalisme mengekspor revolusi dan ide kakak-kakaknya ke seluruh dunia. Penyebaran ini tentu saja dilakukan secara militer, tetapi sayangnya, anak kelima ini justru mati paling awal di medan sejarah.
Belakangan kakak-kakaknya juga kehilangan arah, dan akhirnya berselingkuh dengan anak-anak Sekulerisme.
Di Cina, Komunisme akhirnya berselingkuh dengan Kapitalisme. Dunia politik tetap Komunisme, tetapi ekonomi Kapitalisme.
Sedang di Eropa, Demokrasi mau incest dengan adiknya yaitu Kapitalisme sekaligus berselingkuh dengan Sosialisme, menjadi “Kapitalisme berwawasan Demokrasi dan Sosial”.
Sedang di beberapa negara berkembang, Kapitalisme berselingkuh dengan Despotisme. Jadinya sumber daya ekonomi benar-benar diserahkan pasar, tetapi pemerintahan sangat otoriter, meskipun dilegalkan dengan pemilu.
Ada pelacur bernama Sekulerisme.
Prinsip hidupnya: jangan bawa-bawa agama ke ruang publik.
Dia adalah anak brokenhome dari perselingkuhan kekuasaan negara dan kekuasaan agama.
(* andaikata negara/umara dan agama/ulama ini “nikah” baik-baik, tentu gak begini jadinya *).
Karena itu tak heran Sekulerisme kemudian memiliki lima anak haram.
Anak pertama bernama Liberalisme.
Prinsip hidupnya: biarkan semua bebas bicara, bebas berperilaku, bebas berkeyakinan/beragama dan bebas dalam memilih cara memiliki sesuatu, selama tidak mengganggu kebebasan orang lain. Karena itu, Liberalisme tidak menghalangi orang untuk memeluk agama – apapun agamanya, bahkan mereka yang membuat agama barupun harus dihormati. Belakangan Liberalisme juga melahirkan anak haram: yaitu Permisivisme..
Anak kedua bernama Pluralisme.
Prinsip hidupnya: ruang publik jangan didominasi salah satu kelompok / paham tertentu saja. biarkan semua terlibat. pembangunan akan lebih cepat kalau energi kesalehan disinergikan dengan energi setan. Karena itu, Pluralisme memandang, setiap kelompok harus terwakili dan didengar suaranya dalam membuat kebijakan publik, termasuk kelompok pekerja seks komersial, kelompok pengedar narkoba, ataupun kelompok keluarga terpidana korupsi.
Belakangan Pluralisme juga melahirkan anak haram: yaitu Sinkretisme agama.
Anak ketiga bernama Demokrasi.
Prinsip hidupnya: dari, oleh dan untuk rakyat.
Kedaulatan hukum itu ada pada rakyat, sehingga penguasa wajib menjalankan keinginan rakyat. Kekuasaan ditentukan dengan pemilu yang bebas oleh rakyat, ini ditandai dengan kebebasan pers, kebebasan berserikat (berpartai) dan kebebasan pemilu yang jujur dan adil. Demokrasi memandang kalau mayoritas rakyat menginginkan de-kriminalisasi narkoba, maka bisa dibuat Undang-Undang yang lebih ramah terhadap narkoba. Demikian juga kalau mayoritas rakyat memandang legalisasi profesi pekerja seks atau legalisasi profesi rentenir sebagai hal yang lebih bermanfaat, maka akan keluar pula hukum yang memayunginya. Satu-satunya yang dianggap benar adalah keinginan rakyat, hari ini, di negeri ini. Karena itu Demokrasi kadang menelurkan keputusan yang kontradiktif, yaitu secara langsung atau tak langsung bisa menghancurkan masa depannya sendiri, atau rakyat / lingkungan negeri lain. Tak heran belakangan Demokrasi melahirkan anak-anak haram: yaitu “kepentingan nasional” (Nasionalisme) – dan Chauvinisme.
Anak keempat bernama Kapitalisme.
Prinsip hidupnya: biarkan tangan-tangan gaib kekuatan pasar mengatur dirinya sendiri, bagaimana distribusi barang dan jasa yang paling optimal untuk kebahagian semua orang. Hasilnya, semua bisa didapatkan bagi yang punya uang. Anak keempat ini cukup dominan dalam keluarga, karena dialah penopang utama kakak-kakaknya. Dia royal memberi “uang jajan” atau “uang lelah” ke aktivis pro Liberalisme, juga rajin pasang iklan ke media massa pro Pluralisme, dan tentu saja memberi “modal” untuk membesarkan partai, membiayainya dalam kampanye, melobby para politisi pesaing dan kaum intelektual, hingga “money politik” untuk calon pemilihnya dalam pemilu. Semua tentu saja dipandang sebagai investasi, tidak gratis. Kapitalisme ini akan meminta pengembalian “plus bunga” dalam bentuk peraturan perundangan yang akan menjamin bahwa mereka semakin kaya, misalnya sistem ribawi, sistem uang fiat, sistem pasar saham sekunder, sistem hak konsesi atas sumber daya alam, sistem monopoli kekayaan intelektual, dan sebagainya.
Kapitalisme memiliki anak-anak haram: Materialisme dan Hedonisme, yang merasa bahwa tolok ukur kebahagian di dunia diukur dengan materi, dan hidup harus dipuas-puaskan dengan kenikmatan dunia..
Anak kelima bernama Imperialisme.
Prinsip hidupnya: Gold, Gospel & Glory. Di manapun, kekayaannya harus kita kuasai; referensi hidupnya harus referensi kita; dan kita harus dihormati atau bahkan diagungkan. Karena prinsipnya ini, maka Imperialisme mengekspor tak cuma produk maupun jasa, tetapi juga falsafah hidup, hukum yang menjadi rujukan halal/haram, bahkan nilai-nilai etika dan estetika (film, food, fun, fashion). Pada masa dulu, imperialisme dilakukan secara militer, tetapi sekarang lebih kuat karena dibentengi hutang dan aturan dagang, mata uang internasional, hukum internasional, dsb. Imperialisme memiliki anak haram yaitu Globalisasi.
Lima anak ini kini telah merantau. Terkadang dua atau tiga bersaudara bertemu di suatu negeri, dan bahkan melakukan selingkuh sedarah (incest). Hasilnya tentu berbeda dengan yang hanya di kandang sendiri … Apalagi kalau terus ikut tobat dan ngaji nyantri …
Merasa kenal?
SISTEM LEVEL APA YANG INGIN DIGANTI?
Banyak kalangan menilai bahwa berbagai kemunduran dan kerusakan di negeri ini sudah sangat sistemik. Oleh karena itu tidak cukup hanya ganti orang, tetapi juga ganti sistem. Persoalannya, kalau didesak, sistem yang bagaimana atau pada level yang mana yang ingin diganti, banyak yang masih celingukan …
Soalnya, ganti orang terkadang otomatis ganti sistem. Bukankah yang menentukan itu pada akhirnya juga orang? Istilah kerennya “Not the gun but the man behind the gun” ? Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ingin sekedar me-refresh beberapa pengertian sistem dan leveling sebuah sistem itu.
Sesuatu disebut SISTEM kalau ia merupakan “is a set of interacting or interdependent components forming an integrated whole”. Karena itu sebuah sistem itu (1) memiliki struktur yang terdiri dari komponennya, (2) memiliki pola perilaku (behavior) yang mengolah suatu input menjadi output tertentu secara konsisten, (3) memiliki interkonektifitas bagaimana bagian-bagian sistem saling berhubungan, dan (4) mungkin memiliki beberapa fungsi atau kelompok fungsi.
Dengan pengamatan yang serius, dalam kehidupan ini ternyata dapat diidentifikasi 5 jenis level sistem:
1. Level Praktis – yakni sistem di tataran pelaksana. Pada umumnya ini cukup lokal. Misalnya, seorang Kepala Sekolah membuat aturan – kadang tidak tertulis – misalnya seluruh siswa wajib memakai seragam batik tiap Jum’at, atau seluruh siswa wajib menabung di sekolah, atau ada iuran untuk pengadaan AC, atau siswa yang terlambat kena denda Rp. 1000/menit, dsb. Sebaik apapun tujuannya, semua ini akan berakibat sistemik tetapi hanya pada siswa di sekolah itu. Kalau ada siswa yang keberatan karena berbagai alasan, mereka pantas protes ke Kepala Sekolah. Kalau Kepala Sekolah ngeyel, lalu orang tua siswa yang berpengaruh lapor ke Dinas, lalu sang Kepala Sekolah dimutasi, dan Kepala Sekolah penggantinya mencabut beberapa aturan itu, maka dampak sistemik itu juga akan berubah.
2. Level Mekanis – yakni sistem yang sudah dimekaniskan. Pintu lintasan kereta api atau mesin ATM adalah contoh sistem yang sudah dibuat mekanis. Pengguna jalan atau pemilik rekening mau tidak mau wajib tunduk. Sekalipun ada pengguna jalan yang tergesa-gesa untuk suatu persoalan kemanusiaan yang urgen, dia tidak bisa menerobos palang pintu kereta api. Demikian juga, sekalipun pemilik rekening punya uang 1 Milyar, tetapi kalau quota menarik uang dari ATM dibatasi Rp. 10 juta perhari, ya hanya segitu saja yang bisa dia tarik, tidak ada toleransi. Untuk mengubah sistem di level mekanis ya harus ke otoritas yang memprogramnya/mengoperasikannya.
3. Level teknis – yakni sistem tatacara kerja yang sudah dibuat prosedur operasional baku (Standard Operating Procedure, SOP). Misalnya SOP pembukaan rekening bank – yang di bank konvensional pasti akan diberikan bunga. Atau SOP penerimaan mahasiswa PTN – yang calon mahasiswa akan dikenakan uang pangkal sesuai tingkat penghasilan orang tuanya. SOP ini sebagian juga dimekaniskan (seperti dalam kasus rekening Bank), tetapi sebagian tidak, sehingga bisa dimainkan. Namun yang jelas sistem level teknis hanya bisa diubah oleh otoritas yang berwenang, dalam kasus tadi Pimpinan Bank atau Pimpinan PTN ybs.
4. Level juridis – Keberadaan sistem teknis kadang-kadang karena dipayungi atau bahkan diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya, Peraturan Bank Indonesia atau UU Perbankan, atau UU Sistem Pendidikan Nasional. UU Perbankan mengijinkan bank dengan sistem bunga atau sistem syariah (dual-system). UU Sisdiknas mendorong peran serta masyarakat dalam pendidikan, yang diterjemahkan dengan kebolehan membuat sekolah swasta, atau kebolehan sekolah negari menarik iuran dari peserta pendidikan dengan sepersetujuan komite sekolah. Andaikata peraturan perundang-undangan ini tidak membuka keran sistem bunga, atau keran iuran, ya pasti sistem pada level teknisnya tidak mungkin ada — walaupun mungkin akan muncul persoalan lain, misalnya tidak ada lagi orang mau nyimpan uang di Bank, atau mutu sekolah menjadi merosot sekali … Apapun yang terjadi, level juridis ini biasanya diputuskan tidak oleh satu pihak tetapi banyak pihak, misalnya DPR bersama Pemerintah (Presiden beserta Kabinet).
5. Level politis – Perundang-undangan apapun tergantung pada sistem politis sebuah negara. Yang dimaksud misalnya konstruksi NKRI, UU45 berikut seluruh amandemennya, adanya lembaga-lembaga seperti DPR, Presiden, MK, BPK dll berikut kewenangannya, juga eksistensi partai-partai politik. Mengapa Presiden bisa terkunci oleh DPR meski dia dipilih langsung, ini semua adalah sistem di level politis. Hasilnya tidak bisa langsung ke level praktis, karena pasti melalui juridis, teknis, mekanis dan praktis. Tetapi jelas level politis ini sangat strategis, dan untuk mengubahnya juga tidak sederhana. Di Indonesia yang bisa mengubah sistem politis hanya MPR, itupun setelah melalui proses politik yang panjang dan melelahkan.
Di atas level politis ini ada 3 suprasistem lagi, yaitu:
6. Level akademis – Kebijakan politis perlu dasar (atau pembenaran) secara akademis, demikian juga pembuatan hukum (juridis). Maka di level akademis ini, sebuah sistem juga harus “lulus”, kalau dia ingin legitimate & sustain dalam jangka panjang. Untuk mengganti sistem di level akademis ini berarti kita harus mengganti akademisinya (kalau punya stock :-)), atau kita mengganti isi otak para akademisi yang sudah ada, dengan cara diskusi yang juga sangat melelahkan – dan karena itu tidak mudah! Revolusi di berbagai negara biasa didahului dengan perdebatan akademis puluhan tahun.
7. Level ideologis – Level akademis, apalagi dalam persoalan politik-ekonomi-hukum, sangat tergantung pada ideologi yang mendasarinya. Apakah ideologisnya condong ke kapitalis, sosialis, atau campuran, atau bukan semuanya? Kalau sistem ini tidak jelas ideologinya, maka ia akan sangat labil. Untuk mengubah sistem di level ideologi, mirip seperti di level akademis, yakni mengubah para ideolog, yakni tokoh-tokoh yang paling gencar meyakini, mendukung dan mengemban sebuah ideologi. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam politik atau intelektual, yang faktanya diikuti oleh banyak orang, termasuk para pemegang kekuasaan.
8. Level filosofis – Level ideologis ini hanya akan dipegang oleh orang-orang yang memiliki idealisme. Jadi ujung-ujungnya memang kembali ke orang lagi. Tetapi di sini yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki pengaruh besar, bisa pemimpin politik atau “guru bangsa”. Repotnya, pada level ini ada juga tokoh-tokoh yang sebenarnya miskin idealisme, tetapi bekerja karena kepentingan (interest) atau tekanan (intrik). Untuk dua jenis mahluk terakhir ini kita tidak ada gunanya bicara ideologi, tetapi harus kita tanamkan dulu kepada mereka keimanan, iman pada akherat, iman kepada qadha & qadar, rejeki dan ajal. Tentu saja pada para idealist, tetapi ideologinya masih sekuler, kita juga wajib menyampaikan jalan menuju keimanan pada mereka.
Jadi, mari jangan loncat logika … ketika ada jalan rusak, atau sekolah reyot, kita langsung ingin mengganti sistem di level yang tertinggi … jangan-jangan itu cukup level praktis saja, karena Kepala Dinas PU atau Kepala Sekolahnya malas atau korup.
Salam.