Dr. Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
Dalam sejarah dunia yang panjang, tidak banyak negara-negara yang berhasil membentuk diri menjadi negara kuat yang menguasai wilayah yang luas (minimal pada 10 bangsa / etnis yang berbeda), pada masa yang cukup lama (minimal 10 generasi atau sekitar 300 tahun) serta meninggalkan jejak peradaban yang signifikan, yang terasa sampai saat ini.
Hingga abad-15 M, mungkin hanya tiga negara seperti itu, yaitu Imperium Romanum (Romawi) yang berkuasa dari kira-kira Abad ke-7 SM hingga abad 15 M di seluruh Eropa dan Afrika Utara, lalu imperium Persia dari masa Cyrus (abad 10 SM) hingga abad 8 M dan membentang di wilayah Irak sekarang hingga sebagian India dan Asia Tengah, dan Imperium Islam (abad 8 M hingga 17 M) dan membentang dari Maroko di tepi Atlantik hingga Merauke di Nusantara.
Selain mereka ada juga beberapa negara besar, misalnya Mesir dan Cina. Kerajaan Mesir Firaun bertahan hampir 4000 tahun, namun meski meninggalkan jejak peradaban yang luar biasa (piramid dsb), luas kekuasaannya terbentang hanya di sekitar sungai Nil saja. Demikian juga kerajaan Cina yang meski wilayahnya sangat luas namun tidak mencakup variasi etnis yang seheterogen seperti halnya Romawi, Persia dan Islam. Cina juga tercatat berkali-kali dijajah oleh orang-orang Tartar / Mongol. Bangsa Tartar ini juga meski tercatat pernah menguasai hampir separoh dunia (dari Polandia sampai Cina), namun selain tidak meninggalkan jejak peradaban yang berarti, kekuasaanya juga tidak lebih dari tiga generasi.
Sedang setelah abad-15, keseimbangan dunia mulai berubah. Sejak abad-15, muncul berbagai imperium baru. Sejarah mencatat imperium Austria (Habsburg) yang pernah menguasai sebagian besar Eropa melalui politik peperangan maupun pernikahan. Kebesaran imperium Austria terlihat dari aliran seni arsitektur dan musik yang banyak ditemukan di se-antero Eropa. Kemudian imperium Portugis dan Spanyol yang pernah menguasai banyak wilayah di Amerika Latin, Afrika, sebagian India hingga beberapa pulau di Nusantara selama beberapa abad, hingga sekarang ini bahasa Spanyol dan Portugis masih bertahan sebagai bahasa resmi di PBB. Kemudian mereka tergantikan oleh imperium Inggris dan Perancis yang juga memiliki jajahan di seluruh dunia, dan bahasanya juga masih dipakai di mana-mana. Dan setelah perang dunia kedua, posisi mereka tergantikan oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kini setelah perang dingin berakhir, tinggal Amerika yang aktif sebagai imperium tunggal. Wilayah cengkeraman kekuasaanya praktis ada di seluruh dunia, setidaknya secara tidak langsung melalui badan-badan dunia (PBB, WTO, IMF, …). Meski Amerika Serikat baru berusia 230 tahun, tapi jejak peradabannya sudah melebihi imperium Romawi.
Terbentuknya suatu kekuasaan yang kemudian dicatat sejarah sebagai suatu “imperium” tidaklah terjadi tiba-tiba. Paul Kennedy dalam “The Rise and Fall of Great Powers” berteori bahwa faktor-faktor ekonomilah yang menjadikan sebuah negara semakin penting, sehingga kemudian menjadi lebih kuat dari negara lain. Yang dimaksud faktor ekonomi adalah sinergi antara posisi geopolitis, sumber daya alam, tingkat teknologi penduduknya, kekuatan struktur politiknya dan semua ini akan berperan pada ketahanan militer negara itu.
Fakta, semua negara yang pernah menjadi imperium, memiliki semua yang dibutuhkan itu. Pertanyaannya adalah, mengapa ada masa-masa pasang surut, ketika meski suatu negara masih memiliki semuanya, namun dia tidak lagi menjadi penting di kancah dunia. Sebagai contoh, Russia sebagai penerus Uni Soviet, masih memiliki semua yang dipunyai Uni Soviet. Dia masih memiliki wilayah yang luas, dari batas Skandinavia hingga batas Korea; sumber alamnya masih sama, teknologinya masih teknologi Soviet yang mampu membuat bom atom dan pesawat luar angkasa, struktur politiknya mestinya lebih kuat karena lebih demokratis, dan empat juta tentaranya dengan minimal 10000 kepala nuklir masih merupakan kekuatan yang mampu menghancurkan seluruh dunia. Namun kini Russia bukan lagi imperium. Dia sudah kehilangan hampir semua negara satelitnya. Bahkan politik ekonominya sudah dikendalikan oleh AS lewat WTO.
Jadi apa sesungguhnya yang membentuk imperium?
Alvin Toffler dalam “The Future Shock” menjelaskan bahwa pengaruh dan kepemimpinan, baik dalam skala kecil maupun skala imperium, bisa timbul oleh tiga hal:
1. muscle – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan fisik (militer). Artinya bangsa atau negara yang yang di bawah pengaruhnya, bisa dikuasai karena dipaksa, karena takut, atau karena meminta perlindungan. Inilah pada umumnya imperium Romanum, Persia dan juga negara-negara yang terjajah oleh negara kapitalis di abad pertengahan.
2. money – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan ekonomi, termasuk sumberdaya alam. Artinya bangsa atau negara yang yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai karena mendapat kompensasi ekonomi (hutang, investasi, akses sumber alam, akses produk, akses pasar). Inilah yang terjadi di abad-20 dengan Uni Soviet dan AS. Di masa komunis, negara-negara Eropa Timur merasa perlu bergabung dengan Uni Soviet karena akses kepada minyak dan gas Soviet – yang tidak perlu dibeli dengan $ di pasar bebas, tapi cukup dibarter dengan gula atau buah-buahan.
3. mind – pengaruh yang ditimbulkan oleh kekuatan pemikiran, termasuk gaya hidup dan teknologi. Artinya bangsa atau negara yang di bawah pengaruhnya bisa dikuasai karena pemikiran yang diembannya. Pemikiran yang merasuki itulah yang membuat mereka mau dipimpin oleh sang imperior.
Menurut Toffler, model kepemimpinan yang ketiga inilah yang paling tinggi mutunya. Meski beberapa imperium terbukti saat ini memiliki ketiga-tiganya, Namun dilihat dari sejarahnya, selalu dapat dimengerti bahwa semua bermula dari pemikiran. Setelah ada pemikiran, maka kekuatan ekonomi dapat dibangun dan dipertahankan lebih lama. Dengan kekuatan ekonomi ini maka kekuatan fisik dapat dibiayai lebih lama.
Tanpa kekuatan pemikiran, maka kekuatan ekonomi mudah dibuat loyo, dan tanpa kekuatan ekonomi, kekuatan fisik hanya bisa dipertahankan sebentar.
Dalam sejarah dapat dilihat bahwa tidak ada imperium yang dapat bertahan dengan penguasa yang bersikap absolut dan monolitik (diktator). Imperium Romanum pun memiliki senat yang selalu diajaknya berdiskusi dan bahkan diandalkan keputusannya dalam persoalan-persoalan negara yang pelik. Bagaimanapun pemimpin kalau ingin terus didukung, dia tidak bisa begitu saja melupakan para pendukung politiknya. Tentu saja, pada rakyat perseorangan di masa itu tetap akan ada keputusan-keputusan yang akan dinilai oleh kita sekarang sebagai sangat otoriter. Namun secara makro, itu tidak akan terjadi bila tidak didukung (minimal didiamkan) oleh konstruksi sosial politik yang ada.
Jadi, bagaimana keputusan politik diambil, sesungguhnya tidak tergantung pada apakah negara itu berbentuk kerajaan dengan raja yang turun temurun atau oleh presiden yang dipilih setiap lima tahun.
Sistem khilafah per default adalah negara yang tidak otoriter. Dalam berbagai aspek hukum, hukum ditentukan oleh syara’, tidak oleh kehendak Khalifah. Sedang dalam persoalan lain, khalifah wajib bermusyawarah dengan ahlu halli wa aqdi (Majlis Ummah).
Kalaupun kemudian terkesan khilafah berasal dari satu dinasti, maka itulah kenyataan praktis yang terjadi. Bagaimanapun, anak-anak seorang khalifah relatif memiliki kesempatan belajar politik lebih baik dari orang-orang lain. Dia akan lebih banyak mengenal para tokoh, lebih sering belajar dari orang-orang yang paling alim, dan mungkin juga lebih luas aksesnya kepada media massa. Walhasil ketika ada pemilihan khalifah baru, dia memiliki posisi start yang jauh lebih baik dari semua kandidat lain.
Dan berbeda dengan kerajaan, dalam sistem khilafah tidak ada putera mahkota yang harus jadi dalam keadaan apapun. Tidak seperti di Cina, yang sejarah mencatat seorang kaisar Pu Yi yang baru berumur 3 tahun, dan akhirnya disetir habis-habisan oleh Perdana Menterinya yang korup.
Peralihan imperium Romanum dan Persia ke imperium Islam terjadi dalam proses dakwah. Persia jauh lebih cepat tunduk di bawah kekuasaan Islam karena imperium ini dikenal sangat korup dan kejam kepada rakyatnya. Islam diterima rakyat sebagai ajaran yang memerdekakan manusia dari perbudakan sesama ke penghambaan kepada Allah saja. Dan ketika dakwah Islam dihalangi secara fisik, rakyat Persia sendiri yang turut membantu pasukan jihad, sehingga tak sampai seabad setelah Nabi wafat, Persia sudah seutuhnya di bawah naungan Islam.
Adapun transisi Romawi ke dalam Islam memakan proses hampir 800 tahun. Daerah jajahan terdepan Romawi di Syams dapat dibebaskan pada masa Umar bin Khattab. Namun ibu kota Konstantinopel baru bisa dibebaskan oleh Muhammad al-Fatih tahun 1453. Kuncinya memang dakwah dan pemikiran. Pemikiran yang merasuki para mujahidin Islam dan rakyat yang akan dibebaskan.
Transisi imperium Islam ke imperium kafir di abad 17 hingga sekarang, juga berangsur perlahan, dimulai dari masuknya pemikiran asing ke tubuh kaum muslimin dan khilafah. Khilafah baru benar-benar dibubarkan tahun 1924, namun sebelumnya dia sudah seperti digerogoti kanker yang kronis selama lebih dari dua abad.
Hasil karya imperium Islam sangat berbeda baik dengan sebelumnya (Romawi/Persia) maupun sesudahnya (AS, Inggris, Perancis, dll.).
Imperium Islam tidak pernah merendahkan etnis manusia yang di bawahnya, sehingga tidak pernah menimbulkan kebencian kepada negara yang membawanya, hingga sekarang. Kalaupun di suatu masa pernah ada kebencian Arab atas Turki, maka itu tidak lain adalah hasil provokasi calon penjajah atau imperium baru.
Imperium Islam tidak pernah menjarah sumberdaya alam dari negeri yang dikuasainya (seraya memiskinkannya), justru malah sebaliknya, terkadang mereka mensupply negeri manapun (termasuk yang tidak dikuasainya) yang kekurangan atau mengalami musibah.
Imperium Islam tidak pernah menimbulkan bencana lingkungan atau sosial yang serius. Imperium Amerika sekarang ini menimbulkan situasi lingkungan global yang sangat parah (AS yang paling besar mengkonsumsi BBM dan otomatis memproduksi limbah / polutan justru sampai kini menolak meratifikasi protokol Kyoto yang membatasi gas rumah kaca); serta kesenjangan yang makin meluas antara negara-negara kaya (di “utara”) dan negara-negara miskin di “selatan”.
Hasil peradaban Islam juga menunjukkan bahwa mereka peduli kepada karya-karya yang tidak sekedar memiliki nilai material, intelektual dan emosional, namun juga memperhatikan nilai spiritual, sehingga manusia dari kalangan apapun merasa lebih dimanusiawikan, karena merasa dekat dengan Sang Penciptanya. Ini yang jarang ditemukan dari karya-karya imperium yang lain.
Sejarah mencatat setidaknya tiga imperium Islam besar, yaitu dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah. Bagaimana sesungguhnya periodisasi ini muncul dan bagaimana keadaan sesungguhnya di masa itu?
Sesungguhnya para ahli sejarahlah yang membagi masa panjang imperium Islam dalam tiga kurun ini.
Imperium Umayyah muncul setelah Muawiyah menerima pengalihan bai’at dari Hasan bin Ali pada tahun 661 M, namun kemudian Muawiyah melakukan bid’ah – dengan meniru model suksesi Romawi dan Persia, yakni mencalonkan putranya, Yazid, sebagai penggantinya, dan memaksa ummat untuk berbaiat pada putranya, semasa Muawiyah masih hidup.
Namun demikian, bid’ah dalam suksesi ini tidak lantas membuat imperium Islam melemah dan hancur. Justru di masa ini ilmu-ilmu hadits, fiqh maupun sains mulai tumbuh dan kemudian berkembang pesat. Wilayah kekuasaan Islam meluas hingga Maroko dan Andalusia di sebelah barat, sampai tepi sungai Indus di timur.
Sebenarnyalah, bid’ah putra mahkota ini tidak berjalan mulus. Ada beberapa khalifah pengganti yang bukan anggota keluarga dekat khalifah sebelumnya. Karena itulah, para sejarawan menyebut “Bani Umayyah” sebagai nama dinasti ini – diambil dari nama kakek buyut Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sofyan bin Harb bin Umayyah bin Abdus Syam bin Abdul Manaf. Abdus Syam adalah saudara Hasyim. Sementara itu Rasulullah adalah anak Abdullah bin Abdul Munthollib bin Hasyim. Jadi, konklusi nama dinasti ini dilakukan belakangan. Andaikata seluruh khalifah pada periode ini hanya keturunan Muawiyah – tentu namanya ”Bani Muawiyah” – dan itu tidak terjadi.
Periode pertama ini berakhir ketika terjadi Revolusi Abbasiyah pada tahun 750 M. Ketika itu kezaliman khalifah Marwan II (744-750) sudah tidak tertanggungkan lagi. Namun sebenarnya, tidak semua khalifah dinasti ini seperti itu. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) dapat dianggap sebagai khalifah yang sangat sukses dan dicintai rakyat, bahkan sering dijuluki Khulafaur Rasyidin ke-5.
Hampir semua sejarahwan pada masa lalu maupun kini hanya tertarik untuk menulis aspek politik / pemerintahan, tak terkecuali dari Imperium Umayyah ini. Maka salah satu yang dianggap menonjol (“bernilai sejarah”) dari era ini adalah permusuhan yang mendalam kepada kelompok Syiah. Di belakang hari hal ini menimbulkan dendam di kalangan syiah, sehingga menutup seluruh prestasi Imperium Umayyah, bahkan juga era Khulafaur Rasyidin.
Di era Imperium Abbasiyah, situasi politik jauh lebih baik. Terjadi rekonsiliasi besar-besaran untuk berbagai kalangan yang selama masa Umayyah berseberangan dengan elit penguasa – terutama dengan Syiah. Tak heran bahwa perkembangan fiqih maupun sains lebih hebat lagi di masa ini, walaupun ada era di mana ada pemaksaan atas suatu pendapat yang diadopsi oleh negara – seperti di zaman Al-Makmun, di mana negara mewajibkan orang untuk meyakini bahwa Qur’an itu mahluk – sehingga sejumlah ulama yang meyakini bahwa Qur’an adalah Kalamullah kemudian dipenjarakan.
Wilayah kekuasaan juga tumbuh lebih pesat lagi pada awalnya, walaupun kemudian cukup berat membawa bangsa-bangsa yang kemudian masuk Islam itu pada tingkat pemikiran yang sama. Walhasil, berbagai anasir filsafat Yunani, Persia dan India kuno pelan-pelan mulai merasuk ke dalam tubuh masyarakat Islam.
Menjelang abad 11 M, pengaruh berbagai filsafat ini sudah cukup serius, berpengaruh dalam bentuk berbagai ijtihad yang tidak bermutu yang melemahkan umat Islam. Sementara itu kekurangmampuan penguasa pusat dalam mengurus rakyat di wilayah yang sangat luas ini, menyulut beberapa gerakan separatisme di beberapa tempat. Di Mesir muncul Daulah Fathimiyah – suatu sempalan sesat dari kelompok Syiah. Beberapa sultan (gubernur) di imperium kemudian menutup pintu ijtihad, sebagai upaya mencegah eskalasi gejala ini. Namun hal ini tidak menolong banyak. Lemahnya imperium kemudian memancing datangnya pasukan salib (1096-1187), dan yang lebih fatal adalah pengkhianatan wazir khalifah sehingga Pasukan Tartar (Mongol) sampai ke Bagdad dan membantai lebih dari 2,6 juta penduduknya pada 1258.
Peristiwa pembantaian Tartar itu sekaligus mengakhiri era Abbasiyah di Bagdad. Namun nama dinasti ini – yang diambil dari nama Abbas bin Abdul Muntholib – yang juga mungkin baru dipakai para sejarahwan setelah melihat ginealogi para khalifahnya – masih dipakai hingga tahun 1517. Tiga tahun setelah hancurnya Bagdad, pada 1260, khilafah Abbasiyah diteruskan kembali di Mesir, di bawah perlindungan sultan-sultan Mameluk. Namun khalifah tinggal simbolis saja, sebab yang sesungguhnya berkuasa adalah sultan-sultan Mameluk itu. Walau demikian negara ini masih bertahan hingga hampir tiga abad.
Secara tatanegara, sultan Mameluk di Mesir sesungguhnya hanyalah gubernur di dalam khilafah. Mereka mendapat legitimasi kuat karena berhasil mengalahkan dan mengusir pasukan Tartar pada 1261 di Ain Jalut. Namun di akhir abad 15, popularitas sudah kalah di bawah gubernur Islam yang lain, yaitu para Sultan Turki di Anatolia, yang pada 1453 telah membuka Konstantinopel. Akhirnya, ketika pusat imperium di Mesir tidak bisa dipertahankan lagi, tampuk kepemimpinan imperium berpindah ke dinasti Utsmaniyah di Turki pada 1517.
Dinasti Utsmaniyah diberi nama dari pendirinya yaitu Utsman pada 1299. Imperium ini mencapai legitimasi dunianya setelah mendapatkan perpindahan kekhilafahan dari Abbasiyah di Mesir, meski mereka tidak menggunakan gelar Khalifah sebagaimana sebelumnya. Namun, pada 3 Maret 1924, Inggris tetap menyebut peristiwa pengusiran penguasa terakhir Utsmaniyah sebagai pembubaran khilafah (The Abolish of Caliphate).
Seperti imperium yang lain, imperium Utsmaniyah juga mencapai puncak kejayaannya di abad-abad awalnya. Mereka praktis menjadi adi kuasa dunia yang disegani lawan dan dihormati kawan. Kemunduran baru terjadi pada abad 18, setelah dakwah dan jihad tidak lagi ditekuni dengan serius, sehingga terjadi kemunduran di segala bidang. Bandul sejarah kemudian berubah total ketika di Eropa terjadi revolusi pemikiran, revolusi Perancis (1789) yang disusul dengan revolusi industri di Inggris dan seluruh negeri di Eropa, dan kemudian Amerika Serikat. Akhirnya imperium Utsmaniyah runtuh setelah terseret dalam Perang Dunia I, setelah rakyatnya yang multi-entnis sebelumnya dipecahbelah dengan sentiemen nasionalisme.
Secara umum kehidupan rakyat di seluruh imperium ini relatif lebih baik dari pada dunia di luar khialfah. Inilah yang menyebabkan mereka yang keluar negeri selalu dihormati karena dianggap representasi dari suatu negara yang hebat. Mungkin sama dengan turis dari Jerman yang datang ke negeri muslim saat ini – dianggap hebat, karena berasal dari negeri yang hebat.
Demikian pula ketika para pedagang muslim dari imperium Islam datang ke Nusantara, berduyun-duyun raja-raja Hindu dan Budha menjadikan mereka penasehat, sampai akhirnya di Nusantara bermunculan kesultanan-kesultanan Islam.
Jejak tiga imperium ini masih bisa dilihat hingga sekarang. Masjid Umayyah masih berdiri tegak di Damaskus. Berbagai observatorium bintang yang didirikan khilafah Abbasiyah masih tegak di berbagai tempat di Iran dan Irak – kecuali yang sudah dibom oleh pasukan AS sejak invasi ke Irak tahun 2003. Demikian juga di Turki masih berceceran peninggalan sejarah sebuah imperium besar. Masjid Sultan Ahmet yang menjadi icon Istanbul adalah bukti penguasaan teknologi konstruksi yang sangat hebat ketika itu.
Tentang kehidupan rakyat mereka, dapat dibaca dari laporan-laporan perjalanan musafir barat, seperti catatan Marcopolo (abad 13). Wilayah imperium Islam terkenal dengan kerapihan dan kebersihannya, pelayanannya terhadap orang sakit – sekalipun orang asing, level pendidikannya yang tinggi – padahal bebas biaya. Kehidupan seperti itu terus berjalan berabad-abad tanpa terganggu dengan hiruk pikuk politik. Secara logika juga mustahil berdiri sebuah negara yang kuat, tanpa di dalamnya ada masyarakat yang solid mendukungnya, karena diberikan keadilan dan kesejahteraan.
Ini artinya, fenomena tragedi atas beberapa penguasa (fitnah, pembunuhan) hanya terjadi di kalangan elit, namun siapapun penguasa Islam itu, mereka sangat serius dalam mengurusi rakyatnya.
Di Nusantara, pengaruh tiga imperium ini berjalan berangsur-angsur. Kontak pertama sudah terjadi di zaman Umayyah. Namun kontak yang intensif, hingga penempatan pejabat penting baru terjadi setelah zaman Utsmaniyah, antara lain berupa penempatan seorang laksamana di Aceh (diberi nama “Gubernur Turki”) untuk membantu Aceh menghadapi Portugis di selat Malaka. Faktanya, banyak sekali sultan-sultan di Nusantara yang baru percaya diri setelah mendapat pengakuan dari Syarif Makkah – yakni gubernur Khilafah yang ditugaskan mengurusi kota Makkah. Pada umumnya sultan-sultan itu bertemu dengan Syarif Makkah pada saat ibadah haji.
Memang secara bahasa tidak ada satu negarapun yang diceritakan di atas yang menamakan diri “Negara Islam”? Ngara Islam ada dalam substansi – yakni negara yang hukumnya bersumber dari Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan keamanannya semata-mata di tangan kaum muslimin. Negara ini bukan negara bangsa dan juga bukan negara agama. “Negara Islam” adalah terminologi ideologis, seperti kita menyebut “Negara Demokrasi”. Jadi ia bukan nama sebuah negara. Penguasa imperium Islam menyebut dirinya khalifah, amirul mu’minin, atau sultan – karena penggunaan istilah-istilah ini adalah mubah. Dan semuanya menggambarkan bahwa mereka mengemban tugas untuk menerapkan hukum Islam serta menyebarkan dakwah ke seluruh dunia. Di dalam imperium Islam hidup berbagai bangsa (etnis) dan berbagai pemeluk agama dengan damai. Orang-orang Nasrani, Yahudi, Majusi, Hindu, dan kafir lainnya tidak dipaksa masuk Islam, namun mereka didakwahi dengan diberi contoh yang baik, dan diperlakukan adil berdasarkan syariah Islam.
Fakta-fakta ini harus dihidupkan dan diceritakan kepada anak-cucu kaum muslimin, agar mereka sadar, bahwa Islam pernah mengantarkan kepada kemuliaan, dan mereka adalah pewaris-pewaris orang-orang mulia. Kakek-kakek mereka adalah Umar bin Khattab, Harun al Rasyid, al-Mu’tashim Billah, Salahuddin al-Ayyubi, Mehmet al Fatih, Sulaiman al-Qanuni dan sebagainya.
Mereka harus merebut kembali kemuliaan itu dengan membangun kembali penyebab kemuliaan itu. Kemuliaan itu terjadi karena mereka meyakini aqidah Islam, kemudian menerapkan syariah dalam wadah khilafah, kemudian melakukan dakwah dan jihad fi sabilillah.
Pada abad-21 ini, dunia sudah sekarat. Imperium-imperium lain yang menggantikan khilafah terbukti tidak mampu menjadi sumber rahmat bagi seluruh alam. Belum ada tiga abad, tanda-tanda kiamat sudah semakin dekat. Kiamat dalam arti kehancuran ekosistem, kehancuran generasi, dan kehancuran hubungan antar manusia. Karena itu, menjadi tugas sejarah bagi kaum muslimin untuk kembali mengantarkan yang telah dinubuwatkan Rasulullah, “…. Bahwa setelah itu akan ada lagi khilafah yang didirikan sesuai dengan metodeku”.
Dan jika umat Islam meyakini keniscayaan tibanya saat tersebut, sejumlah ilmuwan Barat dengan analisis ilmiahnya menyatakan bahwa munculnya kembali imperium Islam adalah salah satu dari empat kemungkinan yang akan terjadi pada 2020.
Wallahu a’lam.