Apakah Anda punya pendapat stereotip tentang PNS?
Misalnya “PNS itu pemalas”, “PNS itu bergaji kecil”, “PNS itu enak, gaji kecil tapi sabetan banyak” dsb.
Apakah Anda sendiri, anggota keluarga Anda atau teman baik Anda PNS?
Stereotip tadi tidak salah-salah amat, tetapi juga tidak benar 100%. Sewaktu kecil dulu saya juga tidak bercita-cita jadi PNS. Orang tua saya pedagang & guru ngaji partikelir. Penghasilannya memang tidak teratur seperti PNS, tetapi totalnya lebih besar. Saya pernah punya cita-cita jadi pengusaha berbasis teknologi. Tapi nasib mengharuskan saya mengambil ikatan dinas agar bisa dapat beasiswa ke luar negeri. Dan jadilah saya PNS sejak Februari 1987, dimulai dengan modal ijazah SMA dan pangkat II/a. Tujuh tahun kemudian (1994), ketika saya sudah mengantongi ijazah yang disamakan dengan S1, pangkat saya dinaikkan menjadi III/a. Dan empat tahun sesudahnya (1998), dengan ijazah S3, pangkat saya dinaikkan menjadi III/b. Kemudian saya mengajukan diri menjadi fungsional peneliti. Tahun 1998, ijazah Doktor dan sejumlah paper saya cukup untuk menjadi “Ajun Peneliti Muda” (atau sekarang istilahnya “Peneliti Muda III/c”). Karena jabatan peneliti saya lebih tinggi dari pangkat saya, maka saya mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan 2 tahun, sehingga tahun 2000 pangkat saya menjadi III/c juga. Demikian seterusnya, dan tahun 2007 jabatan peneliti saya sudah “Peneliti Utama IV/e”, sehingga setiap dua tahun saya otomatis mendapat Kenaikan Pangkat Pilihan. Jadi tahun 2012 saya sudah mencapai pangkat tertinggi IV/e. Pangkat saya bahkan lebih tinggi dari pangkat Kepala Lembaga … 🙂
Tetapi meski demikian, saya belum dapat dikatakan mengumpulkan semua pengalaman PNS. Saya memang pernah menjadi pejabat fungsional (sebagai peneliti), pejabat struktural (kepala Balai/eselon-3, pelaksana harian kepala Pusat/eselon-2), surveyor, widyaiswara luar biasa, panitia seminar & pameran, penulis pidato pimpinan, penilai prakualifikasi, pembuat spesifikasi & RSNI, pembuat RUU, RPP, dan Raperka, pembuat Harga Satuan Pokok Kegiatan (HSPK), koordinator supervisi, sekretaris pokja penanggulangan bencana, anggota tim seleksi CPNS, anggota tim reformasi birokrasi, dsb. Tetapi saya belum pernah – dan pernah menolak – untuk dijadikan Pimpro (atau sekarang disebut “Pejabat Pembuat Komitmen”). Saya cuma menjadi pengamat “yang sangat dekat dengan objek” … 🙂 (more…)
Konon, dalam soal finansial, manusia itu pasti jatuh di setidaknya salah satu dari 4 kuadran: menjadi karyawan (employee), menjadi karyawan sendiri (self-employee), menjadi pengusaha, atau menjadi investor.
Sebagian besar orang jadi employee, dengan grade dari buruh tani, sopir angkot milik orang, sampai PNS, karyawan swasta, hingga yang pangkat tertinggi seperti Dirjen atau Presdir. Semuanya employee. Ada majikannya. Ada gajinya. Dan suatu saat akan dipensiun atau dipecat. Sebagian besar lagi jadi self-employee, dengan grade dari tukang ojeg, pedagang asongan, tukang pijat, hingga penulis, artis, arsitek, dokter, programmer freelance, atau pengacara. Cuma sedikit yang bisa jadi pengusaha. Mereka inilah yang mencari penghasilan dengan membangun sistem bisnis dengan menggerakkan modal dan tenaga orang lain, sehingga kalau sudah running, bisa punya passive income.
Yang mau loncat mendapatkan passive income biasanya adalah investor. Mereka tidak punya waktu, skill dan kesabaran untuk membangun sebuah sistem bisnis. Sebagian dari mereka notabene employee atau selfemployee yang punya sedikit atau banyak kelebihan uang. Mereka akan menyerahkan modalnya ke pengusaha, kemudian menunggu bagi hasil. Sebagian kecil investor ini akhirnya mendapatkan bagi hasil yang lumayan, sebagian besar mendapatkan bagi hasil tetapi hanya sedikit lebih besar di atas bunga deposito, dan sebagian besar lagi kecele, investasinya berkurang atau bahkan raib sama sekali. Sebagian karena investasi di tempat yang salah, sebagian karena ditipu mentah-mentah.
Sebagain peneliti dan dosen, saya seorang employee. Sebagai PNS majikannya adalah pemerintah. Sebagai dosen tidak tetap, majikannya berganti-ganti, kadang perguruan tinggi negeri A, kadang juga perguruan tinggi swasta B, dsb.
Sebagai penulis buku, saya seorang self-employee. Alhamdulillah, buku saya laku, bahkan cukup laris. Kalau itu saya terbitkan sendiri, mungkin saya juga pengusaha, walaupun tidak full-time. Di Indonesia, ada aturan PNS tidak boleh bisnis. Ada perkecualian untuk guru atau dokter. Selain itu harus minta ijin Menteri Keuangan. Wuiih … Tapi tanpa diijinkan saja, sekarang banyak PNS bisnis tidak resmi, pakai nama istri, anak, keluarga besar dsb. Bisnisnya masuk jadi rekanan kantor, atau jadi calo proyek, dan hasilnya banyak pengadaan barang dan jasa yang tidak objektif lagi.
Tetapi kalau jadi investor, sepertinya semua orang bisa dan boleh. Asal ada uang. Banyak atau sedikit relatif, tergantung invest di bisnis apa.
Paling gampang invest di properti, khususnya tempat kos-kosan. Syaratnya: tempatnya dekat dengan perkantoran atau kampus. Pangsanya, pegawai kantoran kelas menengah, atau mahasiswa yang cukup berduit. Dari mana tahunya? Makin mahal sekolahnya (misalnya Kedokteran, atau FE sekolah swata yang bergengsi) biasanya makin tebal koceknya. Tetapi biasanya lokasi strategis untuk kos-kosan seperti ini sudah habis. Kalau ada yang menawarkan take-over, sudah mahal sekali. Coba kalkulasinya begini: tempat kos-kosan dengan 20 pintu, lokasi strategis, kamar mandi di dalam, ada tempat parkir, bisa ditawarkan pada kisaran harga Rp. 1 Milyar. Kalau ini disewakan per pintu Rp. 500.000/bulan, dan full-occupied, maka penghasilan tahunan adalah Rp. 120 juta. Maka dengan mengabaikan inflasi, Break Event Poin baru terjadi setelah 9 tahun. Kalau kita mau tambah invest furniture dan pasang AC misalnya (otomatis juga naikin daya PLN), maka kamar bisa disewakan Rp. 1 juta/bulan atau bahkan lebih. Jadi BEP bisa lebih singkat. Mau lebih asyik lagi, buka sekalian layanan catering atau laundry. Kita upah saja satu keluarga muda untuk maintainance kos-kosan tadi, sambil melayani laundry dan catering itu. Tapi sekali lagi, lokasi harus strategis dan pangsa pasar yang baik. Kalau dapatnya mahasiswa yang suka berkelahi, mabuk, atau bahkan narkoba, alamak! Habis sudah reputasinya. Bukan cuma uang kos yang jadi susah ditarik, tetapi juga penghuninya lama-lama bisa habis.
Banyak orang yang jualan training motivasi bisnis atau sedang menjaring investor, hanya bercerita KISAH SUKSES. Padahal di dunia bisnis dapat dikatakan, untuk 1 kisah sukses, ada 10 kisah “gak jelas” (sukses belum, dibilang gagal juga tidak) dan 100 KISAH GAGAL. Tetapi kisah gagal ini jarang sekali ditulis untuk ditarik pelajaran. Makanya kegagalan yang sama terus saja terulang. Di tulisan ini saya akan sedikit menunjukkan kisah-kisah gagal. Walaupun secara keseluruhan saya tidak gagal. Saya mendapat banyak ilmu, banyak teman, dan alhamdulillah, zakat maal saya dari tahun ke tahun ternyata terus meningkat, meskipun gaji saya sebagai PNS ya tetap segitu-segitu saja 🙂
Saya pernah mencoba invest pada rekan yang dapat proyek renovasi pasar. Saya cuma ikutan 4 kios. Semula sangat menjanjikan. Tetapi ternyata lama-lama bermasalah juga. Masalahnya ada yang terletak pada teenant (penghuni kios). Ternyata ada penghuni yang merasa harga kios itu terlalu tinggi, dan menolak mencicilnya di atas harga yang menurutnya masih wajar, meskipun kami masih sedikit untung. Dan di pasar itu, kadang-kadang yang berlaku logika kekuatan, bukan kekuatan logika, sehingga rekan saya yang menjadi principal dalam proyek renovasi itupun akhirnya keder juga (gak berani nagih). Pada saat yang sama – dasar orang pasar – rekan saya tadi tiba-tiba tertarik ke proyek lain, sehingga uang saya yang masih dipegangnya langsung dipinjam untuk diinvestkan ke sana, tanpa konsultasi dulu. Ternyata proyek lain itu macet. Untuk mendapatkan kembali uang saya, saya harus melalui perjuangan yang cukup alot, karena rekan saya itu ternyata tidak takut sama hukum yang katanya buatan manusia. Saya terpaksa memakai jurus, bahwa saya akan mengadukannya kepada Tuhan, karena saya merasa didholiminya. Akhirnya setelah molor beberapa tahun, rekan saya itu akhirnya mengembalikan uang saya yang dipinjamnya. Kalau dalam Rupiah akhirnya balik modal sih, dari Rp. 50 juta, balik Rp. 53 juta, tapi kalau dihitung inflasi ya tetap saja tekor.
Itu pelajaran pertama jadi investor cerdas: jangan mau uang bagi hasil dipinjam oleh pengelola.
Lalu saya mencoba invest warung sembako. Ada teman yang pernah menjadi karyawan toko sembako milik orang. Dia sudah kenal baik bisnis ini. Nah, pada skema investasi ini, dia jadi pengelolanya. Ternyata setelah jalan lumayan juga. Investor dapat rata-rata Rp 2 juta per bulan dari modal Rp. 25 juta. Saya bisa memperkirakan, bahwa pengelola yang nisbahnya lebih tinggi, pasti dapat hasil yang juga lumayan saat itu. Tapi suatu hari, rupanya dia tergoda untuk menjadi employee. Mungkin karena merasa, ijazah S1-nya lebih terhargai, daripada jualan sembako yang tidak perlu ijazah. Sekalipun gaji sebagai employee itu tidak sebesar penghasilan sebagai pengusaha. Atau dia optimis bisa disambi. Warung itu akhirnya dia serahkan pengelolaan hariannya ke iparnya. Tapi rupanya iparnya tidak punya passion sebagai pengusaha. Kinerja mulai turun. Tapi dia rupanya juga tidak tega untuk memecat iparnya. Takut mengganggu hubungan keluarga. Akhirnya, di tangan iparnya itu warung semakin surut, sampai akhirnya bubar. Hampir sama dengan pelajaran pertama. Dari Rp. 25 juta, balik Rp. 28 juta setelah bertahun-tahun … sehingga kalau dihitung inflasi tetap tekor juga.
Ini pelajaran kedua: jangan ijinkan pengelola men-sub-kan tanggungjawabnya sebagai pengelola.
Kemudian saya ditawari invest wartel & warnet. Awal tahun 2000-an, bisnis itu masih lumayan, karena pemilik Handphone belum sebanyak sekarang, dan belum banyak HP yang bisa dipakai internetan. Tapi ini bisnis yang praktis paling gelap yang pernah saya alami. Rp. 50 juta nyaris tidak kembali. Sebenarnya mitra saya ini orang yang amanah, bahkan ustadz. Tapi mungkin saking bersihnya hatinya, dia tidak curiga apa-apa ketika pesan komputer untuk warnet itu ke seseorang yang ternyata penipu. Bahkan saking percayanya, ketika setor uang dia tidak minta tanda terima! — sampai akhirnya ternyata komputer itu tidak pernah dikirim. Saya cuma bisa istighfar. Akhirnya cuma yang wartel yang jalan. Tentu saja, overhead menjadi tidak efisien. Dan setelah jalan kurang lebih setahun, akhirnya semua ditutup. Bisnis ini sudah digilas oleh teknologi Handphone yang makin murah. Belakangan masih ada orang lain yang menyangka bisnis warnet masih menjanjikan dan mengajak invest. Tapi saya sudah terlanjur mendengar, di banyak tempat lain ada saja investor warnet yang menderita kerugian yang lebih besar. Dari kasus ini saya mendapat sekaligus dua pelajaran:
Pelajaran ketiga: masukkan dalam klausul aqad, bahwa investor menanggung kerugian bisnis, tapi bukan kelalaian pengelola yang tidak menjalankan praktek bisnis yang standar – misalnya setiap transaksi non tunai, wajib ditulis dan disaksikan!
Pelajaran keempat: hati-hati bila masuk ke bisnis yang sangat dipengaruhi perkembangan teknologi.
Petualangan investasi saya berlanjut pada investasi karya cipta. Ada dua mitra. Yang satu mengajak invest pada buku yang akan ditulisnya. Teorinya, buku itu kalau sudah terbit, royaltinya akan lumayan. Sedang yang kedua invest untuk membuat VCD keislaman.
Pada proyek buku, nilai investasinya akan dipakai oleh sang penulis untuk pengadaan seperangkat komputer dan biaya hidup dia selama fokus menulis. Hasilnya memang buku yang saya nilai sangat bagus dan menarik. Tetapi rupanya logika penerbit bisa berbeda. Meski buku-buku itu diterbitkan oleh sebuah penerbit nasional yang besar, tetapi rupanya di toko buku ditaruh pada rak yang kurang tepat, sehingga tidak selaris yang diharapkan. Royalti 10% dari harga buku yang sekitar Rp. 30.000, kalau dikalikan oplag yang lazimnya di penerbit itu 5000 exemplar, mestinya cukup untuk balik modal. Tapi mungkin memang penjualan tidak sampai sebanyak itu. Faktanya kita juga tidak bisa mengontrol benar tidaknya laporan penerbit. Atau mungkin di lapangan, buku itu dibajak habis-habisan oleh mereka yang tanpa pandang bulu berprinsip “Tidak ada copyright dalam Islam” – walaupun itu berarti mendholimi penulis dan investornya. Pada bisnis ini modal hanya balik kurang dari 40%. Sisanya saya niatkan di-shadaqahkan saja, tapi boleh tidak ya men-shadaqahkan sesuatu yang belum di tangan? Ah, biarlah, yang jelas buku itu semoga bermanfaat luas.
Pelajaran kelima: kalau bisnis karya cipta, lebih baik terbitkan dan distribusikan sendiri, serta siap-siap mengantisipasi pembajakan.
Pada proyek VCD, risiko pembajakan bisa lebih besar lagi. Karena itu distribusi harus lebih cepat lagi, agar sudah balik modal sebelum VCD dibajak orang habis-habisan. Alhamdulillah, di sini mitra saya memang kafa’ah dan amanah. Ini salah satu investasi saya yang cukup menguntungkan. Sampai suatu saat, ada orang yang merasa keberatan dengan salah satu isi VCD tersebut. Dia protes pada jama’ah tempat mitra saya bernaung. Jama’ah meminta mitra saya mengedit bagian VCD itu. Mitra saya rupanya bertahan, karena menurut persepsinya, isinya sudah benar. Karena deadlock itu, jama’ahnya kemudian melarang VCD yang belum diedit itu beredar. Mitra saya membalas dengan keluar dari jama’ah itu, berhenti membuat VCD, dan akhirnya investasi saya di bidang ini juga berhenti.
Pelajaran keenam: untuk karya cipta, cari mitra yang flexible, bersedia untuk memperbaiki apa yang bisa menghambat bisnis.
Kemudian ada tawaran investasi di suatu lembaga pendidikan. Lembaga ini cukup memiliki nama nasional, dan cabangnya yang didirikan dengan sistem waralaba ada di mana-mana. Ada teman yang sudah kerja di sana, dan diajak mendirikan waralaba baru. Saya diajak. Ternyata biaya investasi totalnya cukup besar, sehingga total investasi saya yang terasa sudah cukup besar itu nilainya hanya 10% ! Pada tahun-tahun pertama bagi hasil bagus. Tetapi kemudian, konon pemilik merk mulai mengobral waralabanya. Dari semula di satu kecamatan cuma boleh ada 1 waralaba, kemudian jadi seperti tidak dibatasi. Akhirnya terjadi over-kompetisi antar cabang, padahal merk yang sama. Akibatnya bagi hasil semakin kecil. Dulu setahun bisa bagi hasil tiga kali, tetapi kini tinggal sekali. Kondisi ini diperparah, karena pengelola cabang adalah juga pemodal yang memiliki saham sendirian lebih dari 60%, sehingga apa-apa nyaris bisa dia putuskan sendiri. Pemodal yang lain kadang merasa dilewati begitu saja. Bahkan laporan keuangan saja sudah lama tidak diberikan. Setelah bertahun-tahun memang modal Rupiah sudah balik , laba bahkan sudah lebih besar dari bunga deposito atau inflasi, tetapi kalau diukur dengan harga emas, ternyata masih belum balik modal. Kalau mau keluar juga ternyata nilai modal kita sudah susut cukup jauh, tinggal setengahnya. Jadi buah simalakama.
Pelajaran ketujuh: kalau pengelola sekaligus juga pemodal yang dominan, akan susah mengawasinya.
Menjadi investor memang tidak mudah, terlebih kalau bidang investasinya tidak terlalu diketahuinya. Lha yang diketahui dengan baik saja belum tentu beres. Saya pernah diajak invest di bidang kuliner. Sebenarnya kuliner termasuk yang tidak canggih-canggih amat, banyak ditulis di media bisnis, dan ada satu-dua tetangga atau famili kita yang punya pengalaman di bidang ini. Pendapatan kotor hariannya ada di kisaran 100% dari modal bahan harian. Kalau punya tempat, modal tidak usah besar. Itulah yang saya pegang. Tetapi setelah berjalan setahun (setahun adalah waktu minimal untuk kita mengevaluasi, apakah investasi kita berjalan sehat atau tidak), saya cuma bisa “meringis”. Pengelolanya rupanya secara simultan mengelola berbagai jenis usaha, dan sepertinya ada bisnis lain yang lebih “joss”, sehingga bisnis kuliner ini dipegang sambil lalu. Indikator pertama tampak dari laporan yang tidak pernah tepat waktu. Kedua tampak dari rasio pendapatan kotor harian pada modal harian yang jauh dari kenormalan sebuah bisnis kuliner. Kalau yang jadi alasan adalah faktor cuaca dan SDM, saya hanya bisa memahami kalau terjadi sebulan dua bulan. Tapi ini konstan selama setahun. Pasti karena salah kelola. Boleh saja sih pengelola memegang berbagai jenis bisnis sekaligus, asalkan sudah punya sistem yang running, dan punya SDM yang mantap. Tetapi kalau akuntansi standar saja baru belajar, dan SDM asal comot dengan training ala kadarnya, wah udah dech. Yang bikin “nyesek” itu, setiap beberapa bulan, dia mengaku sudah harus menalangi kerugian dengan dana pribadi, dan minta ganti ke investor, karena menurutnya, “kerugian kan ditanggung pemodal”. Jumlahnya cukup besar. Akhirnya beberapa kali saya terpaksa menambah modal, yang trend menurut laporan keuangannya berkecenderungan bakal tidak balik. Tetapi kalau talangan dana pribadinya itu dikonversi jadi modal, lama-lama seluruh usaha akan diambil-alih olehnya. Padahal kita tidak pernah bisa verifikasi, sebenar apakah yang dia bilang “rugi” itu, otomatis sebenar apakah dia telah “menalangi”. Bisnis memang jadi susah kalau trust tidak dijaga dengan baik.
Pelajaran kedelapan: pengelola silakan mengurus berbagai jenis bisnis, asal sudah ada sistem yang running dan SDM yang mantap.
Tetapi ada yang lebih konyol lagi. Ada lulusan D3 perikanan sebuah kampus pertanian top negeri ini yang membuat proposal bisnis budidaya lele. Ini saya kira proyek yang sangat tidak canggih, tetapi bakal dipegang ahlinya. Saya tidak ragu-ragu untuk invest. Ada dua orang yang invest di dua proyek yang berbeda. Yang seorang (si A) dengan aqad mudharabah (bagi hasil), yang seorang (si B) dengan aqad murabahah (membeli barang modal secara cicilan, jadi saya membelikan seluruhnya lalu dia mulai mencicil ke saya dengan harga setelah dimarkup).
Perkembangannya, setelah beberapa bulan, si-A tiba-tiba melaporkan bahwa dia akan menutup usahanya. Dia mengembalikan modal saya ditambah bagi hasil. Jadi lumayanlah. Tetapi info yang belum saya verfikiasi (karena si A ini ada jauh di tempat lain), sebenarnya usahanya jalan terus, hasilnya bagus, tetapi dia memang tidak ingin berbagi dengan orang lain. Jadi setelah bagi hasilnya lebih tinggi dari modal, dia kembalikan, seolah-olah itu utang. Padahal mestinya saya kan dapat bagi hasil terus selama proyek itu masih jalan.
Pelajaran kesembilan: hati-hati dengan mereka yang kalau untung, merasa sudah cukup bila bagi hasilnya sedikit lebih tinggi dari bunga deposito, atau bahkan mengkonversi mudharabah jadi seakan-akan aqad utang.
Sedang perkembangan si B, rupanya diam-diam punya masalah dengan tempat kontrakannya. Dia pindah dua kali, sambil membawa seluruh proyek lele itu. Ternyata ilmu teknisnya tidak diimbangi dengan sikap gentle, berterus terang baik kepada orang yang dikontraknya maupun kreditornya. Ketika ada masalah lagi, dia bahkan lari bersembunyi ke desa asalnya ! Anggota keluarganya yang pernah memberi jaminan pribadi kepada saya sampai malu dan berkali-kali minta maaf atas kelakuannya. Tapi ya sekedar minta maaf saja, karena mengganti uangpun dia tidak sanggup, padahal di sini aqadnya murabahah. Jadi kalau si B rugi, itu bukan tanggung jawab saya, tetap saja barang saya harus dia bayar.
Pelajaran kesepuluh: hati-hati juga dengan mereka yang kalau rugi, ingin mengkonversi aqad murabahah jadi aqad mudharabah, sehingga tiba-tiba kreditornya harus ikut menanggung kerugiannya.
Bicara soal berbagai jenis aqad syari’ah seperti wadiah (titipan), murabahah (pembelian dengan cicilan), mudharabah (pemodalan) dan musyarakah (joint-venture), saya pernah juga invest pada suatu lembaga pembiayaan syari’ah. Motivasinya sip, menghindarkan ummat dari riba dan aqad-aqad bathil lainnya. Aqad mu’amalah yang bathil itu banyak, tidak cuma riba. Di beberapa bank syari’ah, sebagian aqad-aqad bathil ini juga masih ada. Mungkin yang salah bukan fatwa DSN-MUI, tetapi bagaimana mencocokkan fakta apa yang mau dihukumi dengan fatwa yang mana. Seharusnya syari’ah itu menjadi solusi yang tepat untuk problema yang tepat. Nah untuk memberi jalan keluar, maka didirikanlah suatu lembaga pembiayaan dengan niat pertama 100% syari’ah. Ada tiga orang yang bersama-sama menjadi pengelola. Jumlah investor yang berhasil dihimpun cukup banyak, dan akhirnya lembaga ini bisa running. Dalam kenyataannya, karena dana yang terkumpul tidak sampai hitungan M, maka yang bisa dibiayai juga baru kecil-kecilan saja, seperti beli laptop atau beli motor. Skema yang dipakai nyaris hanya murabahah, dan yang dibiayai baru objek yang cicilannya maksimum 2 tahun. Lebih dari itu kata orang Sunda lieur (capek) … Realitanya, bagi hasil cukup lumayan. Tetapi beberapa tahun kemudian terasa mulai ada masalah. Ternyata tiga pengelola ini mulai kurang kompak. Ada persoalan perbedaan waktu yang diluangkan, yang sebenarnya sudah diantisipasi dengan pembagian profit di antara mereka yang tidak sama, juga karena ada yang dianggap memiliki jasa di masa lalu (intangible asset) yang lebih besar. Kemudian muncul juga beberapa perbedaan pemahaman fiqih, misalnya salah satu berpendapat bahwa memiliki rekening di bank konvensional itu haram sama sekali. Akibatnya, beberapa debitor menjadi kesulitan dalam mencicil, karena rekening banknya yang dibuatkan oleh perusahaan tempatnya bekerja, adalah bank konvensional. Akhirnya, usaha yang sebenarnya punya potensi cukup bagus ini bubar. Yang repot, ketika berhenti, tidak otomatis urusan selesai, karena masih banyak uang investor yang sedang beredar di nasabah. Ini juga salah satu perbedaan bisnis keuangan dengan bisnis yang lain. Dua dari tiga pengelola sepakat membentuk lembaga baru, sambil mengurus pengembalian investasi lama, mereka mengajak investasi di lembaga baru. Tapi sepertinya tidak semua investor tertarik.
Pelajaran kesebelas: Untuk mengelola bisnis keuangan syari’ah, tidak cukup hanya bermodal ghirah Islam yang tinggi, tetapi perlu juga pemahaman proses bisnis sebuah lembaga keuangan yang lengkap, dan wawasan fiqih yang tepat untuk itu.
Sepertinya pengembaraan saya sebagai investor di belantara bisnis belum akan berakhir. Selangkah demi selangkah saya mendapat banyak pelajaran. Kadang-kadang memang uang belajarnya cukup mahal. Saya mencoba mempercepat proses belajar itu, selain dengan mendengar dari mereka yang sudah lebih dulu jatuh bangun, membaca kisah-kisah sukses (dan tentunya juga kisah gagal – karena ini jarang sekali ditulis, maka saya tulis di sini), juga dengan mengamalkan pasal 280 Kitab Undang-Undang Sapi Betina he he … maksudnya ayat 280 QS Al-Baqarah: “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. 2:280)”. Saya merasa, dengan mengamalkan ayat ini, maka uang saya yang sepertinya telah hilang, itu justru kembali dan abadi. Dan mereka yang berhutang itu, mungkin suatu saat akan bisa membayar utangnya, tetapi nilainya, setelah disedekahkan, tidak akan bisa mereka bayar lagi sampai kapanpun.
Setiap ada mantan mitra saya berikan pembebasan berdasarkan ayat itu, saya katakan padanya, agar kalau suatu saat dia sudah sukses berbisnis, jangan lupa sisihkan keuntungannya untuk membantu teman-teman lain pengemban dakwah yang sedang belajar berbisnis. Alhamdulillah beberapa di antara mereka setelah sekian tahun ternyata sukses, walaupun ternyata jenis bisnisnya itu berbeda dengan yang dulu diia coba bersama saya.
Sebenarnya indikator investasi yang sehat itu tidak sulit: “bisnis sehat – cashflow sehat”. Kalau cashflow berdarah-darah, pasti tidak sehat. Tinggal dilihat, tidak sehatnya itu karena “pola makan yang tidak sehat” (dalam arti kelemahan pengelola), atau “cuaca yang sedang tidak bersahabat” (dalam arti kondisi external seperti pasar, kompetitor atau regulasi pemerintah), atau “ada penyakit genetis” (proses bisnisnya sendiri ada masalah, bisa syar’i, bisa teknologi, dll). Tapi yang repot itu kalau pengelolanya memang cari penyakit (misalnya melakukan “perselingkuhan bisnis”).
Secara keseluruhan, dari berbagai cabang investasi yang pernah saya ikuti, dapat dibilang saya tidak rugi dalam Rupiah. Bahkan alhamdulillah, zakat maal saya naik terus! Kerugian di salah satu investasi, ternyata terkompensasi di investasi yang lain. Benar juga nasehat “jangan taruh seluruh telor di satu keranjang”. Tetapi memang secara keseluruhan, investasi baru menghasilkan sedikit di atas bunga deposito. Masih terlalu kecil untuk ukuran bisnis sektor real. Masih kalah dengan inflasi. Apalagi bila dihitung dengan standar emas. Kadang-kadang terpikir juga, “mending uangnya dibelikan emas saja, disimpan saja, toh harganya naik terus, sekalipun tiap tahun dikeluarin zakat, tetap saja perolehannya lebih besar”. Tapi kalau seperti ini, saya tidak dapat ilmu, tidak tambah sahabat, juga tidak memberdayakan ekonomi, tidak membuka lapangan kerja, tidak menjadi jalan rezeki banyak orang, dsb
Jalan untuk menjadi pengusaha memang tidak mulus. Menjadi investorpun juga tidak mulus. Apalagi menjadi investor yang cerdas. Ini baik di skala pribadi maupun skala negara. Jangan heran, banyak BUMN merugi, atau sumbangannya pada APBN amit-amit kecilnya, karena negara sebagai investornya kurang cerdas. Tapi tidak perlu heran, karena memang banyak orang yang malas mengikuti proses seperti ini, akhirnya terjebak pada investasi yang tidak syar’i, atau investasi bodong yang penuh tipu daya, yang meski di luar dibungkus dengan embel-embel syariah, bahkan aktornya konon juga pejuang syariah, tetapi investor yang sudah cerdas akan segera mengenali, bahwa bisnis semacam itu penuh kejanggalan. Alhamdulillah, sedikit pengalaman saya di atas mampu melindungi saya dari beberapa kali tawaran investasi abal-abal seperti itu. Alhamdulillah.
Intangible Asset adalah aktiva tidak berwujud yang didefinisikan atau diidentifikasi sebagai aset non-moneter yang tidak dapat dilihat, disentuh atau diukur secara fisik, tetapi diciptakan melalui waktu dan usaha.
Ada dua jenis bentuk utama:
1. bersifat hukum (seperti rahasia dagang (misal daftar pelanggan), paten, copyright, dan merek)
2. bersifat kompetitif (seperti pengalaman, kegiatan kolaborasi, reputasi, budaya organisasi, dan kepuasan pelanggan).
Menghitung asset tak berwujud tidak semudah menghitung asset berwujud. Perlu banyak sekali asumsi dan model.
Model pertama misalnya, asset tak berwujud itu dihitung dari metode perolehan.
Biaya paten, copyright atau merk bisa diketahui secara langsung karena ada daftar tarifnya dari Kantor HAKI. Tetapi riset atau usaha sebelum ada sesuatu yang bisa dipatenkan dsb itu lah yang harus diasumsikan. Kalau riset untuk sebuah model mesin yang lebih efisien perlu 1 tahun, dan dilakukan oleh 5 peneliti, maka bisa diasumsikan berapa gaji peneliti, alat, dan bahan yang diperlukan sampai mesin itu layak paten. Mungkin kalau gajinya rata-rata sekitar Rp. 10 juta/bulan, maka dapat diasumsikan, riset itu akan memakan biaya Rp 10 jt x 5 orang x 12 bulan = Rp. 600 juta. Ditambah dengan alat dan bahan yang dipakai selama eksperimen dan fase prototype, maka kira-kira habis biaya Rp. 1 Milyar. Jadi inilah nilai paten tersebut dari sisi metode perolehan. Hal yang sama juga untuk sebuah pembuatan software, yang nanti produknya bisa dijual secara eceran pada lisensi copyrightnya.
Tetapi untuk merek atau rahasia dagang tentu menghitung nilai dengan metode perolehan ini agak susah. Nilai merek dan rahasia dagang itu diperoleh nyaris sejak perusahaan itu berdiri. Kalau perusahaan itu telah berusia 10 tahun, berapa kira-kira nilainya?
Ternyata kasus kedua ini lebih mirip pada intangible asset yang bersifat kompetitif. Merek sangat tergantung pada pengalaman, reputasi dsb. Dan ini hanya bisa didekati dengan metode potensi kapitalisasi.
Biasanya cara menghitungnya adalah dengan menghitung dari nilai pendapatan real perusahaan itu, trendnya (naik/turun), serta pangsa pasar yang masih bisa dijangkau. Bila perusahaan itu misalnya memiliki pendapatan tahunan Rp. 1 Trilyun dengan trend tumbuh 10%, maka dapat diasumsikan bahwa nilai pertumbuhan itu terjadi karena asset intangible jenis kedua ini. Kalau perusahaan itu listing di pasar modal – lepas dari soal setuju atau tidak dengan model bursa saham seperti ini – maka sesungguhnya nilai saham juga mencerminkan asset intangiblenya. Sebuah perusahaan yang reputasinya bagus, akan berpotensi meningkat pendapatannya di masa depan, sehingga nilai sahamnya juga akan meningkat. Sebaliknya, sebuah perusahaan yang reputasinya jatuh, misalnya karena kasus penipuan, nilai sahamnya akan anjlog, bahkan bisa sampai nol sama sekali, sekalipun sebenarnya mereka masih punya asset tangible seperti gedung, peralatan dsb. Ini karena tidak ada yang mau beli. Hal ini pernah terjadi pada perusahaan raksasa Amerika seperti Enron atau Worldcom.
Jadi berapa kira-kira nilai asset intangible jenis ini? Serahkan saja pada pasar, mereka berani menghargai berapa? Karena mereka pasti berharap akan menikmati keuntungan yang lebih tinggi. Microsoft atau Google adalah contoh nyata perusahaan yang nilainya didominasi oleh asset intangible. Satu software sederhana dari Microsoft mungkin dapat dihitung dengan metode perolehan memiliki nilai US$ 1 juta. Jika lisensi software itu dijual secara eceran seharga US$ 10 / copy, maka investasi itu baru balik modal setelah terjual 100.000 copy. Tetapi potensi kapitalisasi pasar Microsoft telah sedemikian besar. Di seluruh dunia diperkirakan ada lebih dari 500 juta computer menggunakan sistem operasi buatan Microsoft. Kalau 1% saja dari mereka tertarik untuk membeli software sederhana tadi, maka itu sudah 5 juta x US$ 10 = US 50 juta. Jadi 50 kali dari biaya perolehannya. Tentu saja tidak semua perusahaan bisa meniru metode perhitungan ini, karena tidak semua memiliki reputasi dan pangsa pasar sebesar Microsoft.
Pada mereka yang memiliki jasa membesarkan perusahaan dengan asset intangible, misalnya karena ide-ide jeniusnya, atau jejaring pasar yang dia buka, perusahaan sering memberikan share secara langsung, sehingga setiap ada keuntungan mereka akan dapat bagiannya, sekalipun mereka tidak menyerahkan modal (uang) kepada perusahaan. Sedang pada mereka berjasa tetapi juga ikut andil secara fisik misalnya dalam bentuk uang, penghargaannya bisa berupa pembagian keuntungan yang lebih besar dari sekedar proporsi andil fisiknya. Ini jelas sesuatu yang fair.
Bagaimana kalau ini diaplikasikan pada pribadi, bukan perusahaan?
Pada orang pribadi, kedua jenis asset intangible itu mungkin dimiliki. Tetapi mungkin asset intangible yang bersifat kompetitif yang paling mungkin dimiliki semua orang. Ketika orang dikenal baik reputasinya atau pengalamannya, maka faktanya “pasar” akan mengakuinya dengan “menawar”-nya dalam kompetisi dengan orang lain yang ingin mengambil manfaat dari orang itu. Seorang ilmuwan yang terbukti unggul pengalamannya, akan ditawari bekerja di sana-sini, atau setidaknya kebanjiran order di sana-sini, sehingga boleh jadi dia akan memilih pihak yang memiliki rekam jejak lebih tinggi penghargaannya. Ini bukan kapitalisasi ilmu, tetapi suatu mekanisme pasar yang wajar. Sedangkan orang yang asset intangible-nya tidak sesuai, justru akan ditinggalkan pasar ketika dia minta tarif terlalu tinggi.
Bahkan hal ini juga menyangkut hal yang sangat pribadi. Seorang yang ingin menikah, baik laki-laki maupun perempuan, sebenarnya lebih membawa asset intangible-nya dari yang tangible. Karena asset tangible seperti uang, kendaraan atau rumah bisa hilang, binasa kena bencana, dirampok orang, atau habis untuk biaya berobat. Tetapi asset intangible seperti pengalaman, kejujuran, jejaring teman-temannya, akan bisa membuat asset tangible baru. Mungkin pengalaman akan menyelamatkannya dari bencana. Mungkin kejujuran akan membuatnya dipercaya untuk menjalankan bisnis banyak orang. Dan mungkin teman-temannya yang berada di mana-mana akan menghemat banyak hal ketika dia membutuhkan sesuatu.
Di tingkat negara, asset intangible ini juga lebih menentukan. Singapura atau Jepang adalah negara dengan asset tangible yang minim. Mereka nyaris tidak punya sumberdaya alam. Tetapi bangsa mereka secara kolektif memiliki asset intangible yang luar biasa, seperti etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring pasar, nyaris bebas korupsi dan sebagainya. Hal sama dimiliki oleh generasi muslim terdahulu ketika mereka mulai membangun Daulah Khilafah. Mereka lebih bermodal kepada asset intangible daripada asset tangible. Hanya makin lama asset intangible ini makin jarang dirawat, sehingga akhirnya “menguap” bersama waktu. Kita memang memerlukan waktu yang panjang untuk dapat mengembalikan asset intangible ini. Tetapi itu harus dimulai. Kita bisa mulai untuk tidak lagi membanggakan diri dengan sumberdaya alam kita ataupun materi yang kita miliki. Tetapi kita berintrospeksi pada asset-asset intangible yang kita miliki, etos kerja, profesionalitas, inovasi, jejaring, bebas korupsi, …
Wallahu a’lam bis shawab.