Tahukah Anda bangsa pengonsumsi bir terbanyak di dunia? Itulah Jerman! Di Munich bahkan setiap bulan Oktober ada Festival Minum Bir (Oktober Fest). Anehnya, meski gemar mabuk, produk industri teknologi Jerman termasuk yang terbaik di dunia. Siapapun tahu kualitas mobil Mercedes atau elektronik dari Siemens. Bayangkan andaikata mereka Muslim dan tidak pernah mabuk, tentu produk mereka tak akan tertandingi.
Lantas apakah di Jerman ada Muslim! Oh banyak. Mereka datang pertama-tama sebagai bagian diplomasi atau hubungan ekonomi antara Jerman dengan Sultan-sultan Utsmani di abad-18. Pada tahun 1745, Frederick II dari Prussia mendirikan suatu korps kaveleri Muslim di tentaranya. Pada tahun 1760 korps yang mayoritas etnis Bosnia ini mencapai 1.000 laki-laki.
Pada 1798 sudah ada kuburan Islam di Berlin. Pada tahun 1900, sudah ada 10.000 Muslim di Jerman. Dalam Perang Dunia I, lebih dari 15.000 Muslim memenuhi penjara-penjara perang di Berlin. Masjid pertama didirikan di Berlin tahun 1915 untuk para tahanan Muslim itu, meskipun kemudian ditutup tahun 1930. Tahun 1932 sudah ada Islam Colloquium sebagai institusi pendidikan untuk anak-anak Muslim Jerman. Ketika Nazi mulai berkuasa, mereka tidak menjadikan Muslim sebagai target, namun Muslim Jerman hidup dalam atmosfer xenofobia dan rasis sebagai non-Arian. Pada akhir Perang Dunia II tinggal ada beberapa ratus Muslim saja di Jerman.
Pasca perang, pemerintah Jerman Barat mengundang pekerja migran (“Gastarbeiter”) untuk ikut membangun lagi Jerman. Dalam dua dekade, jumlah mereka beserta keluarganya menjadi 4,3 juta orang. Dengan populasi Jerman sekitar 83 juta jiwa, maka ini baru sekitar 5 persen. Belum signifikan. Namun menurut TV Jerman, pada tahun 2006 ada lebih dari 4.000 muallaf di Jerman, atau lebih dari 10 orang per hari. Trennya meningkat. Apalagi masyarakat Jerman semakin banyak yang atheis dan malas memiliki anak.
Sementara itu komunitas Muslim seperti membentuk “masyarakat paralel” di Jerman dengan pusat di masjid. Hampir di tiap kota industri di Jerman ada masjid. Sebagian besar sudah berupa masjid utuh dengan menara. Masjid-masjid ini selain untuk tempat ibadah, kantin halal, toko informasi, tempat pendidikan anak-anak, juga asrama sementara bagi Muslim yang belum memiliki tempat tinggal tetap. Kalau Anda bertekad keliling Jerman dan bekalnya dirasa kurang untuk menginap di hotel, anda dapat “mabit” dari masjid ke masjid, insya Allah diterima dengan tangan terbuka. Penulis pernah menginap di masjid Munchen. Masya Allah, yang menginap di situ ternyata lebih dari 100 orang!
Persoalan pelik yang kadang menghantui Muslim di Jerman ada dua: (1) Daerah-daerah yang sangat otonom dalam menerapkan peraturan terhadap minoritas Muslim. Ada beberapa daerah yang melarang menggunakan jilbab di sekolah publik, menyembelih ternak secara Islam atau bahkan mendirikan masjid. (2) Ada Undang-undang yang sangat sensitif terhadap isu anti semit atau anti Yahudi, sehingga setiap khatib atau ustadz yang membacakan ayat yang terkait Yahudi (misalnya QS 2:120, 5:82, dll), di tempat publik bisa-bisa tersandung hukum. Aturan inilah yang membuat HT di Jerman dilarang.
Kondisi ini agak sulit diatasi, karena Muslim di Jerman tidak punya wadah yang satu seperti halnya di Austria. []
Memasuki Ramadhan kali ini membuat saya terkenang kembali pada puasa amat lama yang pernah saya alami 22 tahun yang lalu. Di Innsbruck, sebuah kota kecil yang indah di tengah-tengah pegunungan Alpen Austria, puasa. Ya, Ramadhan 1408 H masuk bertepatan dengan pertengahan April 1988 M. Itu di Innsbruck artinya, fajar menyingsing pukul 4:26 dan maghrib pukul 20:05. Di akhir Ramadhan yang sama dengan pertengahan Mei, fajar pukul 03:16 dan maghrib 20:44.
Apakah di Innsbruck ada Muslim? Alhamdu-lillah banyak! Jumat pertama di Innsbruck saya langsung mencari informasi tentang masjid. Alham-dulillah ketemu, walau mencarinya agak lama. Bayangan semula masjidnya seperti lazimnya masjid di kita. Ada bangunan tersendiri. Ternyata masjid itu ada ruang bawah tanah. Di atasnya sebuah cafe. Jadinya hawa masjid cukup lembab karena kurang sinar matahari. Ini ternyata hal yang wajar di kota-kota di Eropa, di mana harga sewa gedung sangat tinggi.
Sewa? Ya, sebagian besar masjid di Eropa itu statusnya sewa. Maka jangan heran kalau suatu saat bisa pindah. Termasuk masjid yang nama resminya adalah Türkischer Kultur Verein in Innsbruck – atau perkumpulan kebudayaan Turki. Ya, untuk secara resmi menyebut diri “masjid” atau dalam bahasa Jerman “Moschee” kadang-kadang mendapatkan perlawanan dari masyarakat atau pemerintah setem-pat. Alasan utamanya biasanya soal tata ruang. Daerah itu tidak diperuntukkan untuk tempat ibadah, begitu katanya. Mungkin bayangan mereka tempat ibadah itu ya seperti gereja. Namun kalau “kebu-dayaan”, orang biasanya “willkomen”. Padahal dalam Islam, istilah kebudayaan (culture, hadharah) itu menyangkut padangan hidup berikut segala hal yang muncul dari situ. Maka di masjid yang terletak di Meinhardstrasse 8a Innsbruck itu juga ada kantin, kursus bahasa Arab, kursus bahasa Turki, taman kanak-kanak Turki (semacam TPA/TPQ) dan sebagainya. Jadi walaupun letaknya di bawah tanah dan kurang representatif, tapi output-nya maksimal.
Mayoritas jamaah masjid di Austria adalah komunitas Turki yang pasca Perang Dunia ke-2 didatangkan ke Austria terutama untuk bekerja sektor konstruksi. Kini mereka telah memasuki generasi ke-2 atau bahkan ke-3. Anak dan cucu mereka lahir di Austria, lebih fasih bahasa Jerman daripada Turki, bahkan sudah berwarga negara Austria, namun menghadapi kenyataan bahwa mereka tetap tidak diterima 100 persen sebagai orang Austria. Setiap hari nasional Austria (26 Oktober) ada pameran militer, di dada seragam tentara nasional Austria itu banyak ditemukan nama-nama khas Muslim Turki seperti “Mehmet”, “Osman”, “Salim” atau “Fahmy”.
Belakangan saya tahu bahwa di kota Innsbruck yang penduduknya cuma 120.000 orang itu ada dua masjid lagi. Uniknya, dalam satu hari Jumat kita bisa sholat Jumat 3 kali, karena waktu memulai khut-bahnya berbeda. Masjid pertama tepat pukul 13. Masjid kedua pukul 13:20, dan masjid ketiga konsisten pukul 13:40. Mungkin ini untuk memu-dahkan jamaah yang jam istirahatnya berbeda-beda. Biasanya, khutbah sangat pendek, sehingga khutbah dan shalat selesai dalam 15 menit. Kalau ingin mendapat banyak ilmu, datanglah 30 menit sebelum khutbah dimulai. Di situ ada taklim. Ketika pertama kali datang ke masjid di Innsbruck, saya sudah khawatir telat karena sepertinya khutbah telah dimulai. Tetapi saya lalu bingung karena khatibnya duduk, dan jamaah duduknya tidak teratur, bahkan kemudian ada tanya jawab segala. Baru kemudian pukul 13:40, muazzin adzan, jamaah merapikan shaf duduknya, lalu orang yang saya duga khatib tadi baru berdiri dan khutbah sangat singkat. Ini mungkin uslub yang baik juga. Jadi mereka yang waktunya sempit cukup menghadiri bagian ibadah jumat yang wajib saja. Sedang yang waktunya lapang dapat ilmu dengan puas, tidak cuma ngantuk karena khutbah yang membosankan.
Bagaimana mereka mendanai operasional masjidnya? Tidak ada keropak seperti di masjid-masjid Indonesia. Mereka mengedarkan “Erlags-chein”, jamaah langsung transfer via rekening masjid di bank. Ada juga pilihan autodebet, sehingga orang tidak perlu lupa lagi dalam mengisi kas masjid dan masjid selalu optimis ada dana.
Sementara itu, di ibu kota Austria yaitu Wina, yang penduduknya 1,7 juta, ada lebih dari 30 masjid. Kondisi umumnya hampir sama di lantai basemen yang lembab. Tapi ada juga Islamic Center yang megah di tepi sungai Donau. Hanya saja, kalau musim panas, untuk ke masjid ini perlu kuat iman karena di dekat masjid adalah pantai sungai Donau yang orang banyak berjemur nir busana.
Di Austria Islam cukup bebas. Guru-guru agama Islam yang mengajar di sekolah-sekolah umum digaji oleh negara. Setiap siswa yang beragama Islam berhak mendapatkan pendidikan agama Islam. Kadang-kadang kalau di sekolah itu cuma satu-dua orang, digabung dengan sekolah lain. Ini berkat upaya Austrian Moslem Society, yang dalam Undang-Undang di Austria dianggap mewakili masyarakat Muslim Austria. Kedudukan organisasi ini cukup kuat, sampai-sampai bisa intervensi ke militer dan penjara, agar semua tentara atau napi yang muslim men-dapatkan hak-haknya seperti makanan yang halal atau waktu untuk shalat.
Berbagai harakah Islam juga bebas bergerak di Austria. Siaran televisi publik ORF juga kerap meliput aktivitas atau mengadakan wawancara dalam ber-bagai tema. Seorang syabab Hizbut Tahrir di Austria bahkan mengelola sebuah mushala di kampus dan sering menjadi rujukan kalau siswa-siswi sekolah menengah di Wina ingin mengenal Islam lebih dekat.
Memang tidak semua orang Austria bahagia dengan pertumbuhan Islam di Austria. Meski jumlahnya ditaksir masih di bawah 300.000 orang (4,2 persen jumlah penduduk), tapi di tengah masyarakat Katholik yang makin banyak menjadi atheis serta gereja-gereja yang kosong, tren Muslim ini dianggap mengkhawatirkan.
Apalagi ketika ada isu seperti di Timur Tengah lalu komunitas Muslim Austria melakukan aksi turun ke jalan. Gema takbir di jalan-jalan Austria membang-kitkan rasa gentar di dada penduduk asli yang mengenal sejarah Austria di masa lalu. Tahun 1525 dan 1683 pasukan Khilafah Utsmani sudah menge-pung di luar benteng kota Wina. Dan apa kata-kata Sultan Sulaiman al-Qanuni saat itu: “Tanah yang sudah diinjak oleh kuda Sultan, adalah bumi Islam!”.[]
Dr. Fahmi Amhar
Apa yang anda pikirkan tentang kincir angin? Energi alternatif, yang bersih dan terbarukan? Negeri Belanda nan elok yang dijuluki Negeri Kincir Angin, karena sejak berabad-abad telah secara massif menggunakan kincir angin baik untuk menggiling gandum maupun untuk memompa air demi mengeringkan negerinya yang lebih rendah dari laut? Apapun yang anda pilih, bila anda menyangka Negeri Belanda adalah negeri kincir angin pertama, boleh jadi anda keliru.
Yang benar, negeri kincir angin pertama-tama pastilah suatu wilayah dalam Daulah Khilafah. Daulah Khilafah memiliki banyak wilayah yang kering, di mana air saja cukup langka, apalagi sungai yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Karena itu, di daerah yang kekurangan air tetapi memiliki angin yang stabil, kincir angin dapat dikembangkan sebagai alternatif sumber energi untuk industri. Pengembangan teknologi kincir angin dimuat jelas dalam Kitab al-Hiyal karya Banu Musa bersaudara. Dan kincir angin pertama kali digunakan di propinsi Sistan, Iran timur sebagaimana dicatat oleh geografer Istakhri pada abad ke-9 M. Jadi masuk akal bila Sejarawan Joseph Needham menulis, “sejarah kincir angin benar-benar diawali oleh kebudayaan Islam” (Joseph Needham, 1986. Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 2, Mechanical Engineering. Taipei: Caves Books Ltd. Vol 4).
Kincir angin pertama memiliki sumbu vertikal dan terbuat dari enam hingga duabelas layar yang terbuat dari textil dan dipakai untuk menggiling biji-bijian atau menaikkan air, dan bentuknya agak berbeda dari yang belakangan dipakai di Eropa. Deskripsi rinci alat ini terdapat pada Kitab Nukhbat al-Dahr karya Al-Dimasyqi, ditulis sekitar 700 H / 1300 M. Dari sini dapat diketahui bahwa pada saat itu sudah terdapat kincir angin bersumbu horizontal yang dikelilingi dinding-dinding penahan angin kecuali pada satu sisi. Kincir angin ini mulai dipakai di Mesir untuk menggiling tebu dan akhirnya dipakai meluas di seluruh wilayah khilafah pada abad ke-12 M dan mencapai Eropa melalui Spanyol (Kaveh Farrokh, 2007, Shadows in the Desert, Osprey Publishing)
Di Eropa, bentuk kincir angin lambat laun dimodifikasi sehingga memungkinkan kincir untuk menyesuaikan arah hadapnya dengan arah angin yang di Eropa Utara sering berubah-ubah sehingga dapat beroperasi lebih ekonomis. Rancangan dasarnya digambarkan besar-besar di buku Machinae Novae (Mesin-mesin Baru) dari tahun 1615 karya uskup sekaligus insinyur Fauntus Verantius. Needham berpikir bahwa “hal ini jelas merupakan penyebaran ke arah barat dari kebudayaan Iberia yang dulunya berasal dari Spanyol Muslim”.
Adanya kincir angin di Tarrragona, Spanyol selama masa pemerintahan Islam dituliskan oleh para penulis Muslim, misalnya dalam Kitab al-Rawd al Mi’tar (Kitab Taman yang Haram) karya al-Himyari pada tahun 661 H / 1262 M.
Beberapa pihak mengasumsikan bahwa kincir-kincir angin di Eropa adalah temuan asli Eropa. Namun yang jelas kemunculan kincir angin di Eropa adalah lebih lambat beberapa abad dari pada di dunia Islam.
Dengan datangnya revolusi industri, nilai penting kincir angin sebagai sumber energi primer untuk industri lambat laun tergeser oleh mesin uap atau mesin berbahan bakar fosil, kecuali di tempat-tempat yang memang terisolasi atau terpencil.
Namun demikian, krisis energi akhir-akhir ini menjadi momentum kebangkitan kembali kincir angin. Kincir angin modern dihubungkan dengan generator dan disebut “generator angin”. Satu generator angin terbesar sanggup menghasilkan listrik 6 MW (bandingkan dengan satu generator uap besar yang mampu menghasilkan listrik antara 500 sampai 1300 MW). Kebangkitan energi angin ini seharusnya juga terjadi di wilayah Daulah Khilafah yang dulu pernah memiliki kincir angin terbanyak di dunia.