Fahmi Amhar, Peneliti Utama Geospatial Information Agency
Banyak orang berpikir bahwa banjir yang melanda Jakarta dan daerah lainnya hanya persoalan teknis semata. Namun ternyata bila ditelusur lebih dalam, ada faktor ideologis di dalamnya. Mengapa bisa seperti itu dan bagaimana masalah banjir ini bisa diatasi, berikut wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan Peneliti Utama Geospatial Information Agency Prof Dr Ing Fahmi Amhar.
Dalam sebuah tulisan, Anda menyebut banjir ini terkait persoalan sistem sehingga tidak cukup ganti rezim tapi sistem harus ganti. Bagaimana sebenarnya?
Benar. Namun kalau didesak, sistem yang bagaimana atau pada level yang mana yang ingin diganti, banyak yang masih celingukan. Karena memang sistem itu berlevel-level.
Jadi penanganan banjir atau permasalahan lainnya, terkadang cukup mengubah salah satu levelnya saja tetapi ada juga yang harus diubah sampai ke level ideologis.
Bisa Anda rinci level-level tersebut?
Pertama, level praktis. Sistem level praktis itu di tataran pelaksana (the person behind the gun). Misalnya, akan ada perubahan yang “sistemik” begitu diangkat gubernur baru yang gemar “blusukan” alias inspeksi mendadak ke tempat-tempat bermasalah, atau wakil gubernur yang telaten memelototi RAPBD untuk menghemat pos-pos anggaran yang tidak perlu. Dampaknya sistemis, karena terus semua aparat ke bawah bekerja dengan benar, takut gubernurnya duluan sampai ke kantor atau ke TKP daripada dia, juga takut anggaran tahun mendatang dikurangi lagi atau bahkan dihapus, kalau target kinerjanya diragukan.
Kedua, level mekanis. Banyak hal yang mendukung penanggulangan banjir itu dapat dibuat mekanis (otomatis), sehingga memaksa orang mengikutinya. (more…)
Ada saat-saat di mana kita bersyukur tidak menjadi seorang pejabat publik. Coba bayangkan bila kita menjadi gubernur DKI atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam situasi darurat banjir seperti saat ini? Kita akan berhari-hari kurang tidur, badan meriang, tidak punya waktu untuk pribadi, dan sudah begitu dicaci-maki orang lagi, dan lagi…
Akhir 2010, secara informal saya ditawari untuk menggantikan posisi seorang pejabat Eselon-2 di BNPB yang akan dipromosikan menjadi Eselon-1. Waktu itu saya menjabat Eselon-3, tetapi karena saya peneliti yang merangkap jabatan di unit riset, saya sudah berpangkat IV/C, sudah terlalu tinggi untuk Eselon-3. Sedangkan konon Eselon-2 yang kosong ya di BNPB itu. Apalagi sebelumnya saya dikenal sering terlibat dalam aktivitas mengatasi bencana.
Saya memang akhirnya memutuskan untuk balik jadi fungsional peneliti saja, untuk memberi kesempatan orang lain merasakan memimpin unit riset. Saya membayangkan, menjadi Eselon-2 di BNPB itu sangat berat. Memang bencana tidak terjadi setiap hari. Tetapi konon, telepon genggam pejabat teras BNPB itu harus selalu ON, meski malam hari dan hari libur ! Kalau pas ada bencana lalu ditelepon koq tidak diangkat, besok handphonenya bisa dipastikan akan dibanting boss besar. Wah saya sepertinya bukan orang yang tepat untuk duduk di sana. Apalagi hari libur saya sudah terisi oleh banyak agenda saya yang lain, yang saya kira juga bernilai untuk rakyat, tetapi belum dijadikan tugas oleh lembaga manapun di negara ini.
Tetapi saya bisa bicara serba sedikit tentang bagaimana kita memberikan kontribusi untuk mengatasi bencana.
Upaya penanggulangan bencana itu dapat dibagi tiga: pencegahan – tanggap darurat – pemulihan. Pada umumnya orang fokus kepada tanggap darurat saja, karena inilah yang paling hangat dan selalu diliput pers. Kadang kejadiannya terasa heroik, karena soal menyelamatkan jiwa, atau menolong para pengungsi yang terlantar beberapa hari dengan kekurangan makanan, selimut atau popok bayi. Pemulihan juga kadang masih menarik perhatian, tetapi sering lebih fokus pada upaya pencegahan korupsi selama upaya rekonstruksi dan rehabilitasi itu. Tetapi pencegahan yang bisa meliputi upaya struktural (pembangunan fisik) dan non struktural (pembangunan budaya siap bencana) nyaris selalu luput dari perhatian sehingga jarang diikuti atau ditanggapi serius dari pihak manapun.
Saya bekerja di lembaga negara yang bertanggungjawab soal pemetaan. Karena itu, setiap upaya penanggulangan bencana, bagi kantor kami selalu dikaitkan dengan apa yang dapat dilakukan dengan peta. Pihak lainpun berharap, pekerjaan mereka bisa dioptimalkan dengan peta atau data geospasial. Yang jelas, setiap ada kejadian bencana yang luar biasa, kantor kami selalu termasuk dalam daftar yang diundang untuk rapat darurat di kementerian yang bertanggungjawab soal kebencanaan. Ini tergantung jenis dan skala bencananya. (more…)
Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Bakosurtanal
Indonesia adalah supermarket bencana. Belum selesai longsor di Wasior Papua teratasi, Gunung Merapi meletus, Gempa dan tsunami terjadi di Mentawai, dan Jakarta justru tenggelam dalam banjir. Sebenarnya, bencana (hazard) tidak harus menjadi malapetaka (disaster) selama kapasitas teknis maupun manusia di dalamnya cukup untuk mengantisipasinya. Curah hujan yang tinggi tidak akan menjadi malapetaka bila sistem drainase bagus. Longsor dan Gunung Meletus dapat dihindari dengan mengevakuasi atau memindahkan permukiman secara permanen ke daerah aman. Gempa bisa dihadapi dengan bangunan tahan gempa. Tsunami bisa diantisipasi dengan sistem peringatan dini dan pelatihan (tsunami drill) yang teratur.
Tetapi meski telah memiliki UU no 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan telah dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tapi kapasitas bangsa ini dalam menanggulangi bencana nyaris belum banyak berubah. Akibatnya upaya-upaya mengatasi bencana ini dikeluhkan banyak pihak masih jauh dari optimal. Memang upaya penanggulangan bencana adalah juga tanggungjawab masyarakat – dalam bentuk edukasi dan gotong royong, namun tidak disangsikan bahwa pemerintah memiliki kemampuan yang paling besar. Pemerintah memiliki organisasi yang paling besar. Ada empat juta PNS dan setengah juta lebih anggota TNI dan POLRI. Pemerintah juga memiliki APBN dalam orde Trilyun. Ini semua jauh di atas seluruh LSM bersama-sama.
Penulis melihat ada tiga hal yang perlu lebih diperhatikan secara serius oleh Pemerintah agar upaya-upaya penanggulangan bencana ini ke depan lebih optimal.
Pertama masalah fokus. Fokus ini nanti akan mempengaruhi pola organisasi dan anggaran. Tidak pelak lagi, yang namanya bencana tidak bisa direncanakan seperti pesta pernikahan. Oleh sebab itu, banyak pihak tidak sabar, dan akhirnya hanya fokus dalam tanggap darurat saja. Padahal penanggulangan bencana memiliki setidaknya tiga siklus: pencegahan – tanggap darurat – pemulihan. Selama tidak ada kejadian yang memerlukan tanggap darurat, seharusnya ada upaya-upaya permanen untuk pencegahan. Memeriksa secara teratur sistem drainase, menguji kehandalan pencatat pasang surut, hingga melatih semua PNS, pelajar dan mahasiswa secara teratur dan sistemik untuk tanggap darurat – sesuai tipe bencana yang mungkin dihadapi di daerah itu, adalah contoh-contoh upaya pencegahan.
Kedua masalah organisasi. Karena fokus penanggulangan bencana hanya pada tanggap darurat, tak heran bahwa organisasi BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) hanya diisi dengan personel dan peralatan ala kadarnya. Mereka lebih mengandalkan pada personil yang dipinjam dari instansi lain seperti dari Kementerian PU, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, bahkan hingga BPPT atau Bakosurtanal dalam bentuk Tim Satuan Respon Cepat (SRC) atau Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Teorinya, personil pinjaman ini sudah sepakat siap dikerahkan sewaktu-waktu ada bencana. Kenyataan di lapangan tidak semudah itu. Kadang-kadang anggota SRC ataupun TAGANA sedang menghadapi tugas pokok sehari-hari di instansinya. Dan tidak selalu mudah untuk setiap saat meninggalkan tugas pokoknya tersebut dan dikerahkan ke daerah bencana. Apalagi kalau sudah menjelang akhir tahun, di mana tugas-tugas menumpuk dan harus ada laporan akhir yang dapat dipertanggungjawabkan di depan auditor, yang tentu saja hanya akan menilai kinerja berdasarkan tupoksi tiap instansi. Organisasi yang kurang fokus ini juga menyebabkan rekrutmen personel BNPB atau BPBD belum berdasarkan kompetensi – atau bahkan sertifikasi. Personel PNS limpahan dari instansi lain masih ada yang “personel sisa”, bukan personel terbaik yang tahan banting. Dari sisi organisasi ini, harus diakui bahwa TNI memiliki organisasi dan personel terlatih yang paling siap melakukan tanggap darurat.
Ketiga masalah anggaran. Bencana terjadi tidak mengikuti tahun anggaran. Serapan anggaran untuk penanggulangan bencana tidak dapat linier seperti proyek-proyek normal. Misalnya ada aturan Kementerian Keuangan yang mengharuskan tgl 15 Desember sudah “saldo besi”. Bagaimana bila bencana terjadi setelah tanggal itu, seperti tsunami Aceh 26 Desember 2004 lalu? Aturan umum dalam penyerapan anggaran yang linier membuat institusi yang menyiapkan SRC dan TAGANA tidak bisa berbuat banyak ketika bencana terjadi di penghujung tahun. Ini menjadi lebih rumit ketika masih ada egoisme sektoral, sehingga banyak kantor BNPB / BPBD yang hingga kini masih numpang dan juga di lokasi yang kurang nyaman untuk didatangi.
Mudah-mudahan Pemerintah, dapat melihat persoalan ini secara jernih, sehingga kendala fokus, organisasi, anggaran, dan egoisme sektoral dapat diurai, korban bencana dapat lebih cepat ditolong dan masyarakat secara umum dapat ditingkatkan kapasitasnya menghadapi bencana.