Sejak teknologi memungkinkan orang-orang Islam bisa menjelajah ke segala penjuru bumi dengan mudah, ada sejumlah fiqih ibadah yang perlu dipikirkan ulang, perlu ijtihad – meski ada kaidah bahwa dalam ibadah tidak ada ijtihad. Misalnya:
1. Sahkah syahadat (bagi muallaf) tanpa disaksikan seorang muslim, tetapi hanya dibimbing oleh software atau website atau paling jauh via skype.
2. Bagaimana cara berwudhu, menentukan waktu sholat dan qiblat bagi seseorang yang berada di pesawat antar benua, atau di stasiun ruang angkasa, atau berada di pos pengeboran minyak di lingkar kutub ? Bagaimana adzan yang menggunakan pengeras suara atau radio ? Bolehkah mengikuti sholat dengan imam yang terjangkau dengan televisi ? (more…)
Dr. Fahmi Amhar
Pernahkah kita menghitung berapa banyak medali dari area kontes olahraga internasional yang dimenangkan oleh atlit dunia Islam? Minimal.
Pernahkah kita menghitung, berapa banyak olahraga beladiri yang dari Asia Timur (Cina, Korea, Jepang) dan berapa dari Dunia Islam (Timur Tengah)? Kita bahkan tidak tahu lagi, apa nama olahraga beladiri yang pernah dipelajari para mujahid. Yang pasti bukan kungfu, karate, kempo, aikido, iaido, judo, jiu jitsu ataupun taekwondo.
Padahal Rasulullah pernah memerintahkan agar anak-anak muslim diajari olahraga berenang, berkuda dan memanah, suatu tamsil olahraga-olahraga yang dapat digunakan untuk survival, membela diri, dan tentunya berjihad.
Kalau kita menengok pada sejarah dan kebudayaan di Nusantara, akan ditemukan berbagai jenis beladiri tradisional yaitu “silat”. Menurut Sheikh Shamsuddin (2005) dalam “The Malay Art Of Self-defense: Silat Seni Gayong” silat adalah ilmu beladiri yang terbuka sejak awal, sehingga membawa unsur-unsur yang diserap dari para pedagang maupun prajurit dari India, Cina, Arab, Turki dan sebagainya. Legenda di Semenanjung Melayu meyakini bahwa Hang Tuah dari abad-14 adalah pendekar silat yang terhebat. Hal yang sama terjadi di Pulau Jawa, yang membanggakan Mas Karebet, alias Joko Tingkir alias Sultan Hadiwijaya yang berkuasa di kesultanan Pajang.
Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum ulama, seiiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-14 di Nusantara. Catatan historis ini dinilai otentik dalam sejarah perkembangan pencak silat yang pengaruhnya masih dapat kita lihat hingga saat ini. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau-surau. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual, karena sudah menjadi tradisi di pesantren-pesantren, bahwa ilmu silat tingkat tinggi hanya diberikan kepada santri yang telah khattam kitab-kitab fiqih dan tasawuf tingkat lanjut serta telah terbukti mampu menahan gejolak hawa nafsunya.
Apa yang terjadi dan masih dapat dibuktikan jejaknya di berbagai pesantren di Nusantara ini pastilah cerminan dari tradisi yang sama yang mungkin merata di Daulah Islam. Tidak akan mungkin Daulah Islam memiliki para mujahid yang tangguh manakala mereka tidak memiliki mata airnya, yaitu para santri yang mempraktekkan olahraga para mujahid. Dengan demikian, silat atau sejenisnya berkembang di dunia Islam oleh semangat jihad, bukan semangat ingin terkenal di arena kejuaraan, apalagi sekedar semangat mendapatkan materi ataupun balas dendam. Namun ketika aura jihad semakin redup dari dunia Islam, meredup pula tradisi tersebut.
Selain silat, olahraga yang sangat terkait dengan jihad adalah olahraga strategi, yaitu catur. Secara umum catur dipercaya berasal dari India pada masa kerajaan Gupta pada abad-6 Masehi. Catur berasal dari kata “caturaga”, yang berarti empat divisi di ketentaraan yakni infrantri (=prajurit yang berjalan kaki), kavaleri (=kuda), gajah, dan panser (=benteng). Permainan ini kemudian populer di wilayah kekaisaran Persia sekitar tahun 600 M. Ketika Persia dibebaskan oleh tentara Islam, permainan ini ikut diadopsi, karena dipandang baik untuk berlatih strategi. Istilah “skak” berasal dari kata Persia “Syah”, yang berarti raja. Tentu saja, suatu pasukan tidak akan memang jika hanya belajar strategi saja. Namun ketika ilmu strategi ini telah mengendap pada para komandan pasukan Islam, ditambah mereka memiliki kesiapan jasmaniyah – yang dilatih dengan silat – dan kesiapan ruhiyah yang dilatih dengan taqarrub ilallah, maka mereka menjadi pasukan yang sangat tangguh.
Selain beladiri sebagai olahraga jihad, berenang dan menunggang kuda juga menjadi olahraga primadona di masa khilafah Islam yang panjang. Khilafah Islam banyak membangun pemandian umum di dalam gedung tertutup, di mana pemandian khusus pria terpisah sama sekali dari pemandian khusus wanita, dengan penjaga yang hanya dari jenis kelamin yang sama. Walhasil olahraga berenang dapat dipelajari dan dinikmati secara sehat, tanpa risiko-risiko pelanggaran terhadap syariat. Sebagian sisa-sisa pemandian ini masih dapat dilihat sampai sekarang di Cairo, Damaskus atau Istanbul. Model pemandian semacam ini oleh orang Eropa disebut dengan “Turkish Bath”.
Kemampuan berenang para mujahid Islam terbukti dalam beberapa peperangan di air, di mana mereka sengaja menabrakkan kapal-kapalnya ke kapal musuh, dan meloncat ke dalam air beberapa menit sebelumnya. Selanjutnya kapal musuh yang tersangkut kapal yang menabraknya itu dibakar dengan panah berapi.
Demikian juga dengan berkuda. Perhatian terhadap kuda adalah istimewa, karena kuda memiliki berbagai fungsi baik di masa damai maupun masa perang. Perhatian selama berabad-abad itu menghasilkan ras “kuda Arab” yang dikenal sebagai salah satu ras unggul di dunia, yang mampu mengarungi padang pasir dengan lebih cepat. Namun ras unggul itu hanya akan bermanfaat bila kendalinya dipegang oleh pengendara yang mahir. Karena itu, kemampuan menunggang kuda tingkat dasar sempat menjadi salah satu pelajaran yang wajib dikuasai seorang pelajar ibtidaiyah sebelum dinyatakan lulus.
Kemunduran olahraga beladiri secara signifikan terjadi merata di seluruh dunia (termasuk di Eropa) sejak ditemukannya senjata api. Ketika Eropa dengan intelijen dan tipu muslihatnya berhasil menjajah berbagai negeri di Asia, termasuk sebagian besar dunia Islam, mempelajari beladiri tradisional mulai dilarang secara sistematis. Ilmu-ilmu beladiri ini baru mengalami “reinkarnasi” jauh setelah penjajahan militer berakhir, dan setelah seni beladiri berhasil dimandulkan hanya untuk sekedar olahraga. Seni beladiri sebagai suatu kemampuan untuk bertarung yang sesungguhnya hanya tinggal ada di film-film laga, yang dalam hal ini film Jepang atau Cina memang selangkah lebih maju, sehingga berhasil membuat seni beladiri dari negeri itu terkenal dan berkembang di seluruh dunia.
Demikian juga kemampuan berenang di dunia Islam justru semakin turun sejak pemandian-pemandian umum yang syar’i tiada. Selain atlit perenang yang sedang berlatih, mayoritas orang datang ke kolam renang hanya untuk bersenang-senang, sambil suka tak suka menyaksikan aurat di sana-sini. Sementara itu, sejak ditemukannya sepeda dan kendaraan bermotor, berkuda menjadi sesuatu yang exklusif bagi kalangan berada. Padahal banyak sisi lain yang dapat dipelajari dari berkuda, yang tak ditemukan pada kendaraan lain.
Dr. Fahmi Amhar
Peperangan (atau mungkin tepatnya “pembantaian” ?) yang sekarang sedang terjadi di Gaza atau sudah beberapa tahun terjadi di Afghanistan dan Irak, kadang-kadang membersitkan pertanyaan, apakah posisi lemah kaum muslim memang karena faktor teknologi militer atau persenjataan mereka?
Dilihat dari data kuantitatif memang kekuatan militer Israel dibandingkan dengan Hamas seperti langit dan sumur! Demikian juga dengan AS dan mujahidin di Irak dan Afghanistan. Memang perang belum berakhir. AS dan semoga juga Israel belum benar-benar menguasai keadaan di tempat yang didudukinya. Namun ternyata juga tak mudah bagi kaum muslim untuk mengusir para agresor itu. Dan adalah suatu fakta yang objektif bahwa kesulitan itu antara lain karena lemahnya faktor persenjataan kaum muslim, selain juga lemahnya persatuan, buruknya kepemimpinan, dan rendahnya semangat jihad kaum muslim.
Maka muncul pertanyaan berikutnya: apakah di masa keemasan Islam, mereka menguasai teknologi militer persenjataan yang lebih canggih dari bangsa-bangsa lain? Ataukah keunggulannya di masa lalu itu semata-mata dari semangat jihad yang menyala-nyala, kepemimpinan yang efisien, sehingga kaum muslim dapat bersatu dan kuat?
Masih ada pihak di dalam kaum muslim yang berpendapat bahwa teknologi militer kaum muslim di masa lalu tidaklah sepenting semangat, kepemimpinan dan persatuan. Mereka berargumentasi bahwa pada masa Rasulullah dan sahabat teknologi senjata yang dimiliki juga masih sangat sederhana, bahkan di bawah teknologi negara-negara adidaya seperti Romawi dan Persia, namun faktanya tentara Islam berhasil memenangkan peperangan.
Karena itu lantas ada sejumlah muslim yang menolak teknologi militer, apalagi saat ini hampir seluruhnya diimpor dari negara-negara adidaya penjajah seperti Amerika, Inggris, Perancis atau Rusia. Sejumlah orang Islam mencukupkan diri (“qanaah”?) dengan latihan pencak silat dan upaya spiritual. Yang dimaksud adalah upaya menghasilkan kesaktian, seperti kebal, dapat menghilang atau berpindah tempat secara mistik.
Namun kalau kita telaah sejarah, ternyata sejak awal kaum muslim sangat terbuka dalam mempelajari teknologi militer. Pada perang Ahzab, Rasulullah saw menerima usulan untuk membuat parit dari Salman yang berasal dari Persia. Sampai saat itu, bangsa Arab tidak pernah mengenal teknik perang parit.
Rasulullah juga sempat mengirim sejumlah sahabat untuk berburu ilmu ke Cina. Mereka kemudian pulang di antaranya membawa pengetahuan membuat mesiu yang di Cina biasa dipakai untuk membuat kembang api saat perayaan Imlek, dan saat itu belum dikenal di luar Cina.
Kaum muslim kemudian mengembangkan berbagai ilmu dasar yang terkait teknologi militer, yaitu fisika dan kimia. Sekarangpun bila Hamas ingin merakit sebuah roket sederhana untuk mengganggu Israel, mereka harus menguasai fisika dan kimia dasar. Fisika untuk mekanikanya, dan kimia untuk bahan bakar dan peledaknya. Kalau roket itu ingin dapat dikendalikan, maka mereka harus menguasai elektronika, terutama terkait sinyal radio dan navigasi.
Pada tahun 1228, laporan independen dari Perancis menyebutkan bahwa tentara muslim sudah menggunakan bahan peledak untuk mengalahkan tentara Salib yang dipimpin Ludwig IV. Bahan peledak itu dikemas dalam pot-pot tembikar yang dilontarkan dengan ketapel raksasa.
Tahun 1260 pistol pertama telah digunakan oleh tentara Mesir dalam mengalahkan tentara Mongol di Ain Jalut. Menurut Syamsuddin Muhammad (wafat 1327 M) pistol itu berisi bubuk mesiu yang komposisinya idealnya terdiri dari 74% salpeter, 11% sulfur, dan 15% karbon. Mereka juga sudah menggunakan pakaian tahan api untuk melindungi dari dari bubuk mesiu itu.
Tahun 1270 insinyur kimia Hasan al-Rammah dari Suriah menulis dalam kitabnya al-Furusiyya wa al-Manasib al-Harbiyya (Buku tentang formasi perang [dengan pasukan berkuda] dan peralatan perang) hampir 70 resep kimia bahan peledak (seperti kalium nitrat) dan teknik pembuatan roket. Dia menuliskan bahwa banyak dari resep itu telah dikenal generasi kakeknya, yang menunjukkan akhir abad 12 M. Komposisi bahan peledak secanggih ini belum dikenal di Cina atau Eropa sampai abad-14 M. Torpedo juga ditemukan oleh Hasan al-Rammah yang memberi ilustrasi torpedo yang meluncur di air dengan sistem roket yang diisi bahan peledak dengan tiga lubang pengapian.
Ibnu Khaldun menuliskan bahwa pada tahun 1274 penggunaan meriam telah dimulai oleh Abu Yaqub Yusuf dalam menaklukkan kota Sijilmasa. Namun penggunaan “senjata super” yaitu meriam raksasa pertama kali adalah saat penaklukan Konstantinopel pada 1453 oleh tentara Muhammad al Fatih. Dia memiliki meriam dengan diameter 762 mm yang dapat melontarkan peluru batu ataupun mesiu hingga seberat 680 kg.
Pada 1582 Fathullah Shirazy, seorang matematikawan dan ahli mekanik Persia-India yang bekerja untuk dinasti Mughal menemukan senapan mesin. Mesin ini dapat mengoperasikan meriam berikut membersihkan hingga enam belas lubang mesiunya secara otomatis. Mesin ini dioperasikan dengan tenaga sapi.
Teknologi militer di masa khilafah Islam juga mencakup hal-hal yang paling “sederhana” seperti ilmu metalurgi untuk menghasilkan pedang dan tombak yang lebih kuat, metode komunikasi militer untuk menyampaikan pesan-pesan rahasia secara cepat, hingga astronomi navigasi untuk memandu kapal-kapal perang ke tujuan dengan akurat secara cepat.
Di berbagai era kekhilafahan, peran para perekayasa militer terus meningkat. Korps perekayasa yang terdiri dari pandai besi (metalurgist), tukang kayu, ahli keramik, ahli kimia dan sebagainya dibentuk, dan mereka bekerja di bawah komando yang langsung bertanggung jawab kepada Amirul Jihad.
Pada 1683 M, tentara khilafah Utsmani yang persenjataannya masih di atas seluruh persenjataan Eropa bersama-sama, salah strategi, sehingga misi mereka menaklukkan Wina Austria tanpa tetesan darah, gagal total. Jihad kemudian dinyatakan “reses”. Akibatnya korps perekayasa militer ini mengalami stagnasi. Pada akhir abad 18 saat tentara Napoleon memasuki Mesir, teknologi meriam Perancis sudah di atas meriam Mesir – yang praktis sudah berhenti berkembang selama satu abad! Karena itu memang jihad tidak boleh berhenti. Jihad itulah yang akan terus mengobarkan perkembangan teknologi militer kaum muslimin.