Dulu mereka adalah orang-orang yang menjaga diri,
saat mereka belum berkuasa atau jadi petinggi negeri.
Dulu mereka teriakkan ma’rifatullah dan syari’at rabbani,
saat mereka merasa lemah, miskin dan tanpa legitimasi.
Namun kini, zaman telah jauh berganti,
Kini adalah era keterbukaan, demokrasi dan reformasi.
Kini katanya, kita harus menikmati demokrasi,
Dengan demokrasi, dakwah makin semarak di negeri ini.
Kini katanya, kita tak perlu lagi teriak syariat Islam tanpa henti,
Bukankah sudah banyak ustadz di parlemen atau jadi menteri.
Dulu mereka anti Amerika yang bantu Israel dan jajah sana sini,
Kini mereka adakan acara mewah di hotel paling bergengsi,
Pembesar kedutaan Amerika tak lupa diundang untuk hadiri,
Dan di sana, Uncle Sam itu pun dipeluk dan cipika-cipiki.
Dulu dengan 3F (Food-Fun-Fashion) mereka sangat anti,
Karena itu jurus kapitalis menjajah seantero bumi,
Kini mereka pro bila kontes Miss World diadakan di sini,
Bahkan Hollywood pun dipersilakan ikut menari-nari.
Oh itulah makna menikmati demokrasi yang hakiki,
Dan mereka sepertinya adalah teladan sejati.
Untung saja, masih ada hamba-hamba Allah yang bernurani,
Mereka memahami bahwa dalam demokrasi yang substansi,
tidak hanya ada kebebasan dari represi rezim otokrasi,
tetapi juga hawa nafsu yang dilegalkan melawan kehendak Ilahi.
Karena itu saksikanlah, wahai para penikmat demokrasi,
Kalau kami masih bekerja dan berdakwah di negeri ini,
Itu karena bumi ini masih bagian jagadraya milik Tuhan kami,
Dan terhadap umat kami merasa bertanggungjawab dan peduli.
Andai setelah berkuasa kalian terapkan syariah sepenuh hati,
Sambil terus bersuara agar Islam kaffah jadi cita-cita negeri,
Tentu kalian akan didukung, dido’akan dan makin dicintai,
Tapi itu harapan palsu, sebab kalian adalah penikmat demokrasi.
Upaya memahami fenomena “demokrat islamis”
Makalah Seminar di Fakultas Ushuluddin & Filsafat- UIN Syarif Hidayatullah, 28 Mei 2005.
Dr. Fahmi Amhar
alumnus Vienna University of Technology, Austria
Abstrak
Kelompok “demokrat islamis” adalah kelompok muslim yang menerima sistem demokrasi sebatas prosedural pemilu, namun di satu sisi tetap memperjuangkan agenda syari’at Islam, bukan agenda sekuler. Sebagian pihak khawatir bahwa kelompok di atas hanya akan memanfaatkan demokrasi untuk mewujudkan sistem otoriter atas nama agama. Kekhawatiran ini tidak beralasan bilamana kita memahami trilogi kedaulatan. Dalam demokrasi, trilogi itu ada dalam slogan “dari rakyat – oleh rakyat – untuk rakyat”. Meski tampak indah, slogan ini dari awal sudah cacat, dan dalam realita oleh para kapitalis serakah telah diperalat, untuk memperbudak seluruh jagad. Pada sistem khilafah, trilogi itu adalah “dari Allah – oleh rakyat – untuk rahmat seluruh alam”. Maka tidak ada yang perlu khawatir atas fenomena “demokrat islamis”, kecuali musuh-musuh kemanusiaan. Bila non muslim saja tak perlu khawatir akan termarjinalisasi, apalagi bila seseorang masih mengaku dirinya muslim.
Fenomena “demokrat islamis” menurut survei PPIM UIN 2004 memiliki karakteristik sebagai berikut:
– Diperkirakan ada sekitar 1 juta muslim yang terlibat dalam aktivitas islamisme.
– Meski berpartisipasi dalam proses demokrasi (pemilu) kelompok ini hanya “memanfaatkan” demokrasi sebagai ruang persaingan bebas bagi “kudeta Islamnya” – demokrasi hanya dimaknai sebatas pemilu (electoral democracy) sementara nilai-nilai sekulernya ditolak habis-habisan; demokrasi sebagai nilai hanya ada di lapisan elite muslim yang telah terbaratkan.
Sebagai indikator penolakan itu adalah:
– Boikot produk dan jasa AS yang dianggap bertentangan dengan ahlak/syari’at Islam atau solidaritas Islam (Palestina, Iraq, Afghanistan!).
– Intoleransi terhadap Kristen (dan kristenisasi).
– Dukungan terhadap isu-isu syari’at seperti perempuan tidak boleh menjadi presiden, rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, pembagian waris yang tidak equal, pelarangan bunga bank, pembolehan poligami, marjinalisasi kaum perempuan karena fiqh yang bias jender, dan sebagainya.
Indikator-indikator ini menjadikan sebagian orang khawatir, karena:
– Islamisme akan membenarkan tesis Huntington atas adanya clash of civilization antara Barat dan Islam, dan ini akan mengganggu hubungan antar bangsa, sekaligus legitimasi aksi unitarian George W. Bush di Iraq dan Afghanistan.
– Negeri-negeri Islam dewasa ini memberi prosentase yang sangat besar dalam daftar negara yang tidak bebas dalam hal kebebasan sipil dan kesetaraan akses politik.
– Penyebab utama langkanya demokrasi di dunia Islam adalah kultur politik muslim, seperti anggapan adanya kesucian sakral pada para pemimpin Islam untuk menegakkan sistem islam di muka bumi dan oleh sebab itu otoritas tertinggi tetap diberikan kepada ulama sebagai penerjemah hukum Tuhan.
– Fatwa para ulama itu “disalahgunakan” untuk pembenaran aksi kekerasan, seperti sweeping tempat maksiat atau teror bom atas nama jihad.
Setelah era otoriter yang cukup lama selama rezim Orde Lama dan Orde Baru, kemudian muncul rezim yang lebih demokratis, di kalangan umat Islam muncul dua fenomena: (more…)