Fahmi Amhar, pengajar Pascasarjana Universitas Paramadina
JARINGAN Islam Liberal (JIL) adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia karena dianggap mendobrak kemapanan dan kejumudan berpikir. Hal itu bisa dimengerti karena rata-rata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi. Padahal, aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari kemiskinan, kebodohan, ataupun penindasan.
Di sisi lain, kelompok-kelompok Islam revivalis, yang ingin menyelamatkan umat dengan syariat sering bersikap simplistis, misalnya menekankan syariat sekadar kewajiban mengenakan jilbab pada muslimah, atau hukum-hukum hudud pada kasus pidana, namun mereka jarang memiliki konsep yang komprehensif dan rasional tentang mekanisme pembebasan manusia dari berbagai keterpurukannya. Bahkan, cita-cita memunculkan Islam sebagai *rahmatan lil alamin* terkadang
diwujudkan dengan cara-cara kekerasan, dan inilah *trade mark* Islam radikal yang menjadi salah satu pendorong sehingga JIL merasa perlu bersuara lebih lantang.
Dengan demikian, saya melihat JIL sebagai suatu antitesis atas latar belakang jumud dan alternatif radikal yang miskin konsep. Ini suatu hal yang bisa dimengerti, namun tidak boleh dibiarkan.
*JIL terbelenggu*
Saya setuju dengan pendapat Ulil bahwa Islam itu semacam organisme dan bukan monumen yang mati. Untuk itulah, realitas sejarah Islam di masa awal membuka pintu ijtihad yang membuat peradaban Islam berkembang pesat.
Namun, ‘paradigma organisme’ ini jangan menjadi belenggu baru bagi kita, bila kenyataannya memang ada yang tidak memberi kesempatan ijtihad, karena sudah begitu terang (*qath’i*). Andai paradigma organisme ini begitu
menonjol, Islam tidak akan tersisa lagi. Salat, puasa, atau haji bisa-bisa dianggap aktivitas mubazir yang tidak relevan dengan pembebasan manusia dari keterpurukannya.
Demikian juga dengan ‘paradigma nonliteral’. Sesungguhnya, teks-teks Islam (Quran dan hadis) memiliki makna literal dan makna *syar’i* (hukum).
Makna *syar’i* memang harus dipahami dalam konteks pelaksanaan syariat lain yang lebih luas, namun juga bisa lebih terbatas. Istilah salat, yang bermakna literal doa, memiliki makna *syar’i* aktivitas tertentu yang dimulai dari takbiratulihram dan diakhiri dengan salam. Justru JIL saya lihat lebih sering memakai makna literal untuk ditafsirkan sesuka hawa nafsunya.
Dalam kejumudannya, umat Islam di Indonesia memang sering melakukan suatu ritual yang sebenarnya hanya budaya, tanpa dasar syar’i. Namun, dalam masyarakat tradisional, hal-hal seperti itu (seperti memakai jubah), atau bahkan yang termasuk TBC (tahayul-bidah- churafat) , bisa disakralkan. Dan inilah (sesuai latar belakang JIL) yang pantas dikaji ulang. Namun, bukan hal-hal yang memang bukan tradisi, bahkan di Arab sendiri. Jilbab, misalnya, bukanlah tradisi Arab di masa Nabi. Kalau sekarang di sana menjadi semacam tradisi, apa salahnya kalau Islam yang dulu memulai tradisi itu?
Konsep Ulil tentang adanya ‘nilai-nilai universal’ yang mewajibkan umat
Islam tidak memandang dirinya terpisah dari umat manusia yang lain, seperti
nilai ‘kemanusiaan’ atau ‘keadilan’ pada tataran praktis akan menemui jalan
buntu. Manusia di mana pun memang diciptakan Tuhan untuk memiliki berbagai
sifat yang sama, misal suka diperlakukan adil. Namun, bagaimana adil itu
diciptakan ternyata tidak bisa berhenti pada dataran filosofis, namun harus
turun ke dataran yuridis, bahkan pada beberapa hal harus turun lagi ke
dataran aritmetis (misalnya pada pengenaan pajak progresif atau juga
pembagian warisan).
Karena itu, kalau Ulil usul untuk mengamendemen aturan yang membedakan
muslim dan nonmuslim (karena konon melanggar prinsip kesederajatan) ,
konsekuensinya mestinya salat id boleh diimami oleh nonmuslim, atau kalau
yang agak kurang ritual ya nonmuslim harus ikut bayar zakat.
Tentunya banyak hal-hal yang lalu menjadi absurd.
Cita-cita bahwa agama adalah urusan pribadi, sedangkan pengaturan kehidupan
publik sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui proses demokrasi,
realitasnya justru sering dilanggar para penganjurnya sendiri, begitu Islam
yang keluar sebagai pemenang proses itu. Ketika jilbab dikenakan muslimah
profesional secara sukarela, yang mengemuka bukanlah kebebasan pribadi untuk
beragama, melainkan kecurigaan atas fundamentalisme, bahkan terorisme.
Bahwa Islam pada tataran praktis hanya akan terealisasi jika kekuatan
real-politis di masyarakat sepakat menerapkannya, ya. Kalau ini disebut
proses demokrasi, silakan. Namun, kalau pada tataran ide umat Islam
memperjuangkan agar syariat Islam yang diterapkan, apanya yang salah?
Bukankah ada kekuatan-kekuatan lain yang juga ingin menerapkan ide-ide yang
lain?
Tentang Rasul Muhammad SAW, memang benar kita tidak diwajibkan mengikuti
secara harafiah. Dalam kajian ushul fiqh kita tahu, ada perbuatan Rasul yang
jibilliyah (wajar sebagai manusia Arab abad VI M), misalnya makan kurma atau
pakai jubah. Orang kafir pun saat itu demikian. Ada juga perbuatan Rasul
yang khas untuk beliau, tak boleh diikuti umatnya, misalnya boleh berpuasa
tanpa berbuka, atau menikahi sampai sembilan istri. Namun, selebihnya adalah
dalil syar’i. Tentunya dalil ini ada yang sifatnya fardu, mustahab, atau
mubah. Tidak semua yang dikerjakan Rasul itu fardu. Di sinilah pentingnya
belajar ushul fiqh. Namun, Ulil menggeneralisasi, menganggap Islam yang
dibawa Rasul hanya *one among others*, salah satu jenis Islam di muka bumi.
Kalau begitu, Islam yang lain mencontoh siapa?
Memang kebenaran bukanlah milik satu golongan saja. Namun, peradaban ataupun
disiplin ilmu mana pun pasti memiliki suatu *frame*. Islam, tentu saja,
hanya layak dipahami atau ditafsirkan oleh orang yang percaya bahwa dia *
frame* yang sah untuk dijadikan pandangan hidup. Akan *absurd* mengikuti
penafsiran Quran dari nonmuslim yang tidak percaya bahwa Quran adalah wahyu
Ilahi, se*absurd* mengikuti pendapat tentang sains dari paranormal yang
tidak percaya sains.
Saya setuju bahwa misi Islam yang terpenting adalah menegakkan keadilan,
terutama di bidang politik dan ekonomi. Dan tentu ada syariat yang mengatur
masalah ini, dan itu memang bukan syariat jilbab, memelihara jenggot, atau
hal-hal *furu’iyah*, melainkan syariat yang mengatur masalah kepemilikan,
muamalah, sistem moneter, dan hubungan luar negeri.
Namun, kembali *absurd* ketika Ulil mengatakan upaya menegakkan syariat
adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam atau mengajukan syariat Islam
adalah sebentuk kemalasan berpikir.
Memang kalau melihat ‘habitat’ Ulil dari kalangan tradisional yang jumud
atau menghadapi kalangan radikal yang miskin konsep, pemahamannya adalah
refleksi pengalamannya yang terbatas. Namun, generalisasinya tadi sungguh
tidak ilmiah.
Fakta, ada kelompok-kelompok yang berupaya menegakkan syariat namun bukan
sebagai wujud ketidakberdayaan ataupun malas berpikir. Gerakan Ikhwanul
Muslimin ataupun Hizbut Tahrir, misalnya, banyak menerbitkan buku-buku yang
memuat ide-ide tentang pengentasan kemiskinan (sistem ekonomi Islam) atau
mengatasi kezaliman (sebagai lawan ketidakadilan) secara syariat. Mereka
berjuang tanpa kekerasan.
Dan kalau Ulil keberatan dengan pandangan bahwa syariat adalah suatu ‘paket
lengkap’ untuk menyelesaikan masalah di dunia di segala zaman, selain
barangkali ini karena keterbatasan pemahaman Ulil atas syariat itu sendiri,
juga keterbatasan dia memahami apa itu ideologi.
Ideologi adalah suatu ide dasar yang di atasnya dibangun suatu paket lengkap
sistem untuk solusi problematik manusia.
Maka, kalau Ulil mengkritik orang-orang yang memahami Islam sebagai ideologi
yang mengajukan syariat sebagai paket lengkap solusi, mengapa dia tidak
melakukan kritik yang sama atas ideologi sekulerisme, yang juga mengajukan
paket solusi yang sama hanya atas dasar yang berbeda?
Sesungguhnya ide liberalisme JIL hanyalah salah satu unsur dalam paket
sekulerisme, yang unsur lainnya adalah demokrasi, kapitalisme, dan *last but
not least*: imperialisme. Di sinilah, saya katakan, kawan-kawan di JIL harus
melepaskan belenggu mereka dulu. Dalam bahasa ESQ perlu *zero mind
process*dulu. ***