Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Suara Islam no 16 minggu I-II Maret 2007
Benarkah flu burung sudah menjadi bencana besar di Indonesia? Apakah ini bukan cuma konspirasi untuk membesarkan sesuatu yang remeh guna mengalihkan perhatian masyarakat pada hal-hal yang lebih serius? Persoalannya, Indonesia sudah dibelit begitu banyak masalah serius: banjir, lumpur panas, utang, korupsi, demam berdarah, pornografi, kecelakaan kapal dan pesawat, dsb.
Namun fakta, tahun 2005, Indonesia meraih posisi kedua setelah Vietnam. Ketika tahun 2006 Vietnam dinyatakan nol flu burung, Indonesia langsung meraih juara satu!
Kasus flu burung yang terjadi di Indonesia saat ini berstatus stadium tiga. Virus yang dikenal saat ini masih menular dari unggas ke manusia, belum manusia ke manusia. Namun, tidak mustahil kasus itu meningkat menjadi pandemi, saat virus tersebut menular dari manusia ke manusia. Kalau sudah begitu, maka penyakit ini akan berdampak sosial ekonomi yang amat serius.
Pada tahun 1918 pernah terjadi pandemi flu yang menyebabkan sepertiga penduduk dunia (saat itu sekitar 500 juta orang) sakit dan 50 juta di antaranya meninggal. Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah berhitung jika kini flu burung menjadi pandemi, namun masalah yang menyibukkan kita di Indonesia memang masih terlalu banyak.
Penyebab flu burung adalah virus influenza tipe A yang menyebar antarunggas. Virus ini kemudian diketahui mampu menyebar ke spesies lain seperti babi, kucing, anjing, dan manusia. Virus tipe A memiliki subtipe yang dicirikan dari adanya Hemaglutinin (H) dan Neuramidase (N). Ada sembilan varian H dan 14 varian N. Virus flu burung yang sedang berjangkit saat ini adalah subtipe H5N1 yang memiliki masa inkubasi tiga sampai lima hari. Ciri-ciri orang terkena flu burung adalah demam tinggi dan sesak nafas, serta diketahui dia sempat berada di wilayah yang diketahui ada unggas mati mendadak.
Untuk antisipasi flu burung, ada sejumlah perusahaan multinasional yang terkait unggas, yang menyiapkan monitor suhu (dengan kamera inframerah) di kantor. Jika ada karyawan yang suhunya tinggi maka akan langsung dilarikan ke rumah sakit sebagai ”suspect avian flu”.
Pencegahan utama memang penerapan biosecurity, di tempat yang berhubungan dengan unggas. Semua pekerja harus menggunakan sarung tangan, masker, dan sepatu boot. Sedangkan di luar yang berhubungan unggas adalah dengan pola hidup sehat dan higienis. Namun di Indonesia hal ini tidak mudah, karena unggas sering dipelihara dalam jumlah kecil sebagai hobby atau pekerjaan sambilan di tengah-tengah pemukiman.
Idealnya memang Dinas Kesehatan atau Dinas Peternakan memiliki suatu sistem informasi geografis yang menunjukkan lokasi-lokasi unggas. Dengan demikian, setiap kematian unggas mendadak yang mengindikasiikan flu burung dapat segera dilokalisir. Pemerintah setempat dapat segera memotong jalur-jalur kontak secara terarah, atau bahkan mengkarantina penduduk setempat, namun tak perlu sampai membuat generalisasi seperti larangan memelihara atau bahkan pemusnahan massal untuk suatu daerah administrasi yang cukup besar seperti Kabupaten atau Provinsi.
Vaksinasi
Sejauh ini flu burung belum ada obatnya, namun sudah ditemukan vaksinnya. Vaksin ini dikembangkan di Amerika Serikat dan Inggris dari virus yang diisolasi pada manusia di Hongkong tahun 2003. Pada Agustus 2006, WHO telah mengeluarkan prototype strains H5N1 untuk diproduksi. Perusahaan Aventis Pasteur (sekarang Sanofi Pasteur) di Pennsylvania dan Chiron Corporation di California (keduanya di AS) mendapatkan kontraknya. Upaya baru yang sedang berjalan adalah menciptakan vaksin universal melawan influenza yang tidak perlu tiap tahun direkaulang untuk menghadapi mutan virus yang baru. Perusahaan Inggris Acambis menyatakan telah sukses mencoba vaksin itu pada binatang, namun uji coba pada manusia masih memerlukan waktu.
Di lapangan, upaya vaksinasi tidak selalu berjalan mulus. Ada sinyalemen bernuansa politis bahwa virus flu burung itu sengaja disebar oleh negara kafir penjajah untuk membuat ketergantungan pada vaksin buatan mereka yang dipatenkan. Sinyalemen ini mirip seperti isu bahwa tsunami Sumatra 2004 dipicu oleh bom nuklir AS.
Dan secara umum, vaksinasi manusia yang diprogram secara massal seperti vaksinasi polio (misal melalui Pekan Imunisasi Nasional – PIN) pernah dicurigasi diisi dengan zat yang melemahkan kaum muslimin. Karena itu ada kalangan yang menolak imunisasi yang disponsori WHO ini karena kekhawatiran yang berlatarbelakang politis.
Kekhawatiran ini mirip yang terjadi pada gerakan anti-vaccinationist di Eropa abad-19 yang menolak vaksinasi dengan alasan keagamaan. Namun secara objektif-medis, kekhawatiran ini tidak beralasan. Meskipun Amerika Serikat melakukan politik penjajahan yang keji di negeri-negeri muslim, namun vaksin yang diberikan dalam program PIN itu juga vaksin yang dipakai di AS atau negara-negara maju lainnya. Semua ilmuwan (terutama ahli biokimia atau farmasi) dapat menguji apakah di dalam vaksin tersebut ada zat-zat berbahaya atau tidak. Bahwa di sejumlah negara program vaksinasi tidak lagi dilakukan secara massal, itu karena kasus penyakit tersebut di sana sudah sangat jarang akibat membaiknya mutu gizi, sanitasi dan lingkungan. Namun di sejumlah negara bagian di AS, vaksinasi lengkap masih merupakan syarat seorang anak masuk Sekolah Dasar. Dan di militer, semua prajurit wajib diimunisasi sebelum dikirim ke medan perang.
Karena itu, asal menolak vaksinasi – termasuk untuk menangkal flu burung – dengan alasan politis-ideologis semata, dan tidak didasarkan pada kebenaran objektif, justru bukan tindakan syar’i yang tepat, tetapi adalah tindakan gegabah yang tidak bertanggungjawab.
Dalam Daulah Islam, negara harus menjadikan masalah kesehatan sebagai salah satu fokus maqashidus syari’ah, yaitu perlindungan jiwa. Negara harus mengembangkan sistem kesehatan yang komprehensif. Dalam sistem ini, upaya preventif (pencegahan) jauh lebih utama dan juga lebih murah dari upaya kuratif (pengobatan). Vaksinasi atau imunisasi adalah salah satu upaya preventif. Dalam hal apapun. Bahkan juga dalam hal aqidah / ideologi.