SISTEM LEVEL APA YANG INGIN DIGANTI?
Banyak kalangan menilai bahwa berbagai kemunduran dan kerusakan di negeri ini sudah sangat sistemik. Oleh karena itu tidak cukup hanya ganti orang, tetapi juga ganti sistem. Persoalannya, kalau didesak, sistem yang bagaimana atau pada level yang mana yang ingin diganti, banyak yang masih celingukan …
Soalnya, ganti orang terkadang otomatis ganti sistem. Bukankah yang menentukan itu pada akhirnya juga orang? Istilah kerennya “Not the gun but the man behind the gun” ? Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya ingin sekedar me-refresh beberapa pengertian sistem dan leveling sebuah sistem itu.
Sesuatu disebut SISTEM kalau ia merupakan “is a set of interacting or interdependent components forming an integrated whole”. Karena itu sebuah sistem itu (1) memiliki struktur yang terdiri dari komponennya, (2) memiliki pola perilaku (behavior) yang mengolah suatu input menjadi output tertentu secara konsisten, (3) memiliki interkonektifitas bagaimana bagian-bagian sistem saling berhubungan, dan (4) mungkin memiliki beberapa fungsi atau kelompok fungsi.
Dengan pengamatan yang serius, dalam kehidupan ini ternyata dapat diidentifikasi 5 jenis level sistem:
1. Level Praktis – yakni sistem di tataran pelaksana. Pada umumnya ini cukup lokal. Misalnya, seorang Kepala Sekolah membuat aturan – kadang tidak tertulis – misalnya seluruh siswa wajib memakai seragam batik tiap Jum’at, atau seluruh siswa wajib menabung di sekolah, atau ada iuran untuk pengadaan AC, atau siswa yang terlambat kena denda Rp. 1000/menit, dsb. Sebaik apapun tujuannya, semua ini akan berakibat sistemik tetapi hanya pada siswa di sekolah itu. Kalau ada siswa yang keberatan karena berbagai alasan, mereka pantas protes ke Kepala Sekolah. Kalau Kepala Sekolah ngeyel, lalu orang tua siswa yang berpengaruh lapor ke Dinas, lalu sang Kepala Sekolah dimutasi, dan Kepala Sekolah penggantinya mencabut beberapa aturan itu, maka dampak sistemik itu juga akan berubah.
2. Level Mekanis – yakni sistem yang sudah dimekaniskan. Pintu lintasan kereta api atau mesin ATM adalah contoh sistem yang sudah dibuat mekanis. Pengguna jalan atau pemilik rekening mau tidak mau wajib tunduk. Sekalipun ada pengguna jalan yang tergesa-gesa untuk suatu persoalan kemanusiaan yang urgen, dia tidak bisa menerobos palang pintu kereta api. Demikian juga, sekalipun pemilik rekening punya uang 1 Milyar, tetapi kalau quota menarik uang dari ATM dibatasi Rp. 10 juta perhari, ya hanya segitu saja yang bisa dia tarik, tidak ada toleransi. Untuk mengubah sistem di level mekanis ya harus ke otoritas yang memprogramnya/mengoperasikannya.
3. Level teknis – yakni sistem tatacara kerja yang sudah dibuat prosedur operasional baku (Standard Operating Procedure, SOP). Misalnya SOP pembukaan rekening bank – yang di bank konvensional pasti akan diberikan bunga. Atau SOP penerimaan mahasiswa PTN – yang calon mahasiswa akan dikenakan uang pangkal sesuai tingkat penghasilan orang tuanya. SOP ini sebagian juga dimekaniskan (seperti dalam kasus rekening Bank), tetapi sebagian tidak, sehingga bisa dimainkan. Namun yang jelas sistem level teknis hanya bisa diubah oleh otoritas yang berwenang, dalam kasus tadi Pimpinan Bank atau Pimpinan PTN ybs.
4. Level juridis – Keberadaan sistem teknis kadang-kadang karena dipayungi atau bahkan diperintahkan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Misalnya, Peraturan Bank Indonesia atau UU Perbankan, atau UU Sistem Pendidikan Nasional. UU Perbankan mengijinkan bank dengan sistem bunga atau sistem syariah (dual-system). UU Sisdiknas mendorong peran serta masyarakat dalam pendidikan, yang diterjemahkan dengan kebolehan membuat sekolah swasta, atau kebolehan sekolah negari menarik iuran dari peserta pendidikan dengan sepersetujuan komite sekolah. Andaikata peraturan perundang-undangan ini tidak membuka keran sistem bunga, atau keran iuran, ya pasti sistem pada level teknisnya tidak mungkin ada — walaupun mungkin akan muncul persoalan lain, misalnya tidak ada lagi orang mau nyimpan uang di Bank, atau mutu sekolah menjadi merosot sekali … Apapun yang terjadi, level juridis ini biasanya diputuskan tidak oleh satu pihak tetapi banyak pihak, misalnya DPR bersama Pemerintah (Presiden beserta Kabinet).
5. Level politis – Perundang-undangan apapun tergantung pada sistem politis sebuah negara. Yang dimaksud misalnya konstruksi NKRI, UU45 berikut seluruh amandemennya, adanya lembaga-lembaga seperti DPR, Presiden, MK, BPK dll berikut kewenangannya, juga eksistensi partai-partai politik. Mengapa Presiden bisa terkunci oleh DPR meski dia dipilih langsung, ini semua adalah sistem di level politis. Hasilnya tidak bisa langsung ke level praktis, karena pasti melalui juridis, teknis, mekanis dan praktis. Tetapi jelas level politis ini sangat strategis, dan untuk mengubahnya juga tidak sederhana. Di Indonesia yang bisa mengubah sistem politis hanya MPR, itupun setelah melalui proses politik yang panjang dan melelahkan.
Di atas level politis ini ada 3 suprasistem lagi, yaitu:
6. Level akademis – Kebijakan politis perlu dasar (atau pembenaran) secara akademis, demikian juga pembuatan hukum (juridis). Maka di level akademis ini, sebuah sistem juga harus “lulus”, kalau dia ingin legitimate & sustain dalam jangka panjang. Untuk mengganti sistem di level akademis ini berarti kita harus mengganti akademisinya (kalau punya stock :-)), atau kita mengganti isi otak para akademisi yang sudah ada, dengan cara diskusi yang juga sangat melelahkan – dan karena itu tidak mudah! Revolusi di berbagai negara biasa didahului dengan perdebatan akademis puluhan tahun.
7. Level ideologis – Level akademis, apalagi dalam persoalan politik-ekonomi-hukum, sangat tergantung pada ideologi yang mendasarinya. Apakah ideologisnya condong ke kapitalis, sosialis, atau campuran, atau bukan semuanya? Kalau sistem ini tidak jelas ideologinya, maka ia akan sangat labil. Untuk mengubah sistem di level ideologi, mirip seperti di level akademis, yakni mengubah para ideolog, yakni tokoh-tokoh yang paling gencar meyakini, mendukung dan mengemban sebuah ideologi. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam politik atau intelektual, yang faktanya diikuti oleh banyak orang, termasuk para pemegang kekuasaan.
8. Level filosofis – Level ideologis ini hanya akan dipegang oleh orang-orang yang memiliki idealisme. Jadi ujung-ujungnya memang kembali ke orang lagi. Tetapi di sini yang dimaksud adalah orang-orang yang memiliki pengaruh besar, bisa pemimpin politik atau “guru bangsa”. Repotnya, pada level ini ada juga tokoh-tokoh yang sebenarnya miskin idealisme, tetapi bekerja karena kepentingan (interest) atau tekanan (intrik). Untuk dua jenis mahluk terakhir ini kita tidak ada gunanya bicara ideologi, tetapi harus kita tanamkan dulu kepada mereka keimanan, iman pada akherat, iman kepada qadha & qadar, rejeki dan ajal. Tentu saja pada para idealist, tetapi ideologinya masih sekuler, kita juga wajib menyampaikan jalan menuju keimanan pada mereka.
Jadi, mari jangan loncat logika … ketika ada jalan rusak, atau sekolah reyot, kita langsung ingin mengganti sistem di level yang tertinggi … jangan-jangan itu cukup level praktis saja, karena Kepala Dinas PU atau Kepala Sekolahnya malas atau korup.
Salam.