Republika – Senin, 03 Desember 2007
Oleh :
Subagyo
Advokat Publik di Walhi Jatim, Aliansi Pembela Rakyat, serta Lembaga Hukum dan HAM Keadilan Jatim
Mulai tanggal 3 Desember 2007 Indonesia menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi (KTT) internasional tentang perubahan iklim bertempat di Bali. Isu utama KTT tersebut adalah agenda penyelamatan dunia dari bahaya perubahan iklim (climate change) akibat pemanasan global (global warming). Akankah KTT tersebut menjadi ajang taubatan nasuha bagi bangsa-bangsa penyebab kekacauan iklim yang mengancam dunia? Ataukah KTT tersebut hanya menjadi ajang baru perdagangan nasib manusia berupa transaksi perdagangan karbon?
Akibat imperialisme
Prof Daniel C Maguire (2000) dan David Korten (1995) memberitahu kita bahwa dunia sedang dijajah oleh tirani korporasi. Kekacauan iklim yang sedang mengancam manusia merupakan akibat kesombongan kapitalisme global yang kali pertama dipancangkan di muka bumi dalam pertemuan di Bretton Woods tahun 1944. Saat itu, Henry Morganthau, menteri keuangan Amerika Serikat (AS) selaku presiden Konferensi Bretton Woods menggagas agenda tentang penciptaan ekonomi dunia yang dinamis, di mana rakyat setiap bangsa akan merealisasikan kemampuan untuk mencapai perdamaian, semakin menikmati hasil dan kemajuan material.
Tahun 1990-an ekonom AS, mantan ekonom Bank Dunia, Lawrence Summers, mengatakan bahwa ide untuk membatasi pertumbuhan ekonomi dengan dalih keterbatasan alam adalah sebuah kesalahan besar. Namun, menurut Maguire, setiap gerak ekonomi di muka bumi ini, setiap hari membakar energi yang untuk menciptakannya bumi membutuhkan waktu 10 ribu hari.
Gagasan ekonomi kapitalisme yang dirancang di Bretton Woods memberikan kejutan bagi dunia dengan kenyataan bahwa menurut UNDP terdapat 20 persen penduduk dunia menguasai 82,7 persen seluruh pendapatan dunia. Artinya, 80 persen penduduk dunia hanya membagi 17,3 pendapatan dunia. Apa arti semua itu?
Pertama, benar kata David Korten, ekonom AS itu, bahwa bangsa-bangsa di muka bumi dijajah oleh keperkasaan korporasi. Ilmu ekonomi kita menjijikkan, kata Maguire, dengan sinis melihat kenyataan bahwa kapitalisme menganggap sebagai ’pihak luar’ terhadap apa yang dipandang tidak ekonomis, termasuk soal lingkungan hidup. Dia mengatakan bahwa jiwa korporasi tidak dikendalikan oleh hati nurani, tapi hanya mempunyai dua nafsu: keuntungan dan pertumbuhan. Apa yang telah dilakukan globalisasi adalah menghasilkan ’bunyi penghisap yang keras’. Begitu kata Maguire meminjam Ross Perot.
Kedua, peta ketidakadilan ekonomi dunia akibat imperialisme korporasi sekaligus menampakkan watak dan gaya hidup konsumerisme kaum kaya dunia. Lahan yang dapat ditumbuhi tanaman di muka bumi, 43 persennya mengalami degradasi sebab setiap hari bumi kehilangan 71 juta ton humus. Barat, termasuk AS, merupakan bangsa makmur yang menjadi contoh buruk.
Hampir 80 persen hutan Eropa telah rusak oleh hujan asam akibat industri. Sebanyak 20 persen penduduk terkaya di dunia dengan gaya konsumeris mereka bertanggung jawab terhadap lebih dari 60 persen hingga 80 persen emisi saat ini. Rata-rata emisi setiap satu orang AS sebanding dengan emisi 9 orang Cina, 18 orang India, atau 4 sampai 5 kali dari emisi rata-rata dunia. Setiap orang AS menggunakan energi 8 kali lebih tinggi dari bahan bakar fosil yang digunakan rata-rata penduduk di negara berkembang.
Penduduk AS hanya sekitar 4 persen dari penduduk dunia tetapi menyumbang emisi lebih besar dibandingkan 136 negara berkembang yang tergabung sebagai penyumbang 24 persen dari total emisi. Orang AS menggunakan pendapatan mereka per kapita 8 kali lebih besar dan melepaskan proporsi karbondioksida (CO2) lebih tinggi dibandingkan orang di negara lain (The Community Solution, 2006; Walhi, 2007). Artinya, bangsa-bangsa miskin di dunia yang terjajah secara ekonomi sedang dan akan terus menjadi korban gaya hidup bangsa-bangsa kaya.
Keadilan ekologis
Jika dalam KTT tentang perubahan iklim di Bali nanti hanya mewacanakan ’permintaan kepada negara-negara kaya’ agar membayar Indonesia dan negara berkembang yang menjadi paru-paru dunia, maka itu hanya gagasan ’dagang karbon’. Belum tentu uang sumbangan pengisapan emisi itu tak akan menjadi bahan korupsi. Gagasan tersebut hanya akan menjadikan Indonesia sebagai negara, tetap terjajah.
Pemanasan global dan perubahan iklim dengan akibat mencairnya gunung-gunung es di kutub bumi justru membahayakan negara kepulauan seperti Indonesia. Negara maju dalam Konferensi Kyoto telah ’menghina’ negara kepulauan dengan pernyataan, ”Merelokasi penduduk kepulauan kecil lebih murah daripada membayar biaya pengurangan emisi.” (Godrej, 2001; Walhi 2007). Pada Maret 2001 AS mengundurkan diri dari negosiasi Protokol Kyoto, lantas beberapa bulan kemudian Australia juga mundur. Kesombongan mereka tetap kukuh hingga sekarang. Mereka enggan bertanggung jawab.
Indonesia harus berani memosisikan setara dengan negara maju yang telah mengoyak-ngoyak keamanan bumi dari ancaman bencana. Kita mempunyai kewajiban amar ma’ruf nahi munkar dalam rangka menegakkan keadilan ekologis di muka bumi, serta wajib berupaya menghentikan kemunkaran bangsa-bangsa kaya tersebut. Tuntutan kita adalah pembatasan penggunaan energi fosil negara-negara maju yang memacu produksi emisi, sebagaimana dunia dapat membatasi diri dari persenjataan nuklir. Indonesia harus menggalang suara negara-negara di dunia untuk menyelamatkan bumi. Konvensi tentang penyelamatan dunia dengan cara mewajibkan negara-negara di dunia untuk mengendalikan industrialisasi agar ramah lingkungan hidup merupakan hal yang harus diperjuangkan.
Kekayaan penduduk kaya bangsa maju harus dialokasikan sebagian untuk mempercepat upaya-upaya penemuan energi alternatif yang tidak merusak bumi. Dari dalam negeri, bangsa Indonesia sendiri juga harus menyadari bahwa Indonesia dipercaya Tuhan dengan hutannya yang menjadi paru-paru dunia, sehingga hukum dan politik yang dijalankan tidak berakibat pada perusakan hutan. Hutan jangan sampai rusak, baik secara legal atau ilegal, sebab tujuan yang terpenting adalah menyelamatkan umat manusia dari bahaya.
Pembangunan ekonomi hendaknya tidak dijalankan secara kasar tanpa memerhatikan keselamatan lingkungan hidup. Indonesia juga harus aktif mengembangkan upaya penemuan energi alternatif, sekaligus untuk menghemat energi fosil agar bumi kita tidak terus-terusan dikuras tanpa henti yang kadang-kadang menimbulkan ’kemarahannya’ seperti dalam kasus lumpur Lapindo.
Hari ini kita menggugat bangsa-bangsa maju agar keadilan ekologis global ditegakkan. Di zaman imperarialisme negara dahulu, kita telah diperas mereka dan di zaman imperialisme korporasi sekarang ini kita harus menanggung resiko perbuatan mereka. Kita harus berbuat sesuatu dan tak boleh hanya tinggal diam.
Ikhtisar
– KTT tentang perubahan iklim di Bali merupakan kesempatan sangat baik bagi Indonesia untuk melawan ‘kejahatan’ negara-negara’ maju.
– Pemanasan global lebih banyak dipicu oleh konsumsi bahan bakar fosil dalam jumlah besar di negara maju.
– Doktrin ekonomi kapitalisme telah berperan besar menghasilkan ketimpangan ini.
– Indonesia, sebagai tuan rumah sekaligus salah satu pemilik hutan tropis harus lantang menyuarakan pentingnya keadilan ekologi dunia.
Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal
Tanggal 3 hingga 14 Desember 2007 akan berlangsung konvensi / Pertemuan antar pihak (Conference of Parties / Meeting of Parties) tingkat tinggi di Bali yang diadakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Pertemuan ini diharapkan dapat mengevaluasi Protokol Kyoto yang dibuat tahun 1997, yang ditandatangani untuk mengurangi kadar CO2 guna mencegah pemanasan global. Fenomena ini tidak bisa dilihat sesaat atau semusim saja, tetapi harus dalam jangka yang lama, berpuluh tahun atau bahkan berabad-abad.
Cuaca adalah fenomena yang dapat bervariasi dari hari ke hari. Sedang tren jangka panjang disebut iklim. Ketika tren ini berubah maka kita bicara tentang perubahan iklim. Pada skala global, ini disebut Global Climate Change. Sejak era industri, orang mencatat perubahan iklim ini. Efek ini diduga akibat meningkatnya karbon dioksida (CO2) di atmosfir sebagai dampak pembakaran hidrokarbon baik bahan bakar fossil, hutan maupun sampah, sehingga sinar inframerah dari matahari lebih banyak terperangkap di atmosfir. Karena efek semacam ini mirip yang dirasakan di rumah-rumah kaca, maka disebut Efek Rumah Kaca (Greenhouse effect) dan CO2 disebut juga ”gas rumah kaca” (Greenhouse-Gas/GHG). Dan karena efeknya memanaskan secara global, maka disebut ”global warming”.
Karena memerlukan riset jangka panjang seperti ini, maka sebagian orang masih berbeda pendapat tentang dimensi efek global warming. Ada yang menganggap efek ini akan dinetralisir oleh peningkatan reaktivitas lautan secara alami.
Namun mau tak mau kita tetap harus mempersiapkan diri. Masalahnya, salah iklim tidak dapat diatasi dalam waktu singkat. Kalau kemarau panjang terjadi, sedang lahan pertanian terlanjur ditanami dengan padi yang sangat butuh air, maka akan terjadi krisis pangan. Karena itu memang pemerintah perlu mengarahkan agar dunia pertanian mengantisipasi hal itu. Ribuan kilometer sistem irigasi harus segera direvitalisasi. Bibit padi yang disiapkan harus juga yang lebih tahan kekeringan.
Namun di sisi lain, sistem pemantauan cuaca kita juga harus terus dibangun. Jaringannya perlu diperpadat, komputernya dimodernisir dan SDM-nya ditingkatkan profesionalitas dan kesejahteraannya. Sistem ini juga harus diintegrasikan ke jaringan pemantau cuaca global, termasuk yang berbasis satelit. Akurasinya harus ditingkatkan, agar ramalan iklim ini memang prediksi yang ilmiah, bukan sekedar isu murahan yang dimanfaatkan segelintir pengusaha untuk mendapatkan proyek pengadaan beras impor atau justifikasi kebakaran hutan – yang sebenarnya telah disengaja.
Sejak masa pencatatan temperatur secara ilmiah dan teratur selama 100 tahun terakhir, tercatat suhu bumi naik 0,75° C. Yang mencolok, setelah 1950, tren kenaikan suhu terlihat cukup konsisten dengan sekitar 0,25° C per dekade untuk daratan dan 0,13° C per dekade untuk lautan.
Dampak Pemanasan Global
Pemanasan global diduga keras akan berpengaruh dalam bentuk sebagai berikut:
(1) Es di kutub dan gunung-gunung tinggi mencair. Menurut perhitungan, hal ini menaikkan paras laut setinggi hingga 5 – 7 meter! Tentu saja kenaikan paras laut rata-rata ini harus diukur dari stasiun pasang surut yang stabil, tidak terjadi gempa atau penurunan muka tanah (land-subsidence).
(2) Kalau air laut naik, maka dataran rendah akan tergenang. Daerah pantai atau dataran rendah yang produktif di bawah level tertentu akan hilang. Pulau-pulau kecil yang rendah juga akan dihapus dari peta. Dataran rendah ini hilang karena muka air laut naik, bukan hanya karena digerus abrasi atau diambil pasirnya.
(3) Bila daratan yang hilang ini merupakan acuan dari ”pagar batas” suatu negeri, maka batas negeri itu bisa kembali menjadi persengketaan mengingat batas alamnya hilang. Untuk negara kepulauan seperti Indonesia dengan batas laut yang kritis dengan beberapa negara, hilangnya sebuah pulau terluar bisa berakibat ribuan kilometer persegi wilayah kedaulatan laut baik itu laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif atau Landas Kontinen dapat tiba-tiba hilang.
(4) Perubahan sirkulasi plankton dan otomatis perubahan sebaran ikan yang pada akhirnya pada persediaan sumber pangan dari laut. Nasib jutaan nelayan atau petani tambak ada di ujung tanduk.
(5) Perubahan vegetasi. Daerah yang kini beriklim sedang akan menjadi lebih hangat sehingga dapat menanam tanaman tropis. Sementara itu daerah yang sekarang sudah hangat seperti di Indonesia, dapat berubah menjadi gurun!
(6) Perubahan pola penyakit, akibat beberapa virus atau bakteria yang dulu hanya ada di daerah tropis (seperti malaria, DBD dan sejenisnya) akan melanda daerah beriklim sedang. Bila para pekerja kesehatan di sana tidak akrab dengan penyakit tropis seperti itu, maka akan timbul pandemi yang sangat ganas.
Sumber Gas Rumah Kaca
Hingga saat ini dua negara besar yaitu China dan Amerika Serikat menolak meratifikasi protokol Kyoto, walau dengan alasan yang berbeda. China berposisi bahwa aktivitas ekonominya masih jauh di bawah negara-negara industri maju. Pengurangan CO2 berarti menutup kesempatan rakyat China untuk menikmati standar hidup yang lebih baik. Sedang AS memang kurang berminat menurunkan tingkat penggunaan energi fossilnya, terutama di bidang transportasi. Namun isu yang saat ini beredar justru bahwa sumber gas rumah kaca ini dunia Islam akibat pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali karena penolakan terhadap program Keluarga Berencana (KB).
Faktanya, selama ini AS adalah “juara” penghasil CO2, yaitu 39% dunia. Negara-negara G-8 (AS, Jepang, Jerman, Canada, Inggris, Perancis, Italia dan Rusia) total membuang CO2 68% dunia. Artinya, jumlah CO2 dari seluruh negara lainnya, termasuk Indonesia dan China kurang dari 32%.
Selama ini sektor yang paling banyak menghasilkan CO2 adalah energi (baik untuk industri maupun transportasi). AS menghembuskan hampir 6500 Mega Ton CO2-equivalen, di mana 95% dari sektor energi. Sebagai pembanding, Indonesia hanya menghembuskan kurang dari 400 Mega Ton CO2-equivalen, meski jumlah penduduk Indonesia sudah mendekati penduduk AS. Namun karena di Indonesia sering terjadi kebakaran hutan, baik disengaja atau tidak, Indonesia “menyumbang” CO2 sebanyak 3000 Mega Ton CO2-equivalen.
Negara-negara maju anggota UNFCCC pada awalnya punya komitmen untuk membantu secara finansial negara-negara berkembang dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim ini. Untuk itu negara-negara berkembang diwajibkan untuk melakukan sejumlah hal seperti menjaga hutan-hutannya serta menyerahkan data Greenhouse gas-inventory.
Namun setelah sepuluh tahun Kyoto Protokol, negara-negara berkembang semakin sadar bahwa ada faktor-faktor institusional yang sangat sulit diatasi, yaitu: (1) negara-negara industri terdepan di dunia (dikenal dengan G-8) sudah berada pada “zona nyaman”, sehingga malas untuk berubah; (2) di dunia saat ini tidak ada skema ekonomi alternatif yang berskala global; dan (3) PBB ternyata tidak punya kapasitas politik yang cukup. Faktanya, politik PBB dan ekonomi dunia saat ini sangat ditentukan oleh politik dan aktivitas korporasi Amerika Serikat – yang menolak meratifikasi protokol Kyoto tadi.
Maka semakin jelas bahwa untuk menyelamatkan planet ini dari kehancuran ekologis, perlu paradigma dan sistem politik dan ekonomi global yang baru. Sistem politik dan ekonomi kapitalistis-sekuler terbukti gagal. Perlu ada sistem alternatif yang bersandar kepada Sang Pencipta Yang Maha Tahu. Allah berfirman:
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30: 41)
Sistem alternatif bagi dunia yang sekaligus adalah sistem satu-satunya bagi kaum muslimin itu adalah sistem pemerintahan Islam global (khilafah). Syariat Islam yang diterapkan secara menyeluruh oleh khilafah akan mengatasi masalah CO2 ini sejak dari akarnya. CO2 akan dikurangi dari sisi demand maupun supply.
Dari sisi demand: CO2 dihasilkan dari penggunaan energi konvensional (minya, gas, batubara). Semakin materialis gaya hidup seseorang, makin banyak energi dihabiskannya dan semakin banyak pula CO2 akan dibuangnya. Dengan digantinya paradigma kebahagiaan dengan paradigma Islam, maka sekaligus dua masalah teratasi: kebutuhan energi dan CO2. Bentuk mengurangi demand ini bisa berupa penataan ruang baik makro maupun mikro yang lebih baik, sehingga mengurangi kebutuhan energi untuk transportasi, penerangan atau penyejuk udara. Secara teknologi, penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) juga dapat menekan kebutuhan transportasi cukup signifikan, karena akan banyak hal dapat dilakukan secara jarak jauh (misalnya tele-conference, tele-working, dsb).
Sedang dari sisi supply, penggunaan energi terbarukan seperti energi surya dalam berbagai bentuknya (solar-cell, solar-farm, solar-tank), energi angin (wind-farm), energi air (dari mikrohidro sampai PLTA), energi ombak, energi suhu laut (Ocean-Thermal-Energi-Conversion, OTEC), pasang surut, panas bumi (geothermal) hingga energi nuklir dapat membantu menurunkan penggunaan energi konvensional, dan pada akhirnya mengantisipasi pemanasan global.
Di sisi lain, gerakan pelestarian hutan dan penanaman pohon harus digalakkan, baik secara individual, korporasi maupun negara. Dalam 12 tahun (1991-2003), Indonesia sudah kehilangan 68 juta hektar hutan, atau sekitar 10 hektar per menit! Bayangkan, hutan seluas 15x lapangan bola lenyap setiap menit! Di level bawah, para aktivis dakwah perlu mengingatkan ummat pada hadits Nabi yang berbunyi kira-kira, “Andaikan kiamat terjadi sore hari, di pagi hari seorang muslim tetap akan menanam sebuah pohon”, dan di hadits lain, “Andaikata buah pohon itu dinikmati oleh ulat atau burung, maka itu tetap terhitung sedekah dari yang menanamnya”.