Sejak kecil saya hidup di lingkungan keluarga yang relatif taat beragama Islam. Namun rumah kami dikelilingi tetangga non muslim. Persis di sebelah kiri rumah kami seorang Tionghoa Kristen pedagang telor. Sebelah kirinya lagi salon, lalu pabrik kue, semua milik Tionghoa kristen juga. Di depan rumah kami (di seberang jalan) juga dua rumah Tionghoa Kristen, salah satunya punya halaman yang sangat luas. Sedang persis di sebelah kanan rumah kami sebenarnya orang Jawa muslim, tetapi separuh rumahnya, justru yang utama, disewakan pada suami istri dokter yang juga Tionghoa kristen. Jadinya, tiap hari Natal, dan juga tiap tahun baru Imlek, banyak aneka makanan mengalir ke rumah kami. Biasanya sih berupa kue atau agar-agar atau buah-buahan. Tetangga-tetangga kami yang Tionghoa kristen itu baik-baik. Mereka tidak pernah mengirim makanan yang patut diduga ada unsur keharamannya. Dan mereka juga tidak pernah mempersoalkan, bahwa keluarga kami tidak pernah mengucapkan selamat Natal pada mereka, apalagi ikut merayakan Natal bersama mereka. Yang jelas, setiap mereka merayakan Natal, wajah kami tidak pernah berubah jadi cemberut. Lha kan memang hak mereka. Dan soal makanan itu, mungkin mereka hanya membalas kebiasaan kami mengirim ketupat dan opor setiap lebaran Iedul Fitri, atau gule kambing setiap lebaran Haji. Ini berjalan puluhan tahun, bahkan sebelum ada fatwa MUI tahun 1981. Ibu saya biasa ngobrol-ngobrol dengan tetangga-tetangga yang beda etnis maupun agama ini. Kehidupan di lingkungan kami harmonis.
Tetapi memang saya merasakan, sejak tahun 1980-an, pemerintah Orde Baru agak mulai “lebih memaksa” umat Islam untuk agak “menurunkan tensi radikalnya”. Indikatornya adalah bersedia mengucapkan selamat Natal atau bahkan ikut merayakan Natal. Saya ingat, tahun 1980 ada kerusuhan anti Cina, termasuk di kota saya, Magelang. Keluarga kami termasuk yang berusaha meredakan tensi, agar kelompok-kelompok massa yang dengan anarkis melempari batu ke rumah-rumah warga Tionghoa itu tidak sampai masuk lingkungan kami. Mungkin peristiwa itu – yang juga terjadi di beberapa kota di Indonesia – menjadi alasan agar umat muslim di Indonesia “lebih toleran”. Apalagi setelah kemudian pemerintah membuat P4.
Tetapi saya tidak tahu, apakah tahun 1980 itu juga kali pertama di sekolah saya, sebuah SMP Negeri papan atas di Magelang, menyelenggarakan perayaan Natal bersama. Saya yang waktu itu termasuk pengurus kelas (dan juga pengurus OSIS), dipaksa ikut koor / paduan suara untuk menyanyikan lagu Natal ! Alamak. Dari sekitar 30 anak tim koor, lebih dari separuhnya muslim. Tetapi dalam latihan saya banyak “mbalelo”-nya, yang lain berdiri saya duduk saja, yang lalu mulutnya terbuka, saya terlihat diam saja. Ada dua orang yang seperti itu. Sepertinya saya lalu dikeluarkan dari tim koor dengan sedikit ancaman dari guru pembina OSIS saat itu. Tapi ternyata ancaman itu tidak terbukti, karena pas rapor akhir semester, saya tetap di peringkat-2 di kelas.
Tahun 1981 keluarlah fatwa MUI yang menghebohkan itu. Buya Hamka, sang Ketua MUI legendaris yang saat itu sudah berusia 70 tahun, ditekan kanan-kiri untuk mencabut fatwanya. Tidak, bagaimana mungkin dia mencabut fatwanya hanya karena tekanan, di masa Orde Lama, meski dipenjara bertahun-tahun dengan tuduhan yang dibuat-buat saja tidak menggentarkannya, bahkan di penjara dia justru produktif berkarya. Tetapi pemerintah Orde Baru terus menekan MUI, mengucilkan para anggotanya agar tidak kebagian jatah ceramah, mungkin juga mengetatkan bantuan keuangannya yang hingga sekarang mengalir melalui Depag. Akhirnya Buya Hamka memilih mundur daripada mencabut fatwanya. Hasilnya, hingga sekarang tidak ada satupun tokoh MUI yang berani mencabut fatwa itu. Mungkin satu dua tokoh MUI secara pribadi melanggar fatwa itu dengan mengucapkan selamat Natal, tetapi mencabut fatwa itu mereka tidak berani. Bahkan seorang tokoh MUI yang pernah menghalalkan judi ala SDSB-pun, juga tidak berani mencabut fatwa Natal itu.
Ketika saya sekolah di Eropa, saya hidup dalam lingkungan yang nyaris 99% non muslim. Saya tinggal di asrama, di mana yang muslim bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Bahkan asrama saya pun milik sebuah yayasan Kristen (Evangelische Stiftung). Penghuni asrama yang hampir seluruhnya mahasiswa domestik akan pulang kampung menjelang liburan Natal, jadi asrama akan sangat sunyi. Tinggal segelintir mahasiswa asing dari negara yang jauh saja yang akan tinggal. Tetapi, beberapa hari sebelum liburan, para penghuni asrama itu akan merayakan Natal dengan pesta pora. Dan makna “pesta” di sini adalah minum-minum bier sambil menikmati musik keras-keras, sampai pagi. Bukan pesta ritual agama. Justru sebagian mereka secara bercanda mengaku agamanya adalah “bola, bier dan musik” !
Pada tahun pertama, saya sempat muncul sebentar di pesta sekedar “say hello”. Bahkan sekali saya didapuk untuk menyanyi. Saya menyanyi saja lagunya Rhoma Irama dalam bahasa Indonesia dengan diiringi gitar sebisanya. Lagunya tentu saja tidak nyambung, toh mereka juga tidak mengerti. Maka sambutannya meriah. Mereka bertanya, “Itu lagi Natal di negerimu ya?”. Saya jawab saja, “ya itu lagu yang saya nyanyikan KETIKA hari Natal”. Saya kan tidak mengatakan “itu lagu yang saya nyanyikan UNTUK MERAYAKAN Natal”. Tapi begitu mereka mulai menyetel musik keras-keras dan mulai membuka botol bier, saya merasa itu bukan acara saya, maka saya pamit kembali ke kamar. Tetapi tentu saja di kamar saya juga tidak bisa tidur. Mungkin tingkat kebisingannya cuma selapis di bawah suara mesin jet !!! Pernah di tahun berikutnya saya mencoba menyabot pesta itu dengan mematikan listrik. Tapi efeknya cuma sebentar, karena mereka tahu cara menghidupkannya lagi. Komplain saya secara resmi ke pengelola asrama cuma ditanggapi untuk melakukan polling di antara penghuni, siapa yang pro dan siapa yang kontra dengan pesta. Tentu saja prosedur demokratis di antara populasi tukang mabuk gini akan dimenangkan oleh mereka. Tapi saya surprise, bahwa di antara bule-bule ini ada juga yang tidak setuju dengan pesta mabuk seperti itu. Tahun-tahun berikutnya, setiap mereka pesta Natal seperti ini, saya mengungsi ke rumah teman, atau bahkan menginap di lab kampus!
Di antara masyarakat Indonesia di sana, perayaan Natal juga sangat semarak. Banyak warga Indonesia yang menikah dengan bule. Sebenarnya sebagian bule ini masuk Islam, bahkan yang laki-laki juga disunat, tetapi karena keluarga besarnya masih nasrani, jadi ya tetap merayakan Natal. Apalagi yang memang semua nasrani. Mereka mengadakan dua acara terpisah. Satu acara ritual (misa) yang cuma dihadiri yang nasrani, satu acara gembira dengan mengundang seluruh warga Indonesia. Tentu saja di acara gembira itu ada juga teatrikal yang berisi sejarah kelahiran Tuhan versi nasrani. Masalahnya, acara gembira ini sering diadakan di aula asrama saya !!! Kalau saya tidak turun, wah dijemput ke kamar !!! Jadi akhirnya saya turun juga, tetapi cuma di lapis terluar. Maklum, hadirin sangat banyak, jadi berjubel. Orang Indonesia memanfaatkan momen yang cukup jarang seperti ini untuk ketemuan. Yang jarang ketemu masakan Indonesia, ini adalah kesempatan. Bahkan kalau ada makanan sisa, saya sebagai penghuni asrama “tuan rumah” (yang sebenarnya tidak terlibat sama sekali), malah dibawain bekal buat “peningkatan gizi” he he … maklum mahasiswa. Tetapi tetap saja saya hanya menjabat tangan teman-teman yang nasrani itu, tanpa mengucapkan selamat Natal.
Beberapa keluarga Nasrani di Wina saat itu sebenarnya memiliki hubungan yang cukup dekat dengan saya. Minimal saya relatif sering berkunjung ke rumahnya, sekedar ngobrol, atau sedikit mengajari anak-anak mereka beberapa mata pelajaran sekolah. Jadi tentu saja, kalau pas Natal mereka mengadakan open house, saya merasa wajib menyempatkan datang. Tetapi saya juga tidak mengucapkan selamat Natal. Hanya datang, ikut ngobrol, ikut makan, foto-foto, pulang … Alhamdulillah, hubungan juga tidak terganggu.
Ketika saya menempuh S3, hubungan saya dengan para dosen dan warga lab di kampus juga menjadi lebih erat. Walhasil, ketika hari Natal tiba, ketika masing-masing saling mengucapkan selamat Natal, kita diminta untuk kreatif. Tetapi ada untungnya juga di sana hari besar Islam (Iedul Fitri/Iedul Adha) bukan hari libur, sehingga bule-bule itu juga tidak tahu, dan tidak pernah mengucapkan selamat untuk kita, sehingga kita juga tidak merasa berkewajiban membalasnya ketika Natal. Bahkan, ketika ada yang tidak tahu bahwa saya muslim, lalu mengucapkan “Frohes Weihnachten” (Selamat Natal) untuk saya, saya balas dengan bercanda, “Hei, karena saya kemarin pas Iedul Fitri saya ngacir, sekarang pas Natal saya malah sibuk di lab, tahu !!!”. Mereka tentu saja justru tertawa, sambil bernada kasihan …. Oh Du armes Kind …