Beyond the Scientific Way

Fahmi Amhar Official Blog

Munculnya Diktator Liberal

Wednesday, June 21st, 2006

Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 15 Juni 2006.

Muncul keheranan ketika membaca tulisan Saiful Mujani “Kelompok Islam Anarkis” (Media Indonesia 12/06/2006). Tulisan itu jauh dari karya seorang peneliti yang mestinya teliti dan berimbang, tetapi lebih merupakan suatu bentuk propagative-provocation (provokasi yang terus disebarkan dan diulang-ulang) yang akhir-akhir ini gencar dilakukan teman-teman dari kalangan yang menamakan diri Islam Liberal. Meski salah, lama kelamaan hal itu akan membentuk memori kolektif, dan akhirnya dianggap seolah-olah benar. Seperti kata Hitler, “kebohongan seribu kali akan bisa menjadi kebenaran”.

Karena para penebarnya memiliki akses media, maka propaganda provokatif itu berlangsung massif. Namun kita cemas, alih-alih mencerahkan rakyat. Kelak mereka akan gigit jari, karena bisa terjadi sebaliknya, meminjam pepatah Arab: al-kadzdzab la yushaddiquhu wa lau kana shadiqan (para pembohong itu pada akhirnya omongannya tidak akan dianggap benar, sekalipun sesekali mereka benar).

Kita sadar, bahwa propaganda terkait dengan anarkisme kelompok Islam itu mempunyai tujuan akhir: pembubaran, pembekuan atau pelarangan ormas-ormas yang dicap melakukan anarkisme. Propaganda ini sedang menciptakan atmosfir yang kondusif bagi lahirnya kebijakan negara. Atmosfir yang kondusif itu akan digunakan sebagai justifikasi (pembenaran). Karena setiap kebijakan harus ada justifikasinya, baik logis maupun tidak. Nah, inilah yang terus-menerus digalang sampai tujuannya tercapai. Sayang kalau hal itu dibangun di atas kebohongan publik – apalagi oleh orang-orang yang mungkin pantas disebut intelektual.

Kasus Purwakarta, yang diidentikkan dengan insiden pengusiran Gus Dur, sengaja diperalat untuk mengadu-domba elemen-elemen Islam, meski pihak-pihak yang terlibat secara terbuka telah membantah adanya insiden itu. Sehari setelah kasus tersebut, Hizbut Tahrir Indonesia telah melakukan klarifikasi (25/05/2006), diikuti pernyataan bersama MUI, sejumlah ormas dan kepolisian (26/05/2006), bahkan pada akhirnya Gus Dur sendiri (27/05/2006), yang intinya menyatakan bahwa kasus pengusiran itu tidak ada. Tetapi, tetap saja isu pengusiran dan anarkisme tersebut terus dihembuskan. Mobilisasi massa pun dilakukan atas nama pembelaan terhadap Gus Dur, bahkan disertai dengan tuntutan, dari sekedar minta maaf sampai pembubaran.

Bahkan, kemudian Pancasila dan NKRI dinyaringkan lagi, setelah sekian lama seperti “hilang” dari wacana publik. Mereka tampil bak pahlawan kesiangan, atasnama Pancasila dan NKRI, menuduh lawan-lawannya sebagai anti Pancasila dan membahayakan NKRI. Dengan mengulang-ulang propaganda ini, mereka terus memprovokasi penguasa untuk memberangus kebebasan lawan mereka.

Munculnya Diktator Liberal

Propaganda provokatif dengan kebohongan itu, diakui atau tidak, adalah bentuk kekalahan intelektual para pejuang kebebasan. Mereka tidak bisa lagi beragumentasi secara logis dan sehat. Maka, bahasa ototlah yang mereka gunakan: pembubaran dan pembekuan, yang kesemuanya menggunakan tangan besi penguasa. Pelan-pelan mereka telah bermetamorfosis menjadi Diktator Liberal, Diktator yang mengatasnamakan kebebasan.

Aneh, dalam mengusung freedom of speech (kebebasan berbicara), di satu sisi mereka sampai berani menghina al-Qur’an, Nabi, kesucian agama, dan menolak syariat Islam, dengan tameng demokrasi dan kebebasan, tapi di sisi lain, ketika orang lain menyuarakan penerapan syariat Islam, dan bahkan membuat UU dan perda dengan mengambil sumber syariat Islam, langsung dituduh bertentangan dengan demokrasi, Pancasila, UUD 45, memecah belah NKRI, dan tuduhan yang terkesan asal-asalan lainnya.

Sejujurnya, mana pasal / ayat UU di negeri ini yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana pasal / ayat UUD 45 yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Mana sila-sila Pancasila yang tegas menolak penerapan syariat Islam? Tidak ada. Jadi kalau tidak ada, untuk apa ngotot seraya membohongi publik, dengan mengatakan bahwa penerapan syariat Islam jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 45, UU dan seterusnya. Apakah ini sikap yang intelektual?

Karena itu jangan tuduh orang lain yang menyuarakan aspirasinya untuk menerapkan syariat Islam dengan tuduhan melanggar hukum. Bukankah, UU dan perda-perda syariah itu lahir dari proses demokrasi? Ataukah demokrasi itu hanya untuk kepentingan kapitalis belaka, dan bukan untuk yang merindukan Islam? Kalau memang demikian, jangan klaim bahwa demokrasi itu kompatibel dengan Islam. Dan, jangan salahkan, kalau orang Islam meyakini, bahwa demokrasi itu hanya alat penjajahan, bertentangan dengan Islam dan justru untuk memberangus kemuliaan Islam.

Maka, kalau atas nama demokrasi kebebasan menyampaikan aspirasi, berekspresi dan berserikat dibenarkan UU, keliru kalau kemudian ketika HTI, MMI, FPI atau PKS menyampaikan aspirasi dan mewacanakan sistem alternatif, baik ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, politik dalam dan luar negeri yang berbasis syariah, sebagai wacana publik, kemudian disebut melanggar konstitusi. Konstitusi yang mana? <>Kalau logika itu dipakai, maka tak perlu lagi ada jurusan syariah, madrasah dan pesantren yang mengajarkan syariah, karena wacana syariah, sebagai wacana alternatif, dianggap melanggar konstitusi. Bedanya, HTI, MMI, FPI dan PKS mewacanakan syariah secara terbuka di ruang publik, melalui khutbah, buletin, majalah, koran, radio, televisi, dan internet sementara jurusan syariah, madrasah dan pesantren mewacanakannya di ruang-ruang kelas, dan sifatnya terbatas. Itu saja.  Ataukah propaganda ini memang untuk membendung Islamisasi, yang sering kali disebut Talibanisasi, Arabisasi, dan sebagainya itu?

Tuduhan bahwa HTI dengan konsep Khilafahnya akan menghancurkan NKRI itu juga terlalu mengada-ada. Kalau mau jujur, siapa yang mengingatkan rakyat negeri ini ketika Timor Timur akan merdeka? Siapa yang mengingatkan potensi lepasnya Aceh dan Papua saat ditandatanganinya Perjanjian Helsinki? Siapa yang mengingatkan bahaya masuknya militer asing, dengan kedok bantuan kemanusiaan di Aceh, dan menyerahkan urusan Aceh kepada pihak asing, melalui AMM? Siapa yang memprotes lepasnya Blok Cepu ke tangan Exxon-Mobil, memprotes UU Sumber Daya Air, yang menyebabkan rakyat negeri ini tidak lagi memiliki “tanah-air”? Kita harus akui, bahwa saat itu, HTI membuktikan diri kesetiaannya pada negeri ini dengan menyebar puluhan ribu booklet tentang hal itu serta menggalang aksi damai di Jakarta dan beberapa kota, tanpa mereka sok Pancasilais, demokrat, dan seterusnya.

Sayang, mereka yang mengklaim sebagai pejuang demokrasi, HAM, Liberal, Pancasilais, konstitusional, justru berdiam diri dengan penjualan aset negara kepada asing, membiarkan martabatnya diinjak-injak dengan menerima donasi dari negara-negara penjajah, dan tidak menunjukkan dukacita sedikitpun, saat ekonomi kita hancur, budaya kita tergadai dan peradaban kita tenggelam dari kancah dunia.

Mitos, Sains dan Iman di tengah Bencana

Sunday, June 11th, 2006

Tulisan ini dipublikasikan di harian KR, Yogya, 12 Juni 2006

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

Meletusnya Merapi sering dikaitkan dengan suatu mitos. Kiai Dandang Wesi – danyange gunung Merapi – ini nama menurut almarhum SH Mintardja – barangkali sedang hajatan. Dan menurut Mbah Maridjan, orang hajatan tidak akan buang sampah di pekarangan rumah. Makanya dia tenang-tenang saja tinggal di dusunnya. Dia bahkan tidak tertarik untuk diajak Walikota Berlin ke Jerman ikut “ngeruwat” Piala Dunia.

Demikian juga, gempa besar yang meluluhlantakkan Yogya dan Klaten tempo hari, konon karena Nyi Loro Kidul – ratu laut selatan – marah karena RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi mau disahkan. Karena nanti kembenannya yang seksi bisa jadi delik. Ini minimal menurut Permadi, anggota DPR dari PDIP yang tetap berprofesi atau berhobby sebagai paranormal. Versi lainnya mengatakan bahwa Nyi Loro Kidul yang sekarang sudah teremansipasi, jadi tidak mau lagi dimadu oleh Kanjeng Sultan Yogya. Wah-wah, yang namanya mitos bisa liar begini.

Tapi yang lebih liar lagi, beberapa hari yang lalu ada sms dan email yang beredar di seluruh jagad. Bahwa lempeng Indo-Australia sedang bergerak menuju lempeng Eurasia, dan dalam 11 hari setelah 27/5/2006, atau tanggal 6/6 kemarin, akan menumbuknya dan melecut gempa yang lebih besar lagi. Akibatnya beberapa kalangan ragu-ragu untuk beres-beres rumah. Sampai-sampai ada anggota tim yang ditugaskan mendata rumah yang akan dibantu lalu menunda pendataan, sekalian saja kalau gempa besar itu sudah terjadi, pikirnya.

Apa yang terjadi ini semua adalah mitos. Kadang-kadang mitos dibumbui dengan sains. Tentu saja dari orang yang tidak begitu mengerti sains. Karena yang namanya gerak lempeng itu tidak mudah diukur dalam ukuran hari. Kalau lempeng bergerak 10 cm per tahun, artinya per hari kurang dari 0,3 milimeter. Ini suatu dimensi yang bisa diukur untuk benda mikroskopis, tetapi tidak bisa diukur dengan ketelitian yang dibutuhkan untuk ukuran lempeng benua. Lagipula, gempa besar itu bukanlah saat “tumbukan” itu sendiri, tetapi ketika material yang ada di perut bumi sudah tidak sanggup menahan energi desakan lempeng.

Kembali ke masalah mitos. Mbah Maridjan mungkin sedang melakukan doa dan ritual tertentu sesuai keyakinannya. Waktu dulu Yogya terancam badai, ada sesaji dengan 12 atau 17 macam jenang. Ritual semacam ini tentu saja tidak ilmiah, tetapi faktanya sudah dilakukan orang berabad-abad. Pada situasi di mana sains juga tidak banyak menolong, orang biasa lari ke mitos dan klenik. Tidak cuma di Yogya. Di Jepang dan Amerika yang sudah majupun, mitos tetap ada. Hal ini terkait dengan kebutuhan spiritual yang merupakan bagian dari fitrah manusia.

Tetapi ada cerita menarik yang terjadi hampir 14 abad yang lalu. Kalau Yogya terancam gunung Merapi, maka negeri Mesir terancam banjir Sungai Nil atau di musim yang lain kekeringan. Maka Mbah Maridjan-nya negeri Mesir biasa melakukan ruwatan. Dan tak tanggung-tanggung, sesajennya – menurut mitos mereka – harus seorang perawan rupawan, yang setelah dihias akan dilarung hidup-hidup ke sungai Nil.

Ketika Islam masuk ke Mesir, dan ingin melarang orang Mesir meneruskan tradisi itu, mereka menghadapi penolakan. “Kalau tidak diruwat, kalau terjadi bencana gimana …”. Maka Khalifah Umar bin Khaththab lalu menulis sebuah surat.
Bunyi surat itu kira-kira begini, “Wahai Sungai Nil, kalau engkau mengalir karena dirimu sendiri, maka janganlah mengalir. Namun jika yang mengalirkan airmu adalah Allah, maka mintalah kepada-Nya untuk mengalirkanmu kembali”. Umar menyuruh orang Mesir untuk melarung surat itu, sebagai ganti dari perawan rupawan.
Allah Maha Mendengar. Tahun itu sungai Nil tidak membuat bencana. Dan mitos Mesir kuno pelan-pelan tergantikan dengan iman. Dan di zaman keemasan Islam, sains kemudian tumbuh pesat di sana dengan landasan iman.

Oleh sebab itu, mungkin rakyat Yogya – terutama yang muslim – pelu menggantikan segala jenis ruwatan ke Merapi, cukup dengan surat seperti surat Umar bin Khaththab tadi. “Wahai gunung Merapi, kalau engkau meletus karena kehendak Allah, taatlah kepada-Nya …. “.

Karena, bencana yang ditimbulkan Merapi atau Laut Selatan, yang tidak bisa kita cegah, boleh jadi memang kehendak Allah untuk menguji kita. Namanya anak sekolah, kalau mau naik kelas ya harus lulus ujian dulu. Begitu kan?

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? (Qs. 29-al-Ankabut : 2)

Kapan Matahari terbit dari Barat?

Friday, June 9th, 2006

dipublikasikan di majalah ESQ “Nebula” edisi  03 (Februari 2005)

Tahun lalu, ketika hangat-hangatnya planet Mars pada posisi terdekat dengan bumi, ada “wacana” bahwa itu adalah tanda-tanda kiamat. Hal ini karena planet Mars setelah itu tampak berjalan “mundur” – apa yang dalam astronomi kuno disebut “retrograde motion”. Beberapa kalangan awam (non astronom) menyangka, bahwa hal serupa bisa terjadi dengan matahari, sehingga suatu ketika matahari tampak terbit dari Barat – hal mana dalam suatu hadits Nabi dikatakan sebagai tanda-tanda kiamat.
Koreksi atas “Retrograde Motion”

Retrograde Motion bukanlah gerakan mundur suatu benda langit yang sesungguhnya. Namun hanya penampakannya dari permukaan bumi, yang disebabkan oleh model geosentris.

Ceritanya begini: manusia mengamati semua objek langit dari permukaan bumi (toposentris). Karena mereka tahu bumi itu mirip bola yang sangat besar, maka data koordinat toposentris itu lalu ditransformasi ke pusat bumi (geosentris). Model ini juga dipakai karena keyakinan saat itu bahwa bumi ini diam sedng menurut agama-agama yang ada saat itu (pra-Islam), manusia itu fokus ciptaan Tuhan, sehingga bumi harus jadi titik sentral alam semesta. Model geosentris ini disebut juga model Ptolomeus.

Dari model ini, dicobalah untuk melakukan prediksi ke depan. Misalnya, kalau suatu bintang hari ini tampak di posisi anu, maka setengah tahun lagi di posisi mana. Prediksi dengan model ini relatif akurat untuk alat-alat yang dipakai hingga saat itu – kecuali untuk planet.

Planet-planet luar (Mars, Jupiter dan Saturnus yang dikenal saat itu), pada saat-saat tertentu tampak bergerak mundur (disebut “retrograde motion”). Awalnya gerak mundur ini dicoba dijelaskan dengan suatu epicycle, yakni lingkaran bantu pada orbit tiap planet. Maksudnya, ada suatu titik yang mengorbit mengelilingi bumi (masih geosentris!), lalu planet-planet itu bergerak mengelilingi titik tersebut. Tapi makin lama, epicycle ini makin rumit, makin membingungkan dan makin tidak bisa diprediksi.

Sampai Copernicus muncul menyederhanakan model tadi dengan ide bahwa semua planet, termasuk bumi, harusnya mengelilingi matahari. Maka tiba-tiba seluruh fenomena retrograde motion tadi jadi bisa dijelaskan. Retrograde motion terjadi karena periode planet dalam mengelilingi matahari (atau disebut “revolusi”) tidak sama. Misalnya revolusi bumi 365.25 hari, sedang Mars 687 hari. Maka ada saat-saat di mana Mars tampai “di depan” bumi, kemudian tiba-tiba “di belakang” bumi. Ini mirip dengan arena balap sepeda, di mana yang di lingkaran dalam kecepatannya lebih tinggi dari di lingkaran luar. Itulah retrograde motion.
Rotasi Bumi dan Matahari Terbit

Yang membuat matahari terbit di timur adalah perputaran bumi pada porosnya (“rotasi”). Bumi berrotasi dari barat ke timur, sehingga Indonesia selalu melihat matahari lebih dulu daripada India. Arah barat-timur sebenarnya hanya arah relatif terhadap arah poros bumi. Ini dikenal dengan “hukum tangan kanan”: kalau ibu jari tangan kanan menghadap utara, maka arah keempat jari yang lain adalah arah rotasi. Arah poros bumi diorientasikan ke sejumlah bintang kutub utara. Bisa saja orbit bumi terganggu dan arah poros ini bergeser, seperti dibuktikan dari sejumlah penelitian bahwa di masa lalu poros bumi itu tidak seperti saat ini. Fenomena ini disebut perkelanaan kutub (polar wandering). Bahkan kita bisa berkhayal bahwa yang sekarang Utara itu bisa saja suatu saat Selatan. Namun selama arah rotasi bumi masih mengikuti hukum tangan kanan, maka daerah sebelah timur masih lebih dulu melihat matahari. Artinya, kemanapun poros bumi menghadap, selama rotasinya tetap, maka matahari tetap tampak terbit dari “timur”.
Perlambatan Rotasi Bumi

Dulu orang mendefinisikan satu hari sebagai satu kali bumi berputar pada porosnya. Sebagai acuan perputaran adalah objek astronomis yang dianggap tetap (bintang yang jauh). Inilah yang disebut jam astronomis. Sekali putaran perlu waktu 23 jam 56 menit 4 detik. Hanya karena bumi juga mengitari matahari, maka satu hari jadi 24 jam.

Sejak ditemukannya jam atom yang sangat stabil dan teliti, maka orang lalu bisa mengukur periode astronomi itu lebih akurat. Dan hasilnya orang menemukan bahwa jam astronomis itu tidak stabil. Kadang lebih cepat dan kadang lebih lambat. Orang lalu memisahkan antara gangguan sesaat (temporer) dari gangguan tetap yang berjangka panjang. Sebuah badan ilmiah dibentuk khusus untuk itu, yaitu International Earth Rotation Service yang berpusat di Observatorium Paris.

Efek temporer disebabkan objek-objek langit lain yang kebetulan sedang berdekatan. Ini dikenal dengan “multi-body-problems”. Sedang efek jangka panjang dipastikan akibat pasang surut, baik oleh bulan maupun matahari. Beberapa ilmuwan telah mengukur efek ini. Mereka menggunakan ribuan data astronomi. Yang paling mutakhir adalah dengan 15 tahun lunar-laser ranging, yakni pengukuran laser ke beberapa cermin reflektor yang dipasang di bulan oleh missi-missi ruang angkasa Amerika atau Russia. Dickey, Williams dan Newhall (1984) memberi angka 1,9 ms/cy. Artinya rotasi bumi melambat 1,9 per seribu detik dalam seabad! Angka yang amat kecil, namun efek kumulatifnya ke depan menarik untuk diselidiki lebih lanjut (Bretterbauer, 1989, p 98).

Para ahli menduga beberapa skenario.

Pertama, rotasi bumi akan melambat sedemikian rupa, sampai suatu ketika akan sama dengan revolusi bulan mengitari bumi. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi sebulan qomariah. Sisi bumi yang menghadap bulan akan konstan, sedang sisi lainnya tidak akan pernah lagi melihat bulan. Pada saat seperti itu tentu perintah sholat dan puasa akan menjadi absurd. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 261 abad lagi. Angka ini belum bisa dipastikan karena masih menunggu data yang lebih banyak lagi dari beberapa satelit pengamat dinamika matahari untuk mengetahui pengaruh pasang surut matahari. Ada beberapa ilmuwan yang memprediksi sampai beberapa milyar tahun.

Kedua, rotasi bumi akan terus melambat sampai akhirnya rotasi bumi sama dengan revolusi bumi mengitari matahari. Pada kondisi ini, panjang hari akan menjadi setahun syamsiah. Sisi bumi yang menghadap matahari akan konstan, selalu siang, dan akan panas sampai ratusan derajat Celcius, sedang sisi lainnya akan selalu malam dan membeku melebihi dinginnya kutub saat ini. Pada wilayah perbatasan akan selalu berhembus topan dengan kecepatan ribuan kilometer/jam. Bumi sudah tidak akan bisa lagi dihuni mahluk hidup. Kondisi ini diperkirakan terjadi minimal 954 abad lagi – walaupun banyak juga ilmuwan yang menduga setelah beberapa milyar tahun.

Namun jelas, kedua efek ini tidak akan membuat arah rotasi bumi menjadi berbalik, sehingga matahari tampak terbit dari barat. Rotasi bumi tidak pernah benar-benar akan berhenti lalu berbalik arah. Dia hanya akan setimbang, dan titik setimbangnya pada asumsi pertama adalah saat rotasi bumi sama dengan revolusi bulan; sedang pada asumsi kedua saat rotasi bumi sama dengan revolusinya mengitari matahari.

Namun sekali lagi, masih banyak yang kita belum tahu. Bisa jadi, jika didapatkan bahwa rotasi matahari berlawanan arah dengan revolusi bumi mengitarinya, efek rotasi bumi terbalik itu masih bisa terjadi. Namun yang jelas, ketika kondisi itu ada, bumi sudah tidak layak lagi dihuni manusia.

Jadi bila dikatakan ketika kiamat terjadi matahari terbit dari barat, ya bisa saja, namun saat itu mungkin sudah tidak ada manusia menyaksikannya, kecuali bila mereka sudah menciptakan teknologi canggih yang mengantisipasi ekologi bumi yang sudah tidak ramah pada kehidupan.
Bencana Kosmik

Yang lebih mungkin dalam mengganggu rotasi bumi sehingga berbalik dan matahari tampak terbit dari barat adalah bila hadir suatu objek langit yang bermassa sangat besar (lebih besar dari bulan!) dengan lintasan sangat dekat dengan bumi. Saat ini objek “liar” yang ada seperti komet atau asteroid tidak ada yang sebesar itu. Kalaupun ada komet sebesar Schomaker-Levy yang menghantam Jupiter tahun 1996 lalu, atau seperti dalam film Armagedon ada asteroid khayal sebesar negara bagian Texas menghantam bumi, maka yang timbul hanya bencana ekologis yang dahsyat, namun belum akan merubah arah rotasi bumi.

Namun lain persoalannya bila hadir suatu objek yang disebut “black-hole”. Objek ini bermassa paling kecil seperseribu matahari atau 333 kali bumi, namun besarnya hanya beberapa kilometer saja. Karena sangat padat, maka medan gravitasinya sangat tinggi, semua materi di dekatnya akan terhisap, sampai-sampai cahayapun tidak bisa lepas darinya. Akibatnya, blackhole tidak akan kelihatan! Dia hanya akan terdeteksi bila cahaya bintang di belakangnya tiba-tiba seperti hilang “tertelan” sesuatu yang gelap.

Kalau blackhole mendekati bumi, maka akan terjadi bencana kosmik maha dahsyat. Bulan yang massanya 1/81 bumi akan keluar dari orbitnya – mungkin termakan oleh blackhole. Bumipun akan berguncang sangat dahsyat, gunung-gunung akan berhamburan. Mungkin saja rotasi bumi jadi berbalik dan matahari tampak muncul dari barat. Tapi semua sudah telat. Itulah kiamat. Tidak ada lagi saat untuk bertobat.
Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu.
Pada hari itu manusia seperti anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan. (Qs. 101:3-5)