Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Pada tahun 1970-an setiap murid SD selalu mendengar dari guru IPA-nya bahwa Indonesia mengalami musim kemarau pada bulan April hingga Oktober, dan musim penghujan dari Oktober hingga April. Musim ini diselingi perubahan arah angin dan cuaca yang khas yang disebut pancaroba. Namun kini, musim kita tampaknya semakin ”kacau”. Di Jawa, hujan lebat masih turun disertai angin kencang hingga Juni ini – sehingga kita sebut ”kemarau basah”. Sementara itu, di bulan Desember tahun lalu masih banyak sawah yang kekeringan karena hujan belum juga turun.
Fenomena ini sebenarnya sudah cukup lama diprediksi para ahli, bahkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) sampai membentuk ”badan dunia untuk kerangka kesepakatan atas perubahan iklim” atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dalam pertemuan puncak di Rio de Janeiro tahun 1992.
Pertumbuhan penduduk dan peningkatan standar hidup telah memacu peningkatan penggunaan energi, yang dampaknya meningkatkan kadar gas karbon dioksida (CO2) di atmosfir. Gas ini menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse-effect) yaitu memerangkap panas dari sinar matahari, sehingga secara keseluruhan suhu atmosfir bumi meningkat. Beberapa teori memprediksi kondisi ini akan mencairkan salju abadi di kutub-kutub atau gunung-gunung tinggi, sehingga paras laut naik, pulau-pulau kecil tenggelam dan pada saat yang sama gurun pasir meluas, masa tanam mundur dan kebakaran hutan lebih sering terjadi. Kebakaran hutan akan menimbulkan efek berantai yaitu semakin menambah kadar gas rumah kaca tadi.
Banyak ahli mengembangkan model-model untuk mempelajari dan menghitung efek perubahan iklim ini. Mereka kesulitan dalam mengkalibrasi model-model itu guna menentukan model mana yang paling tepat. Hal ini karena data untuk menghitung jumlah CO2 (Greenhouse-gas Inventory) yang ada di tiap tempat dari waktu ke waktu dianggap kurang memadai atau penuh dengan asumsi. Sejumlah ahli bahkan masih percaya bahwa naiknya CO2 akan secara alami disetimbangkan oleh lautan. Naiknya CO2 membuat air laut lebih reaktif dan mengikat CO2 tersebut. Mereka menduga bahwa di masa lampau, di saat aktivitas vulkanik gunung-gunung berapi masih sangat tinggi, tentu CO2 di atmosfir juga jauh lebih tinggi dari sekarang. Persoalannya, berapa lama kesetimbangan alam itu akan tercipta kembali, dan apakah manusia bisa bertahan melewati masa adaptasi tersebut?
Pada 1997 di Kyoto Jepang ditandatangani protokol untuk mengurangi kadar CO2 (disebut Kyoto Protocol). Namun sayangnya dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol itu, walau dengan alasan yang berbeda. China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang pemerintah Bush lebih percaya penasehatnya yang menolak keabsahan model-model iklim itu.
Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Mereka yang percaya perubahan iklim global bahkan telah mengembangkan model-model dampak sosial-ekonomi perubahan ini. Misalnya naiknya suhu rata-rata 2º Celcius saja akan membuat sekian puluh juta penduduk pantai di daerah tropis semakin miskin karena kehilangan habitat dan matapencahariannya akibat makin seringnya gelombang pasang terjadi – seperti pernah mengejutkan kita beberapa waktu yang lalu.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal. Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah). Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.
Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya. Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara.
Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga bio-energi (biomass, biogas, biofuel hingga enegi otot hewan) dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi perubahan iklim.