presented paper, Seminar dalam rangka Science Fair, Sekolah Islam Terpadu Fajar Hidayah Kota Wisata Cibubur, 30 Mei 2006.
Ada sejumlah pertanyaan menarik tentang kedudukan sains dan Islam. Pertanyaan ini berakar dari fenomena-fenomena berikut:
1. Munculnya kegairahan baru atas sebagian cendekiawan Islam atas sains dan keyakinan bahwa kemunduran Islam itu akibat melalaikan sains dan terlalu menonjolnya fiqih.
2. Munculnya sebagian cendekiawan yang meyakini kembali bahwa Qur’an adalah sumber inspirasi sains, setelah ditemukannya bukti-bukti sains modern yang sesuai dengan ayat-ayat Qur’an. Ilmu yang terinspirasi Quran ini bahkan sering diklaim sebagai sains Islami.
3. Di sisi lain: tingkat religiositas yang tetap belum membaik di kalangan ilmuwan sains Barat – sekalipun dapat teramati bahwa tingkat religiositas di kalangan ilmuwan sains ini masih lebih baik daripada ilmuwan sosial.
Tiga fenomena ini membuat di satu sisi umat Islam semakin bersemangat dalam beragama, namun di sisi lain mereka masih mencari bentuk, bagaimana sesungguhnya integrasi sains dan Islam.
Pada berbagai jenis pendidikan Islam di Indonesia, integrasi ini dicoba baru dalam taraf penggabungan kurikulum (Depdiknas+Depag), sehingga total jam belajar siswa menjadi relatih jauh besar dibanding sekolah biasa. Karena itu kajian bagaimana integrasi sains dan Islam itu perlu ditelaah lebih jauh.
Sejarah Kedudukan Ilmu di dalam Islam
Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan [1] . Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama [2] .
Hunke 4. dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di masa khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Bahkan Rasulullah telah menyuruh umat Islam untuk berburu ilmu sampai ke Cina, yang saat itu pasti bukan negeri Islam.
Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline.
Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb [4] .
Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu [5] , yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar tafsir menyandingkan buku Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” surat al-Ghasiyah tersebut.
Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.
Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya [6] .
Epistemologi menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.
Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu, ilmu seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu digunakan. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.
Sedang aksiologi menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia / masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias ideologis ataupun kepentingan tertentu [7] .
Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi dibatasi hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan menjajah negeri-negeri lain. Karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin [8] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.
Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Ilmu
Obsesi menjadikan Qur’an sebagai sumber inspirasi segala ilmu tentu suatu hal yang positif, karena ini bukti keyakinan seseorang bahwa Qur’an memang datang dari Zat Yang Maha Tahu. Namun, obsesi ini bisa jadi kontra produktif jika seseorang mencampuradukkan hal-hal yang inspiratif dengan sesuatu yang empiris, atau memaksakan agar kaidah hukum empiris sesuai penafsiran inspiratifnya.
Contoh yang pertama misalnya ketika ada seseorang yang menafsirkan ayat:
“ … Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia …” (QS 57-al Hadid: 25)
Kami pernah mendapatkan seseorang yang ingin menggugat Hukum Kekekalan Energi dengan landasan ayat ini, seraya mengajukan proposal untuk membuat energy multiplier.
Energy Multiplier adalah pengganda energi. Alat semacam ini – kalau ada – akan memiliki konsekuensi yang sangat jauh, karena dengan rangkaian beberapa multiplier, teoretis energi 1 watt saja akan mampu memberi energi untuk seluruh dunia. Tentu saja alat semacam ini secara fisika maupun teknis mustahil. Namun perancangnya yakin 100% bahwa dia benar, karena rancangan mesinnya diyakininya di-backup oleh ayat al-Hadid tadi. Tentu saja ini penafsiran yang sembrono.
Sedang contoh yang kedua adalah ketika pada suatu saat, teori sains yang berlaku dianggap cocok dengan suatu ayat, lalu beberapa abad kemudian eksperimen membuktikan bahwa teori tadi keliru atau tidak lengkap, lalu orang cenderung menolak penemuan baru itu dengan alasan tidak sesuai dengan Qur’an. Hal seperti ini terjadi di abad pertengahan di kalangan gereja di Eropa, yang menolak teori heliosentris dari Copernicus dan Galileo, karena dianggap bertentangan dengan dogma al-Kitab bahwa bumi adalah pusat perhatian Tuhan. Hal serupa – walaupun dalam skala yang lebih kecil – juga terjadi di beberapa kalangan umat Islam. Sebagai contoh: ketika di Qur’an disebutkan adanya 7 buah langit,
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Qs. 41-Fussilat:12)
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Qs. 67-al Mulk:5)
ada sejumlah orang yang kemudian menafikan perjalanan ke bulan atau ke planet-planet, apalagi bila itu dilakukan orang-orang kafir yang dianggap temannya syaitan. Kita tentu ingat bahwa “planet” seperti Venus atau Mars dalam bahasa Arab akan disebut “bintang”. Mungkin di sini tafsir kita yang perlu direvisi.
Religiousitas di kalangan Ilmuwan
Bagi orang yang menekuni sains dan al-Quran, akan didapatkan banyak ayat yang menyentuh suatu cabang sains – yang baru bisa dikenali sebagai sains setelah zaman modern. Karena saya mempelajari geodinamika, saya amat tersentuh dengan ayat seperti berikut:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan…(QS 27 – an-Naml:88).
Tersentuhnya adalah bahwa fakta pergerakan benua beserta gunung-gunung di atasnya beberapa decimeter pertahun baru diketemukan abad-20. Darimana Rasulullah, yang hidup 14 abad yang lalu, bisa mengetahui fenomena ini, kalau bukan Yang Maha Berilmu yang memberitahunya?
Hal serupa akan ditemui oleh orang astronomi, biologi, oceanologi dan sebagainya. Pertanyaannya, mengapa tidak semua saintis kemudian menjadi religious?
Jawabannya: tidak cukup hanya mengenal keberadaan Tuhan. Seperti tidak cukupnya kita ketika sadar punya boss, namun tidak tahu apa visi-missi boss, dan juga tidak tahu apa yang membuat boss senang atau marah.
Mereka menganggap persoalan Tuhan ini persoalan pribadi, bahkan bisa-bisa justru “menyalahkan” Tuhan ketika dilihatnya Tuhan “tak berbuat apa-apa” ketika ada ummat-Nya yang menderita, tertindas, lapar atau sakit.
Mereka mungkin akan menyembah Tuhan dengan suatu cara yang menurutnya paling rasional. Mereka gagal memahami kemauan boss – karena mereka berhenti dengan tahu bahwa ada boss, namun tidak mencari tahu, siapa orang kepercayaan boss yang pantas mereka jadikan rujukan dan juga teladan.
Wajarlah, bahwa dalam Islam dituntut dua jenis pengakuan: dikenal dengan syahadat Tauhid dan syahadat Rasul. Tanpa mengikuti Rasul, pengenalan keberadaan tuhan tidak akan banyak berbuah, karena kita tetap belum tahu hidup kita mau dikemanakan. Jadinya kita tidak tahu bahwa Tuhan akan menolong orang-orang yang tertindas atau lapar atau sakit itu melalui tangan-tangan kita. Kita akan terinspirasi untuk melakukan upaya itu setelah mengkaji manual yang diberikan Tuhan via para Rasul. Di situlah kita tahu, bahwa kita hidup sebagai agen, untuk sebuah missi pada sautu lahan yaitu planet bumi ini.
Integrasi Sains & Islam pada Pendidikan
Dengan mengetahui seluruh “duduk perkara” sains dan Islam di atas, tampak bahwa hakekat persoalannya adalah memadukan agar pada setiap aktivitas kita, setelah ada kerja keras dari kekuatan tubuh kita, ada kerja cerdas berdasarkan sains dan kerja ikhlas berdasarkan Islam.
Dalam dunia pendidikan, yang biasanya akan dikembangkan pada seorang anak didik adalah olah fikirnya (kognitif), sikapnya (afektif) dan life-skill-nya (psikomotorik). Di sinilah perlu penelaahan yang mendalam agar di setiap aspek ada muatan sains dan Islam secara sinergi. Bahkan lebih jauh lagi, beberapa mata pelajaran bisa dipadukan sehingga tercipta suatu fokus yang berguna secara praktis.
Sebagai contoh: Mengajarkan masalah air.
Kita bisa membahas mulai dari soal siklus air (IPA/fisika). Agar terkesan, bahasan bisa dilakukan di tepi kolam atau sungai. Di situ sekaligus ada pengetahuan tentang IPS/geografi. Kemudian bagaimana manusia berbagi air (matematika). Lalu bagaimana hukum-hukum Islam yang berkait dengan air (thaharah, hadits “manusia berserikat dalam air, api dan padang gembalaan”). Dan terakhir siswa diminta membuat karangan tentang bagaimana menjaga sumberdaya air (bahasa Indonesia / bahasa Inggris).
Contoh lain: mengajarkan masalah tuas.
Tuas atau pengungkit umumnya diberikan dalam pelajaran fisika (IPA). Kenapa tidak melakukannya di tukang beras yang punya timbangan, sekaligus mengenalkan pasar (IPS). Lalu anak-anak diminta menghitung berapa Rupiah yang dibayarkan bila yang dijual sepuluh kilo beras dan dua kilo gula pasir (matematika). Lalu diberikan hukum-hukum Islam tentang larangan mengurangi timbangan (agama). Dan terakhir: buat karangan tentang bagaimana agar pasar tampak rapi dan nyaman (bahasa).
Dalam cakupan yang lebih mikro, kita bisa pula memasukkan motivasi Islam ke dalam semua kajian sains. Konon Imam al-Khawarizmi ingin mengembangkan persamaan-persamaan aljabar karena ingin menyelesaikan persoalan pembagian waris dalam Islam yang akurat.
Seorang pendidik muslim dapat membuat contoh-contoh yang amat relevan dengan sisi peran murid sebagai siswa/siswi muslim.
Misalnya: untuk matematika geometri, bisa dibuatkan contoh untuk menghitung tinggi masjid atau luas areal yang diperlukan untuk membangun masjid.
Untuk pelajaran fisika mekanika bisa dibuat soal berapa sudut lontaran meriam untuk dapat mencapai benteng kafir penjajah.
Untuk pelajaran kimia titrasi bisa dibuat soal berapa cc larutan yang harus disediakan – sampai warnanya berubah – untuk mendeteksi adanya lemak babi.
Demikianlah, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh para pendidik muslim. Islam menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi dari semua aspek sains, dan pada gilirannya, sains yang dipelajari semua terasa terkait dengan kehidupannya praktis sehari-hari.
Islam membumi. Sekolah jadi menyenangkan.
[1] Rachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami. Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 2000.
[2] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History. Unesco, 1986. (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam. Bandung, Mizan, 1993).
[3] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland. Frankfurt, Fischer, 1990.
[4] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah. Bandung, Rosda, 1991.
[5] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.
[6] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.
[7] Darell Huff: How to Lie with Statistics. New York, W.W. Norton, 1960
[8] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik. Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.