Tahukah Anda bahwa Kekaisaran Jepang adalah sahabat Khilafah di Turki? Sebetulnya hanya ada sedikit catatan tentang kontak antara Islam dan Jepang sebelum pembukaan negeri itu dari isolasi tahun 1853, meski mungkin ada Muslim yang telah datang ke sana berabad sebelumnya. Kontak Muslim modern pertama adalah dengan orang-orang Melayu yang melayani kapal-kapal Inggris dan Belanda di akhir abad-19.
Pada 1870, sejarah kehidupan Nabi Muhammad telah diterjemahkan ke bahasa Jepang. Pada tahun 1890 kontak penting terjadi ketika Turki Utsmani mengirim kapal perang ke Jepang untuk membalas kunjungan persahabatan Pangeran Komatsu Akihito ke Istanbul tujuh tahun sebelumnya.
Orang Jepang pertama yang pergi haji adalah Kotaro Yamaoka. Dia masuk Islam setelah kontak dengan penulis Turki Abdürreşid İbrahim. Yamaoka berhasil mendapatkan izin untuk membangun masjid jami’ di Tokyo (selesai 1938) dari Sultan Abdülhamid II sebagai khalifah dan pemimpin seluruh Muslim. Pada tahun 1998 masjid ini direnovasi total.
Baru pasca Revolusi Rusia, beberapa ratus Turko-Tatar-Muslim dari Rusia datang ke Jepang mencari perlindungan. Mereka membentuk komunitas-komunitas kecil di beberapa kota di Jepang.
Turki tetap komunitas Muslim terbesar Islam sampai sekarang. Jepang sejak sebelum perang dikenal simpatinya pada Muslim di Asia Tengah, karena mereka dilihat sebagai sekutu melawan Rusia maupun Soviet. Pada saat itu, intelijen Jepang banyak bekerja sama dengan Muslim, bahkan sebagian terus masuk Islam, dan menyebarkan Islam setelah perang selesai.
Hal menarik terjadi pada serdadu ini saat mereka dikirim ke Asia Tenggara. Pilot-pilot ini diperintahkan untuk mengucapkan kalimat “La ilaha illa Allah” jika mereka tertangkap di daerah ini. Saat ini benar-benar terjadi, begitu mereka mengucapkan kalimat ini, penangkapnya berubah pikiran dan memperlakukan mereka dengan baik.
Pada masa pendudukan sekutu pasca Perang Dunia II, terdapat tokoh Shūmei Ōkawa dan muridnya, Toshihiko Izutsu, yang meski ditahan sebagai penjahat perang kelas-A, tetapi di penjara tetap mempraktekkan Islam dan berusaha menyelesaikan penerjemahan Quran.
Pada 1953 berdiri organisasi Muslim Jepang pertama, Japan Muslim Association, di bawah pimpinan Sadiq Imaizumi. Jumlahnya mencapai 120 pada saat dia wafat enam tahun kemudian. Presiden kedua adalah Umar Mita. Dia masuk Islam ketika kontak dengan Muslim Cina, saat Jepang menduduki Cina. Dia lalu naik haji dan menerjemahkan Quran ke bahasa Jepang. Dia juga membuat dokumenter: “Road to Hajj – Japan”, yang disiarkan oleh Al-Jazeera. Saat ini yang menjadi presiden Japan Muslim Association adalah Prof Hasan Ko Nakata, dari Fakultas Theologi Universitas Dosisha Kyoto. Dia pernah menjadi pembicara pada Konferensi Khilafah Internasional di Jakarta tahun 2007.
Pada tahun 1970-an, terjadi “Islamic booming” akibat krisis minyak. Begitu menyadari pentingnya Timur Tengah dan besarnya cadangan minyaknya untuk ekonomi Jepang, media massa Jepang gencar memublikasikan tentang dunia Islam.
Tetapi sulit mendapatkan data seberapa besar jumlah Muslim bertambah. Keiko Sakurai pada tahun 2000 menaksir jumlah Muslim etnis Jepang sekitar 63.000, dan yang orang asing sekitar 100.000. Sedang Michael Penn menaksir 90 persen Muslim di Jepang adalah orang asing, dan hanya 10 persen yang etnis. Semuanya spekulatif, karena pemerintah Jepang yang sangat sekuler sama sekali tidak memasukkan agama sebagai salah satu variabel statistik. Meski demikian, semua orang tahu bahwa mayoritas rakyat Jepang adalah penganut kepercayaan Shinto yang kadang-kadang dicampur dengan agama Budha atau Kristen. Ada lebih dari 100.000 kuil Shinto di Jepang.
Menurut situs japanfocus.org, baru ada 30 – 40 bangunan masjid di Jepang, dan sekitar 100 apartemen yang digunakan sebagai mushala. Jumlah ini tentu saja sangat kecil mengingat populasi Jepang yang 120 juta jiwa.
Semua ini memperlihatkan bahwa pekerjaan dakwah di Jepang masih sangat besar, di tengah suasana yang lebih ramah dan lebih bebas prasangka daripada di Barat misalnya. Maklum, sekali lagi dulu Kaisar Jepang pernah menjadi teman Khalifah.[]
Cina, negeri dengan penduduk terbanyak di dunia. Kalau mendengar Cina, kita ingat komunisme, yang konon pada tahun 1965 berada di belakang Partai Komunis Indonesia. Namun komunis di Cina kini tinggal berada di bidang politik. Sejak tahun 1990-an, kehidupan ekonomi di Cina adalah kapitalis. Dan Cina tumbuh menjadi raksasa ekonomi yang ditakuti oleh Amerika Serikat.
Namun mendengar kata Cina, kita juga ingat akan suatu riwayat di mana Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari ilmu sampai negeri Cina. Tentu saja ilmu yang dimaksud bukan ilmu aqidah, ilmu fiqih atau ilmu tafsir. Yang dimaksud adalah teknologi, karena di zaman Nabi, Cina sudah dikenal memiliki beberapa teknologi yang belum dikuasai oleh bangsa-bangsa Persia atau Romawi sekalipun, misalnya teknologi pembuatan kertas, kompas atau mesiu. Saat itu tembok Cina juga sudah terbangun beberapa ratus kilometer, sebuah mahakarya yang tak ada duanya di dunia.
Tak heran di masa Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq sudah ada kafilah dagang yang pergi ke Cina, dengan berbagai tujuan sekaligus: mencari ilmu, berdagang untuk hidup dan berdakwah. Tentu saja mereka mengalami banyak kesukaran seperti antara lain wajib mempelajari berbagai bahasa yang diperlukan agar dapat berkomunikasi di Cina.
Hasilnya tidak sia-sia. Di zaman Utsman bin Affan, para alumni Cina ini sudah dapat membuat sendiri kertas, yang dengan itu Mushaf Utsmani ditulis. Namun mereka juga meninggalkan cikal bakal Islam di Cina. Bahkan pernah ada seorang Laksamana Cina yang seorang Muslim, yaitu Cheng Ho.
Tahukah Anda, bahwa masjid di Beijing lebih tua usianya dari semua masjid yang ada di Nusantara? Masjid ini didirikan tahun 996 M. Tidak terlalu sulit untuk menemukan Masjid Niu Jie di Beijing ini, meski tidak banyak sopir taksi yang mengetahuinya. Dengan menunjukkan ke peta yang ada aksara Cina-nya, dibantu sedikit bahasa Tarzan, akhirnya sampai juga saya ke masjid Niu Jie, dengan nyasar dulu ke sebuah kelenteng yang tidak jauh dari masjid. Kelenteng ini jauh lebih kecil, tapi ternyata buat orang Cina lebih dikenal.
Dari segi bangunan, masjid Niu Jie ini tidak berbeda jauh dengan arsitektur sebuah kelenteng. Warna-warna merah mendominasi. Yang membedakan hanya kaligrafi Arab di atas pintu-pintunya. Di seputar masjid ada beberapa bangunan lain. Kaum wanita dan anak menempati bangunan terpisah, sehingga saat bapak-bapak shalat Jumat mereka dapat shalat Dzuhur sendiri. Ruang terbuka di antara bangunan itu mengingatkan pada lapangan latihan kungfu di padepokan Shaolin. Mungkin memang pernah difungsikan demikian.
Khutbah Jumat dan shalatnya sendiri alhamdulillah masih tetap dalam bahasa Arab. Hanya saja saat shalat akan dimulai, dan jamaah diminta merapikan shaf, ada perintah Imam dalam bahasa Cina, yang tentu saja terdengar agak menggelikan bagi kita: ada bahasa Cina di masjid!
Masjid Niu Jie memang terletak di kawasan Muslim. Di sekitarnya berdiri beberapa supermarket dan restoran halal. Perempuan Cina yang berkerudung banyak terlihat. Anak-anak muda Cina di situ juga lebih familier bahasa Arab daripada bahasa Inggris. Di Cina, ditaksir ada sekitar 10 persen penduduk Muslim. Karena penduduk Cina 1,4 milyar manusia, maka 10 persen ini banyak juga. Bagi pemerintah Cina, keberadaan Muslim di Beijing sebagai minoritas tidak menjadi masalah. Lain halnya dengan Muslim Uighur di Xin Jiang yang mayoritas dan menginginkan otonomi khusus. Mereka ditekan dan bahkan kadang-kadang dibantai. []
Filipina, negeri dengan 7.107 pulau di sebelah utara Indonesia. Kalau mendengar Filipina, kita ingat revolusi menggulingkan Marcos tahun 1986, ingat ketegasan Presiden Gloria Macapagal-Aroyyo kalau sedang membela para migrant worker asal Filipina jika dizalimi di luar negeri, tapi juga ingat penindasan atas kaum muslim di Mindanao Selatan yang tak kunjung usai.
Dari 92 juta penduduk Filipina, hanya 5-10 persen yang Muslim dan mayoritas tinggal di Mindanao, Palawan dan Sulu dan dikenal sebagai Bangsa Moro. Pasti ada suatu sejarah sehingga saat ini selain Tagalog dan Inggris sebagai bahasa resmi, Filipina memiliki bahasa asing pilihan yaitu Spanyol dan Arab! Selain itu masih ada sekitar 10 bahasa daerah yang diakui.
Nama “Phillipines” diturunkan dari nama raja Spayol Philip II pada abad-16 yang para pelautnya menemukan kepulauan itu lalu secara sewenang-wenang menyatakan sebagai kepulauan milik Raja Phillip. Padahal siapakah sebenarnya pemilik sah dari kepulauan itu?
Sejarah Filipina sebelum kedatangan orang-orang Spanyol adalah mirip dengan Nusantara sebelum kedatangan Belanda. Banyak negara-negara kota atau pulau dengan penguasa para Datu (Datuk), Rajah (Raja) atau Sultan. Sebagian wilayah pernah dikuasai oleh Raja atau Sultan dari wilayah yang sekarang di luar Filipina, seperti dari Sriwijaya, Majapahit, atau Brunei.
Pada 1380, Karim al Makdum dan Syarif al Hasyim Syed Abu Bakar, pedagang Arab kelahiran Johor datang ke Sulu dan mendirikan Sultanat Sulu dan menghasilkan kemakmuran yang besar dari perdagangan mutiara.
Akhir abad-15 Syarif Muhammad Kabungsuwan dari Johor mendakwahkan Islam di Mindanao dan menikahi puteri Parmisuli dari Mindanao dan mendirikan kesultanan Maguindanao. Pada abad 15 Islam telah tersebar hingga Visayas dan Luzon, pulau terbesar Filipina.
Antara 1485-1521, Sultan Bolkiah dari Brunei mengalahkan dinasti Tondo dan mendirikan Kesultanan Seluron (sekarang Manila) sebagai negara satelit Brunei.
Tahun 1521 penjelajah Spanyol kelahiran Portugis Ferdinand Magellan mendarat di Samar dan Leyte dan mengklaim kedua pulau itu milik Spanyol, tapi kemudian dibunuh oleh tentara dari pulau Mactan yang dipimpin Datu Lapu-lapu. Sisa pasukan Magellan kabur ke Spanyol dan mempersiapkan armada yang lebih kuat untuk menjajah Filipina.
Tahun 1565 penjelajah Spanyol Miguel Lopez de Legazpi datang dan membentuk permukiman Eropa pertama di pulau Cebu. Tahun 1571 mereka menyerbu Kesultanan Maynila dan Tondo, dan menyatakan Manila sebagai ibukota “Spanish-East Indies”. Rajah Sulaiman yang memimpin kesultanan Maynilla mempertahankan kota itu bersama 300 pasukan setianya sampai titik darah penghabisan.
Spanyol lalu memasukkan unsur-unsur Barat seperti hukum Barat, aksara latin, kalender Gregorian dan agama Katholik. Filipina kemudian menjadi ajang perebutan antara Spanyol, Inggris, Amerika Serikat, dan Jepang.
Tahun 1872 Jose Rizal dan kawan-kawan membuat gerakan kemerdekaan Filipina. Karena tulisan-tulisannya dianggap subversif, Rizal dihukum mati pada 30 Desember 1896. Eksekusi Rizal ini menyulut revolusi yang mengusir Spanyol dari Filipina. Proklamasi kemerdekaan Filipina dilakukan pada 12 Juni 1898.
Spanyol tidak mampu mempertahankan Filipina karena sedang kewalahan melawan Amerika Serikat dalam perang di Cuba. Perang ini berakhir dengan perjanjian Paris di mana Spanyol menjual Filipina, bersama Cuba, Puerto Rico dan Guam ke Amerika Serikat dengan harga US$ 20 juta. Kelanjutannya adalah perang antara Filipina melawan Amerika Serikat hingga 1913. Kemelut dua Perang Dunia membuat Filipina akhirnya baru diakui kemerdekaannya oleh Amerika Serikat pada 4 Juli 1946 setelah Manila hancur dan Amerika mendapat tekanan internasional. Namun secara politik, Filipina tetap “dikunci” oleh Amerika Serikat hingga hari ini.
Saat ini, penghasilan perkapita Filipina adalah US$ 3.515 per tahun, tetapi melihat kenyataan kehidupan sehari-hari di Manila tidak berbeda jauh dengan Jakarta. Suasana kumuh, kesemrawutan lalu lintas dan gap kaya – miskinnya nyaris sama.
Di tengah kota Manila terdapat lapangan besar Jose Rizal Memorial Park untuk mengenang pahlawan Filipina terbesar itu. Di arena itu terdapat patung para pahlawan Islam, seperti Datu Lapu-lapu dan Rajah Sulaiman. []